Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menggunakan sistem outsourcing, dengan dalih mendapatkan pekerja yang mumpuni. Padahal ada banyak kerugian bagi pekerja dalam sistem tersebut.

“Sistem ini seperti perbudakan, dan diskriminatif,” ujar Nelson dari Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI) saat diwawancarai perihal sistem outsourcing oleh Tim Didaktika via Whatsapp, Rabu (17/7).

Meskipun legal secara hukum, dia menyebut sistem ini masih merugikan pekerja. Potongan upah yang diterima pekerja dengan alasan balas jasa perusahaan, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut dengan jelas melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Ia melanjutkan, hal buruk lain dari sistem ini ditegaskan dengan minimnya perlindungan dan kesejahteraan yang didapati pekerjanya. Tidak adanya jenjang karir, masa kerja yang tidak pasti dan minimnya tunjangan adalah contohnya.

Di Gedung Raden Ajeng Kartini UNJ, saat ditemui Tim Didaktika, salah seorang pekerja outsourcing yang tidak bersedia disebutkan identitasnya mengeluhkan gaji yang diterimanya. Ia menyatakan bahwa gajinya masih di bawah standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta. “Saya lulusan SMK, tapi gaji saya cuma 2 jutaan,” ujarnya.

Salah satu pekerja kebersihan lain di gedung G UNJ juga mengeluhkan hal yang sama. Ia bertutur bahwa gajinya masih di bawah UMP Jakarta, meski berangsur naik tiap tahunnya. Ia menyadari gaji yang ia terima dari kampus selama ini telah dipangkas perusahaan outsourcing. Dari awal bekerja, dulu gaji 750 ribu, sekarang gaji saya 2 juta. Itu bersih gaji pokok,” ujarnya.

Selain perihal gaji, ada dua hal yang juga menjadi keresahannya, yakni minimnya tunjangan dan ketidakpastian kontrak. Selama ini, ia hanya menerima Tunjangan Hari Raya (THR) yang besarannya hanya satu kali gaji pokoknya. Di luar itu, ia sama sekali tidak menerima tunjangan wajib kesejahteraan/kesehatan, seperti yang termaksud dalam Undang-undang Nomor 13 Pasal 99,  yang mengatur adanya Jaminan Sosial untuk para pekerja.

Iklan

Ia melanjutkan, ketidakpastian kontrak yang selama ini ia terima juga membuatnya tidak tenang dalam menyikapi tanggungan hidup. Di satu sisi ia merasa gajinya kurang, di sisi lain ia tidak bisa menuntut banyak. “Di sini 6 bulan sekali ngajuin kontrak. kadang juga setahun sekali. Mau nanya (pihak kampus) takut ga dipekerjakan lagi,” ujar seorang yang telah bekerja belasan tahun tersebut.

Komarudin, staff Wakil Rektor (WR) 2 Bidang Administrasi Umum dan Keuangan, mengatakan alasan UNJ memakai perusahaan outsourcing adalah untuk mendapatkan pekerja yang praktis, yang bisa dijamin disiplin kerjanya. Ia menjelaskan bahwa UNJ pernah memakai pekerja honorer untuk tenaga OB (Office Boy) dan petugas kebersihan. Namun, kerja yang dihasilkan tidak efektif, karena supervisor yang menangani pekerja tidak cukup jumlahnya.

Komarudin melanjutkan, selagi ada dana dari Badan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dan menciptakan pekerja yang mumpuni, lebih baik Manajemen Pengelolaan Gedung menggandeng perusahaan outsourcing saja. Menurutnya, dengan menyerahkan pekerja kepada pihak ketiga, tanggung jawab sepenuhnya berada pada perusahaan outsourcing, baik dalam hal memberikan surat peringatan hingga memberhentikan pekerjanya.

Komarudin menambahkan, jika salah satu pekerja tidak melakukan kerjanya dengan baik, sekitar satu atau dua minggu bisa langsung diberhentikan oleh pihak ketiga. “Kan, kalo kerjanya ga sesuai target bisa diberhentikan secepatnya. Enaknya (outsourcing) di situ. Kalau dengan pekerja honorer ga bisa, paling engga setahun.” tandasnya.

Dwi, salah satu staff Biro Umum dan Kepegawaian (BUK) telah menyarankan kepada rektorat terkait pegawai “tekanan” (OB/pekerja kebersihan) agar mendapatkan hak atas asuransinya. Menurut Dwi, pada saat proses pelelangan, diajukan satu persyaratan khusus untuk menyertakan tunjangan asuransi kepada tender pemenang bagi pekerjanya. Namun, pihak rektorat belum sama sekali merespon saran tersebut. “Saran dari kita, kalo mau ikut lelang itu, pegawainya harus diasuransikan,” ujarnya.

Penulis: Bimo Andrianto dan Imtitsal Nabibah

Editor: Annisa Nurul H.S.