Ketika saya dengar kabar bahwa kami, tim Didaktika, akan melakukan perjalanan ke kawasan Puncak Bogor, imaji yang terbesit dalam benak saya yakni suhu dingin yang menusuk kulit dan pemandangan indah yang memanjakan mata. Benar saja, hal tersebutlah yang pertama kali saya rasakan. Namun, saya menemukan pengalaman baru disana. Yakni, ketika saya menyelami kehidupan buruh teh di Desa Cibulao, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/11).

Perjalanan kami menelusuri desa Cibulao dipandu oleh Ruby, seorang pegawai Naturalie Cafe, sebuah kafe yang berada di desa tersebut. Mas Ruby, begitulah kami memanggilnya. Seorang sarjana Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Beruntungnya kami dipandu oleh seseorang yang murah senyum seperti ia.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhi oleh hijaunya perkebunan teh seluas 1000 hektar yang menyejukkan hati. Jalanan berbatu dan berlumpur, membuat kami harus berhati-hati dalam melangkah.

Hamparan perkebunan tersebut menurut riset Mas Ruby, masih dikelola oleh perusahaan bernama Sumber Sari Buana Pakuan (SSBP) sebagai pihak swasta. “Warga disini bekerja sebagai buruh untuk perusahaan tersebut,” ucap pria tersebut.

Penuturan Mas Ruby membuat kami ingin menelusuri lebih dalam lagi. Warga pertama desa Cibulao yang kami temui ialah Ira. Kami disambut hangat dengan suguhan bubur kacang hijau dan segelas teh sebagai jamuan untuk menemani perbincangan kami. Di rumhanya, ia pun memulai percakapan dengan menceritakan kepemilikan rumah yang kami singgahi. “Rumah ini bukan punya kami, tapi milik perusahaan atau mess,” katanya. Ira menambahkan, semua rumah di desa Cibulao adalah milik SSBP. Adapun harga yang harus dibayar untuk tinggal di mess, yaitu dengan menjadi buruh di perkebunan milik perusahaan tersebut.

Setelah berpamitan, kami melanjutkan perjalanan untuk menelisik lebih lanjut kehidupan masyarakat desa Cibulao. Kehidupan disana nampak seperti biasanya, pagi mereka pergi ke kebun teh. Setelah semua pekerjaan di kebun telah usai, mereka pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah. Beberapa buruh teh melanjutkan berjualan di sekitar wisata daerah tersebut. Tak hanya berjualan, mereka juga mencari penghasilan lain dengan menawarkan jasa foto keliling di tempat wisata yang ada di desa tersebut.

Iklan

Ketika kami berjalan di tanjakan berbatu, kami berpapasan dengan seorang perempuan berusia sekitar 50 tahun, yang akrab dipanggil “Emak”. Saat itu, ia memakai caping sambil membawa hasil panen teh yang dipanggulnya dengan bakul. Emak begitu ramah menanggapi keingintahuan kami. “Saya di kebun teh bekerja sebagai buruh lepas,” kata Emak seraya tersenyum dan menaruh bakul yang ada dipunggungnya ke tanah.

Emak juga menceritakan sedikit kesehariannya. Perempuan yang berhasil ikut langsung membuat jalan untuk membuka akses jalan di Cibulao menuturkan, setiap hari ia harus berjalan dengan medan pegunungan yang terjal. Jika hujan lebat, Emak harus mendaki gunung dengan jalanan yang licin.

Baik perempuan maupun laki-laki, tak ada yang membedakan mereka. Kecuali statusnya di perkebunan, entah menjadi buruh lepas harian atau buruh tetap. Buruh lepas dibagi berdasarkan dua sistem kerja, yaitu borongan dan harian. Buruh yang bekerja dengan sistem harian dibayar Rp.30.000 perhari dan tidak mendapatkan uang makan. Sedangkan untuk buruh borongan, bayarannya dihitung berdasarkan berat teh yang mereka dapat. Harga teh per kilo-nya, dibandrol dengan harga Rp. 700. Perharinya, rata-rata para buruh hanya mampu mengumpulkan sebanyak 20 kg teh. Penghasilannya juga masih dipengaruhi pada kualitas teh yang tidak menentu. Jika hasil panen tidak bagus, mereka hanya dapat membawa pulang hasil panen yang sedikit.

Tak jauh setelah bertemu dengan Emak, kami mampir ke warung kecil milik Ru, yang ternyata juga seorang buruh lepas. Perempuan 44 tahun ini, bekerja dengan sistem borongan. Perempuan tersebut mengatakan, “Saya bekerja dua puluh hari dalam setiap bulan. Bayarannya dua kali dalam sebulan yaitu tanggal lima dan dua puluh” katanya.

Walaupun suami Ru juga menjadi buruh teh, hal tersebut tidak dapat menutup kebutuhan hidup keluarga Ru yang beranggotakan tujuh orang. “Makanya saya buka warung kecil sebagai penghasilan tambahan,” tuturnya sambil membuka bungkus kopi. Sedikitnya, sebagai buruh teh Ru mendapatkan Rp. 15.000 per hari, yakni sekitar 20 kg pucuk teh perhari. Sedangkan suami dari Ru mendapat gaji Rp. 32.500 per hari sebagai buruh lepas.

Keluhan yang sama pun dirasakan oleh Nani, seorang buruh lepas yang bekerja dengan sistem harian. Kami menjumpainya saat kami berniat untuk pulang ke Jakarta. Nani mengatakan, “saya hanya mendapat gaji perhari Rp. 30.000, bekerja mulai dari jam 7 sampai jam 12 siang.”

Padahal, gaji yang diterima oleh buruh teh di desa Cibulao haruslah sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Bogor, yakni Rp.4.169.806. Ketentuan tersebut mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang pengupahan.

Tidak hanya soal gaji rendah, para buruh lepas yang kami temui juga tidak mendapatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS) sebagai jaminan atas hak kesehatan, seperti yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011, Pasal 15 ayat (1) : “Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti”.

Jika terjadi kecelakaan kerja pada buruh lepas, perusahaan hanya akan menanggung setengah dari biaya rumah sakit. Keadaan ini berbeda dengan buruh tetap yang telah mendapatkan BPJS.

Upah yang sesuai dan hak atas jaminan kesehatan adalah dua hal krusial yang harus segera dibenahi dan diwujudkan oleh pemerintah.

Iklan

Penulis/Reporter: Nafisah dan Lely Alifia

Editor: Vamellia B.C.