Masyarakat kaki Gunung Gede Pangrango membentuk aliansi sebagai respon ancaman proyek Geothermal di kawasan Gunung Gede Pangrango. Masyarakat khawatir proyek Geothermal akan merusak hutan adat dan merampas ruang hidup.

Yusuf Tauziri (56) mengingat-ingat kembali, saat itu, tahun 2022, wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Desa Sukatani, Cipendawa, dan Sindangjaya tersebar luas di masyarakat. 

Ia khawatir PLTP akan merebut ruang hidupnya. Sebagai penduduk Desa Cipendawa, Ia pun bersama warga dari dua desa lainnya membentuk Aliansi Masyarakat Gunung Pangrango (AMGP). 

Lelaki yang akrab disapa Iyus itu menegaskan, warga setempat tidak membutuhkan pembangunan PLTP. Sebab, baginya Gunung Gede telah memberikan apa yang mereka butuhkan untuk hidup damai dan tenang. 

“Untuk pemerintah jangan selalu bikin onar. Kita sudah hidup damai selaras di kaki Gunung Gede,” ucapnya selepas menyeruput teh hangat.

Iyus melanjutkan, proyek geotermal dapat merusak alam warisan dari leluhur. Ia merasa, memiliki tanggung jawab menjaga alam untuk generasi selanjutnya. 

Iklan

“Anak dan cucu kami akan sengsara jika tidak menolak proyek Geothermal”. tutup Iyus.

Senada, tokoh masyarakat desa Sukatani, Entis Sutisna mengatakan Gunung Gede adalah wilayah sakral. Sebagai penganut Sunda Wiwitan, Ia dan warga lain meyakini gunung itu memiliki kekuatan batiniah yang mendalam. 

“Gunung Gede itu begitu sakral. Ia disebut Gunung Katong, Gunung kumpulan para raja,” ucapnya. 

Dalam kepercayaan Suku Sunda, Abah—begitu dia dipanggil-–menjelaskan keberadaan Gunung Gede sangat penting. Menurutnya,  para wali dan raja dahulu kerap menjadikan gunung sebagai tempat untuk beribadah dan berkumpul. 

Bahkan, Abah meyakini gunung adalah makhluk sama seperti manusia. Sehingga, Ia percaya hanya tuhan yang memiliki wewenang terhadap segala kekayaan didalamnya, bukan manusia.

“Jangan main-main dengan Gunung ini. Sadarilah manusia hanyalah makhluk yang kecil,” tegasnya.

Dua kilometer dari Desa Sukatani, api perlawanan menjalar ke Pasir Cina, Desa Cipendawa. Masyarakat di sana membentuk Gerakan Surya Kencana (GSK), guna menolak PLTP. 

Koordinator Bidang Pertanian GSK, Aryo Primo menjelaskan penolakan itu berawal dari upaya perusahaan merobohkan gapura desa. Sebab, gapura tersebut berada di jalan yang menjadi pintu masuk utama menuju titik pengeboran. 

Senafas dengan Abah, Aryo menjelaskan penolakan dilandasi oleh ketergantungan masyarakat setempat kepada alam. Mereka percaya Gunung Gede adalah pusat kabuyutan, yaitu tempat mempelajari ilmu keagamaan dalam ajaran sunda wiwitan.

Bahkan, menurutnya alam adalah kitab dari kepercayaan sunda wiwitan. Masyarakat percaya, menebang satu pohon kerugiannya sangat besar. Karena, pohon telah tumbuh ratusan tahun.

Iklan

“Menebang satu pohon sama ruginya seperti membunuh satu orang,” ucapnya. 

Oleh sebab itu, bagi Aryo mempertahankan Gunung Gede Pangrango adalah sebuah keharusan. Dirinya juga menegaskan, masyarakat sunda sebagai keturunan pajajaran harus menolak Geothermal. 

Aryo dan warga lain bersikeras memperjuangkan tanah airnya, serta kearifan lokal yang sudah tertanam di dalamnya. Bagi Aryo, warisan budaya tidak dapat dikompensasi dengan apapun.

“Warisan leluhur tidak bisa ditinggalkan masyarakat. Tidak bisa dikompensasi dengan harga berapapun,” tegasnya. 

Menyemai Kesadaran Politik Rakyat

Demi memperpanjang nafas perlawanan, AMGP bersama GSK melakukan studi banding ke proyek geothermal di Gunung Dieng. Tak hanya itu, warga juga menonton film bersama. Dengan harapan, kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menolak pembangunan PLTP meningkat. 

Baca juga: Warga Protes Proyek Geothermal Berjalan Tidak Transparan 

Aryo meyakini, kesadaran masyarakat harus dibangkitkan. Ia mengaku sudah tidak bisa mempercayai pemerintah. Sebab, baginya, pemerintah sudah memberikan karpet merah kepada pengusaha proyek geothermal ini. 

“Tidak ada lembaga yang bisa menolong masyarakat Gunung Gede kecuali perlawanan rakyat,” tegasnya. 

Apalagi selepas menonton film bersama warga lain, Aryo semakin yakin dampak Geothermal seperti longsor dan kebocoran gas akan merugikan banyak desa. Oleh sebab itu, Ia meminta masyarakat tidak boleh tergiur oleh akal busuk pemerintah. 

Kendati demikian, Aryo menyayangkan masyarakat yang menolak tapi tidak bertindak apapun. Baginya, sebuah perlawanan tidak cukup bila hanya diucapkan melalui mulut saja. 

Makanya, sampai sekarang Aryo dan warga lain masih melawan. Dirinya bersama GSK dan AMGP juga mengorganisir berbagai aksi demonstrasi yang melibatkan masyarakat luas. 

“Pemerintah itu bukan tuhan. Dia juga bisa dilawan. Kalau masih mau menyembahnya (pemerintah), hari ini juga kamu harus syahadat deui,” tutup Aryo.

Yang Hilang Dalam Pembangunan PLTP

Dosen Pendidikan Sosiologi UNJ, Prima Yustitia membedah musabab terbentuknya solidaritas yang berasal dari kepercayaan setempat. Baginya, masyarakat yang tinggal di sekitar lereng gunung memiliki ketergantungan terhadap alam. Bahkan, mereka kerap menganggap alam sebagai bagian dari anggota tubuh. 

Baginya, penolakan masyarakat akan timbul jika terdapat pihak dari luar yang mengganggu kepercayaannya. Namun, kesadaran untuk melawan tidak terjadi begitu saja. Prima berpendapat kesadaran itu terbentuk melalui diskusi-diskusi yang dilakukan oleh mereka yang berpengetahuan lebih, seperti ketua adat.  

“Kesadaran kritis diinternalisasikan ke dalam diri masyarakat melalui pengetahuan lebih yang dialirkan melalui diskusi-diskusi,” pungkasnya. 

Prima khawatir jika alam rusak atau hilang, warga mungkin akan pindah ke kota atau daerah lain untuk mencari kehidupan baru. Alhasil, bukan hanya mata pencaharian yang hilang, tetapi budaya mereka.

Baca juga: UKT Pasti Naik

Ia memandang skeptis terhadap proyek PLTP. Baginya, pembangunan mesti menguntungkan semua pihak termasuk masyarakat setempat. Namun, alih alih demikian, mereka hanya menanggung kerusakan lingkungan saja. 

“Keuntungan dari pembangunan tidak pernah menetes ke bawah. Tetesan yang sampai pada masyarakat hanya kerusakan lingkungannya saja ,” pungkas Prima. 

Penulis/ Reporter: Rahmat 

Editor: Annisa Inayatullah