Oleh: M. Syirot Hidayat Khoironi*
Suasana Ramadan tahun ini sedikit berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Jika tahun lalu penuh dengan ketakutan akan bahaya pandemi, tahun ini sudah mulai terlihat perbedaanya. Jalan-jalan penuh dengan takjil, orang-orang mulai keluar rumah tidak menggunakan masker, dan tentunya perizinan mudik hari raya sebagai obat melepas rindu pada kampung halaman. Semua aktivitas-aktivitas tersebut membawa dampak positif bagi kehidupan ekonomi dan psikologi masyarakat Indonesia setelah berjibaku melawan pandemi. Oiya, jangan lupa ditunjuknya Indonesia menjadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20 juga patut dibanggakan, meskipun pada akhirnya dibatalkan.
Akumulasi kebahagiaan yang dirasakan masyarakat Indonesia dalam menyambut dan menjalankan ibadah di bulan suci yang penuh berkah ini berbanding terbalik dengan anak-anak muda yang gigit jari setelah mendengar kabar dari Zurich, bahwa Federation Internationale de Football Association (FIFA) resmi membatalkan Piala Dunia U-20 2023 di Indonesia.
Laman resmi FIFA menyebut kalau tuan rumah baru akan segera diumumkan, sebelumnya FIFA membatalkan undian fase grup Piala Dunia U-20 dikarenakan masifnya penolakan kedatangan Israel di Indonesia, salah tiganya I Wayan Koster Gubernur Bali, Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah, dan kelompok ekstremis kanan yang mengecam kedatangan Israel di Indonesia karena dianggap membelot dari amanat Pembukaan UUD 1945, membela pembunuh, mengkhianati Pancasila, dan komitmen Bung Karno untuk membela kemerdekaan Palestina.
Jauh sebelum fenomena di atas terjadi, pesepeda asal Israel Mikail Yakovlev menduduki peringkat ketiga pada ajang UCI Track Nations Cup 2023 yang berlangsung di Jakarta International Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur, pada 23-26 Februari. Belum lagi ada fenomena Kanjuruhan di tahun lalu yang menewaskan 135 korban jiwa dan pelakunya di hukum ringan, putusan pengadilan dirasa janggal dengan menyalahkan angin. Apakah keluarga korban hari ini bisa menyantap hidangan berbuka dengan perasaan penuh hikmat? Silakan tanyakan ke diri masing-masing pembaca.
Kemudian gejolak konflik yang terjadi di Papua dalam yang digambarkan dalam buku Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Tanah Papua memakan korban jiwa. Serta melibatkan pengiriman pasukan militer dengan jumlah banyak ke Papua. Jika kita lantang berbicara tentang Hak Asasi Manusia di Palestina, Lantas apakah berbeda antara manusia Palestina, Kanjuruhan, dan Papua? Apakah menerima Israel bertanding sama artinya dengan melegitimasi penjajahan?
Penulis ingin menjawab dua pertanyaan diatas dengan mulai mengingatkan kembali pembaca bahwa tujuan Israel datang ke Indonesia adalah untuk bermain sepak bola, bukan untuk perang. Sepak bola memiliki rumah tangganya sendiri yang disebut sebagai law of the game yang didalamnya terdapat nilai-nilai kemanusiaan, sportivitas, kemudian prinsip football for unity itu yang berarti tidak ada sekat yang membatasi seperti perbedaan pandangan politik, perbedaan agama, dan perbedaan keyakinan. Semua bersama atas nama kemanusiaan, tidak ada perbedaan antara manusia Palestina, Kanjuruhan, dan Papua.
Baca Juga: Jalan Panjang Penolakan Tambang Tumpang Pitu
Lalu dengan kedatangan Israel ke Indonesia bukan berarti kita melegitimasi penjajahan. Hal ini, dibuktikan dengan respon baik oleh Dubes Palestina untuk Indonesia Zuhair Al Shun. Menyadur dari laman resmi CNN Indonesia ia mengatakan, “Kita tahu bahwa masing-masing federasi olahraga ini memiliki aturan sendiri termasuk FIFA. Dalam kaitan ini Indonesia memenangkan bidding sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Dan tentu saja partisipasi masing-masing negara yang ikut dalam event ini tentu tidak ada kaitannya dengan suka atau tidak suka dengan negara peserta tersebut.”
Nasi sudah menjadi bubur, itu artinya Marselino Ferdinan dkk akan mengubur mimpinya untuk bermain di ajang tertinggi internasional. Indonesia akan dikucilkan dari seluruh turnamen olahraga termasuk Olimpiade Musim Panas 2024 dan Piala Dunia 2026 karena bertindak diskriminatif mencampuadukkan olahraga dengan politik. Sekitar 500 ribu masyarakat Indonesia juga akan merasakan dampak langsung, jika sepak bola Indonesia terhenti.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah orang-orang yang menolak Israel datang ke Indonesia memikirkan dampak tersebut? Penulis sedikit bernostalgia ketika membaca buku berjudul Satu Kota Tiga Tuhan, bagaimana rumah-rumah ibadah Gereja Sepulcre, dinding Ratapan, dan Masjidil Aqsa sebagai representasi ketiga agama yang memiliki banyak pengikut dan sampai hari ini masih terjadi persaingan teologis tentang siapa yang berhak untuk menduduki tanah tersebut. Semua berdiri pada kebenaran sejarah yang mereka yakini masing-masing (Taufiqulhadi, 2000). Jika dalam konteks penolakan Israel dikaitkan pada keyakinan agama, secara simultan kebekuan dan kebencian akan terus terjadi. Miris!
Mengutip salah satu tokoh besar India, Mahatma Gandhi “Jika mata dibalas mata, maka seluruh dunia akan buta”. Kebutaan itu sedang menghinggapi politisi dan kelompok-kelompok ekstremis kanan yang menolak Israel untuk bermain sepak bola di Indonesia. Kanjuruhan dan Papua tak tampak, Palestina di seberang lautan tampak. Ciaoooo!!!
*penulis merupakan alumni UNJ angkatan 2018, memiliki hobi menulis dan mendaki.