Setiap jam sembilan malam dia pasti menunggu seseorang untuk keluar dari gang warna hijau. Di gerbang itu ada lorong panjang yang gelap. Setiap orang yang lewat harus membayar sekitar beberapa lembar uang ribuan supaya bisa masuk. Dihiasi pula dengan kerlap-kerlip lelampuan neon kecil seperti perayaan 17 Agustus-an.

Bau wanginya terlalu menyengat. Dari ujung lorong saja baunya sudah menyengat seperti itu. Kadang ada anak-anak kecil bermain kejar-kejaran keluar dan masuk gang-gang itu dengan bebas. Mereka kadang dimarahi oleh seorang lelaki di depan gerabang. Kadang juga dibentak. Walau begitu mereka tidak pernah kapok.

Dia yang sedari tadi nunggu seseorang keluar dari gang masih dengan santainya duduk di trotoar sambil mendongakkan kepala ke jalan. Dalam hatinya juga acapkali cemas dan gelisah. Dia mainkan hp buat sekedar tidak gabut saja.

“Ayo, kita pulang!” ucap wanita paruh baya mengajaknya pulang. Dia menurut saja dan segera juga pulang ke rumah bersama wanita paruh baya itu. Baunya masih tetap sama, terlalu wangi untuk berkendara di jalan malam hari.

“Nar, bersihkan sepatuku, aku mau makan dan rebahan dulu,” ucap wanita itu sesampainya di rumah. Dia pun menurut, membersihkan sepatu yang dipakai wanita paruh baya tadi dan menyikatnya dengan kain lap.

Dia melihat wanita itu sudah tertidur di ranjangnya. Segera ditutuplah pintu itu kembali. Kemudian berlalu menuju dapur. Berantakan sekali. Tidak pernah disapu atau dirapikan. Piring tergeletak di meja dengan telur setengahnya sudah jadi sisa.

Iklan

Dimakannya sisa makanan itu. Habis memakannya kemudian membersihkan piring dan gelas di atas meja. Dia rapikan juga sampah yang berantakan di dapur itu. Kemudian menuju ke kamarnya.

Di kamar dia melihati foto. Seorang lelaki dan wanita, lalu anak lelaki kecil di tengahnya. Matanya meneteskan air mata. Jadi teringat tentang masa kecilnya yang lumayan dikatakan bahagia.

Hal itu berubah sejak setahun lalu. Semenjak ayahnya meninggal karena sakit asma, ibunya jadi stress akibat memikirkan biaya hidup. Wanita janda harus memikirkan bagaimana cara menghidupi anaknya dan jadi tulang punggung keluarga.

Anaknya masih kecil, umur 7 tahun. Dia merasa kepergian suaminya terlalu cepat. Wanita itu menangis sejadinya. Dia peluki badan suaminya yang sudah tak bernyawa. Diciumi pipinya sampai juga dahinya. Sungguh dia tak mau kehilangan.

Tetapi takdir berkata lain, suaminya harus segera dikuburkan. Lelaki itu sudah berpulang. Dia meninggalkan istri dan seorang anak. Sungguh teramat kejam siksaan dunia yang harus ibu dan anak itu jalani.

Wanita itu menangis tergopoh-gopoh, tertunduk lesu lalu tak sadarkan diri. Dia melihat keranda berjalan menuju kuburan. “Kumohon, jangan pergi, kasihani aku dan anakmu,” sambil menghela nafas panjang. Setelah itu dia pingsan.

Orang-orang berkerumun di sekitar. Mereka mencoba menyadarkan wanita itu. Dilihatnya wajah orang-orang juga menangis dan bersedih. Ikut berduka karena telah kehilangan lelaki. Mereka tak lain adalah sanak-saudara dari lelaki.

“Sudah, sabar, sabar!” sambil menepukkan tangan ke pundak wanita tersebut. Wanita yang masih berderai air mata membasahi mulutnya itu lemas memucat. Dia lihat anaknya membisu dan pandangan matanya berlinang penuh air tangis.

Dia panggil anaknya, tetapi anaknya tidak menjawab. Dia kemudian berjalan dengan kaki yang lemas gemetaran menuju anaknya. Duduk disampingnya dan membelai rambutnya. “Sudah, Nak! Jangan bersedih, masih ada ibu di sini!”

Anak lelaki itu memeluk ibunya. Diusapkan wajahnya itu ke pelukan ibunya. Sambil mencoba menahan air mata, dia pun menangis. Kemudian tangisnya jadi keras dan air matanya mengucur deras.

Iklan

Ibunya memeluk dia lebih erat. Kemudian neneknya mengingatkan, “Ayo, persiapkan, jam 3 nanti mau tahlilan,” kata seorang nenek kepada mereka. Wanita itu menyeka air matanya dan melepaskan pelukannya.

Semua orang berdatangan. Berduyun-duyun wanita jamaah tahlil masuk ke rumah duka itu. Mereka saling bersalaman lalu duduk memutar. Seorang kyai di tengah memimpin jamaah tahlil tersebut.

Setelah beberapa hari wanita itu berubah. Dia seperti telah kehilangan semuanya. Telah kehilangan prinsip dan arah hidup. Dia berkenalan dengan seorang teman di facebook. Teman dari dunia maya itu selalu memesenger dirinya. Apalagi ketika tahu dirinya itu janda. 

Baca juga: Balada Harian Mahasiswa Magang

Beberapa pesan whatsapp dan Instagram masuk bergantian. Kebanyakan juga lelaki. Kalau ada seorang janda pasti lelaki hidung belang akan mengincarnya. Dia mencoba menahan diri. Dia pikirkan apa yang harus dia lakukan. Adalah mencari pekerjaan untuk menyambung hidup.

Teman dari dunia maya itu mengajaknya bertemu. Tapi Sulasri mengajaknya bertamu di rumah saja. Tidak baik jika janda harus keluyuran ketika baru saja suaminya meninggal. Nanti jadi omongan tetangga. Tamunya itu menjadwalkan sore nanti bisa bertandang ke rumah Sulasri.

Sebuah mobil jazz warna hitam berhenti di depan rumah Sulasri. Seorang wanita dari dalamnya keluar memakai kacamata hitam. Wajahnya ayu dan nampaknya juga suka dengan perawatan. Karena wajahnya berkilau ketika diterpa panas.

“Silahkan masuk!” Sulasri mempersilahkan tamunya masuk. Namun tamu itu enggan. Dia memilih berbicara di luar saja. “Gimana kabarnya, Jeng?” tanya tamunya. Sulasri masih bersedih. Dia menundukkan wajahnya.

Mendongakkan wajahnya, lalu dengan sangat pelan dia berkata, “Saya baru saja kehilangan suami. Saya bingung harus mencari nafkah.” Tamunya membuka kacamata dan wajahnya nampak sedikit keriputan di kelopak mata.

“Saya ada pekerjaan, kalau Jeng mau. Tapi kalau tidak mau menerima tawaran dari saya juga tidak apa,” tamunya memberikan selembaran kartu nama dan alamat. Sulasri terperangah menatapnya.

Dia ingin mengembalikan kartu nama itu, segera ditampik kembali tangannya oleh tamunya. “Sudahlah Jeng, pikir dulu baik-baik, kalau ada kesempatan tidak dua kali datangnya. Cari kerja memang sulit!” tamunya bersenyum kepada Sulasri.

Segera setelah mengucapkan sebuah kalimat tamu itu pergi. Dia hanya meninggalkan selembaran kertas itu pada wanita yang baru saja menjanda. Itu membekukan tubuh Sulasri. Seisi rumah rasanya gemetaran dan hening.

Alamat yang diberikan kepada Sulasri adalah sebuah Café di sebuah jalan yang pernah suaminya dan dirinya lalui dulu. Jalan itu gelap beserta gangnya yang sempit. Hanya tikus-tikus got besar berjalan di parit.

Sulasri mengurungkan hal itu. Dia tidak mau terjerumus dengan jebakan wanita tadi. Dia juga harus hati-hati. Baru beberapa hari saja mereka saling kenal. Dia hanya ingin mencari nafkah yang baik-baik saja. Jangan dengan hal seperti itu.

Setiap hari Sulasri melamar pekerjaan dan mengirimkan surat lamaran kerja di pabrik dekat rumahnya. Tetapi belum ada juga panggilan setelah sebulan menunggu. Suaminya tidak meninggalkan banyak harta. Suaminya tidak menyuruh Sulasri untuk melakukan hal laknat.

Tetapi dorongan batin Sulasri meminta dia untuk menerima tawaran dari wanita yang telah memberikan selembar kertas dan alamat padanya. Nampak keraguan dalam dirinya. Dia duduk memegangi kepalanya sendiri.

Sudah sebulan rasanya orang mau mati saja. Tidak ada kehidupan yang bisa dia lakukan. Malamnya, dia putuskan pergi ke alamat itu. Dia menyewa ojek untuk mengantarkannya. Ojek itu juga tetangganya.

Supaya tetangganya tidak curiga, Sulasri memakai jaket dan rok panjang. Dia minta diturunkan di depan musholla saja. “Mau kemana mbak, malam-malam begini?” tukang ojek penasaran dengan pelanggannya.

“Saya mau pengajian,” jawab Lasri memberi alasan. Tukang ojek tentu tidak sebodoh itu. Dia mungkin tahu apa yang akan dilakukan Lasri. Mulut tukang ojek mencoba untuk diam dan tidak bertanya lagi. Dia menurunkan Lasri di depan musala.

Lasri berjalan menuju lorong setelah tukang ojek itu pergi. Dia mencoba untuk menahan diri dan melihat sekitar, siapa tahu ada tetangganya yang lewat. Dia takut ketahuan. Lasri menemui gerbang itu dijaga oleh dua orang botak. Bagi siapa saja yang mau masuk harus membayar lima ribuan.

Lasri dilihati oleh dua botak itu dari atas sampai bawah. “Mang, mau tanya. Ada yang tahu alamat ini?” menunjukkan alamat yang dimaksud. “Itu, masuk saja, lurus, paling kanan nanti sudah ketemu.”

Lastri berjalan mengikuti jejak yang diberikan oleh dua botak tadi. Dia temukan wanita itu sedang duduk di atas kursi hijau dan merokok. “Eh, kamu Jeng, ayo masuk, sudah aku tunggu-tunggu,” wanita itu mengajaknya masuk dan menjelaskan berbagai macam hal.

Lasri ingin saja kabur dari situ. Tetapi dia memang sangat butuh uang. Dia mau hidup. Akhirnya dia mengiyakan perkataan dan setuju terhadap apa yang dibicarakannya sama wanita tadi.

Setiap hari Lasri selalu ke gang itu tiap malam. Kalau tidak, dia juga bingung cari kerja. Anaknya sudah terbiasa dengannya lama-lama. Kalau sedang tidak enak badan, barulah Lasri bisa ijin tidak datang malam hari. Lasri sudah melupakan suaminya dan keyakinan yang dia terima. Dia kini telah kaya raya dan setiap malam harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. 

Cerpen ini ditulis pada Desember 2022. 

Penulis: Muhammad Lutfi, seorang penulis buku Elegi, Lorong, Asuh, Bunga dalam Air, dan Sastra Mistik.