Oleh : Hendrik Yaputra
Menghadapi penanaman nilai-nilai dehumanisasi untuk mempertahankan kekuasaan kelas penindas, khususnya dalam pendidikan. Guru bersama murid perlu melawan nilai-nilai tersebut, dengan menawarkan pendidikan humanis yang mampu merubah realitas yang ada. Salah satunya dengan konsep Pendidikan Kontekstual.
4 April lalu, ratusan murid SMAN 2 Kota Malang mengadakan aksi dengan tuntutan mengganti kepala sekolah SMAN 2 Malang. Tuntutan tersebut tidak terlepas dari cara mengajar kepala sekolah yang sering kali mengeluarkan kata yang menyinggung para murid. Bahkan ia sering menampar muridnya. Parahnya lagi, ia melakukan pemotongan beasiswa untuk murid sebesar 500 ribu rupiah dan menetapkan pembayaran ulang SPP sebesar 1 juta rupiah. Penyimpangan tersebut yang membuat murid dan guru berkeinginan menyingkirkan kepala sekolah.
Di lain tempat, seorang guru mendapatkan perbuatan tidak menyenangkan dari seorang murid di Kalimantan. Ia beradu mulut bahkan di caci maki oleh muridnya. Kejadian ini terjadi karna guru itu menegur muridnya ketika tidur. Secara etika, mungkin murid tersebut tidak menghormati gurunya. Namun, perlu dicari tahu mengapa muridnya itu tidur di kelas. Ternyata, ia tidak mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya.
Peristiwa tersebut hanya sebagian kecil dari permasalahan pendidikan, khususnya di dalam tubuh pengajar sendiri. Guru ialah seorang yang bertugas untuk mendidik dan mengajar murid agar terlepas dari jurang kebodohan. Namun, sadar atau tidak sadar metode pembelajaran guru menjauhkan murid dari eksistensinya sebagai manusia serta keterlibatanya dalam masyarakat. Materi pelajaran yang disampaikan guru terasa asing bagi murid, karena tidak sesuai dengan realitas murid. Padahal, sebagai manusia, murid memiliki pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan sekitarnya. Pengetahuan baru yang tidak sesuai dengan realitas murid hanya membuat murid teralienasi dari lingkungannya.
Tidak semua guru dalam menyampaikan materi menjauhkan murid dari realitasnya. Menurut Paulo Freire situasi tersebut ditemukan bila guru mengangap murid sebagai objek pasif. Pandangan tersebut tidak terlepas dari tuntutan kaum penindas, agar pemikiran murid terbentuk sesuai keinginan mereka. Mengembangkan murid yang sadar akan realitas dihindari oleh kaum penindas, karena membayakan posisi kaum penindas.
Pendidikan “Gaya Bank’’. Pendidikan seperti itu yang digunakan oleh guru untuk mempertahankan dominasi kelas penindas. Guru yang menganut pendidikan gaya bank, menganggap dirinya sebagai subyek yang mengetahui dan melakukan tindakan yang benar. Murid dianggap sebagai obyek pasif yang perlu diberikan pengetahuan oleh guru. Pendidikan ini membuat murid dianggap sebagai benda mati, serta menghilangkan mereka dari kodratnya sebagai manusia yang bebas berpikir.
Dalam pendidikan ini, metode bercerita menjadi andalan para guru. Kemerduan kata-kata menjadi andalan, ‘’empat kali empat sama dengan enam belas, ibu kota Para adalah Balem’’.[1] Tugas murid sekedar mencatat, menghafal dan mengulangi apa yang disampaikan tanpa mengetahui makna dari ungkapan guru tersebut.
Secara garis besar, pendidikan gaya bank, mewajibkan guru untuk memberikan pengetahuan secara terus menerus kepada murid. Perlakuan tersebut terjadi, karena menganggap murid tidak memiliki pengetahuan apa-apa. Murid dianggap bejana kosong yang harus diisi air hingga penuh oleh guru. Semakin patuh wadah-wadah itu diisi semakin baik pula mereka sebagai murid.
Pendidikan gaya bank pula, tidak dapat menimbulkan kesadaran bagi murid. Pendidikan tersebut mengajarkan bahwa kehidupan itu tetap atau tidak berubah. Pandangan tersebut menghilangkan proses murid untuk menjadi. Selain itu, dalam pendidikan tersebut proses komunikasi antara murid dan guru tak terjalin dengan baik. Tepatnya pendidikan gaya bank, menghilangkan keterlibatan murid untuk memahami siapa dirinya. Kesadaran bebas berpikir sebagai manusia – sebagai subyek – tak dapat dimunculkan dengan pendidikan gaya bank. Yang terjadi ialah murid diperlakukan sebagai obyek mati dan membuat pendidikan yang diterima murid terpisah dengan realitasnya.
Pendidikan Hadap Masalah
Untuk melawan pendidikan gaya bank yang digunakan untuk mempertahankan dominasi kelas penindas, Paulo Freire menawarkan pendidikan ‘’Hadap Masalah’’ sebagai alat perjuangan kelas tertindas. Pendidikan Hadap Masalah, beranjak atas dasar manusia merupakan makhluk yang terus berkembang. Dalam hal ini, manusia ialah terus menjadi dan mengada. Selain itu, manusia ialah sebuah makhluk yang berfikir dalam menghadapi tantangan yang dihadapinya. Dalam hal ini, manusia pula memiliki tanggung jawab atas keputusan yang mereka buat. Manusia memiliki kehendak sendiri untuk melakukan sesuatu.
Kesadaran tersebut dapat diperoleh apabila tidak ada sebuah kelas tertentu yang meredamkan proses berpikir bebas. Menurut Eric Fromm, manusia dapat berpikir bila tidak ada tekanan dan manipulasi dari kelas dominan. Penolakan tersebut yang membuat proses pendidikan hadap masalah menjadikan manusia menjadi manusia. Bukan menjadikan manusia menjadi benda.
Pendidikan hadap masalah, menghindari metode bercerita yang digunakan guru konvensional, dengan proses komunikasi atau dialog antara guru dan murid. Proses dialog mampu menimbulkan kesadaran kritis siswa guna melihat realitas mereka. Oleh karena itu, pendidikan hadap masalah tidak membuat murid terasing dengan realitas. Pembacaan realitas, dapat diketehui dengan proses timbal balik antara murid dan guru. Jadi, anggapan bahwa murid sebagai obyek, serta guru serba tahu tidak berlaku. Guru dan murid bersama-sama, mencari tahu permasalahan-permasalahan obyektif yang ada.
Menurut Freire, dalam dialog ada teori dan tindakan. Kedua hal tersebut berguna agar guru dapat melihat realitas bersama murid. Dialog adalah perjumpaan manusia dengan manusia, dengan perantaraan dunia dan pemikiran manusia untuk menamai dunia. Dalam dialog, seorang murid dapat mengetahui makna dirinya dan dunia. Dialoglah yang membuat murid diakui eksistensinya sebagai manusia.
Pendidikan Gaya Bank yang antidialog tidak akan mampu menimbulkan makna kehidupan bagi murid. Dan juga pendidikan tersebut tidak akan mampu menimbulkan daya mencipta serta solidaritas antar sesama. Pendidikan tersebut hanya menjadikan murid bungkam. Sedangkan pendidikan hadap masalah, dengan realitas yang ada, guru bersama murid mencari tema yang sesuai dan dipecahkan bersama-sama. Proses tersebut, akan membuat murid dapat mencipta, menimbulkan daya kreatif serta mengembangkan pemikiran kritis mereka.
Antara Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik
Kini, fungsi pendidikan ialah menciptakan tenaga kerja kompeten yang sesuai dengan kebutuhan kapitalisme. Relasi antara negara dan modal yang tak dapat dipisahkan menjelaskan hal tersebut. Salah satu contohnya, ialah revitalisasi SMK. Wacana klasik tersebut sudah digembor-gemborkan sejak pertengahan abad ke-20 di Indonesia. Hingga kini, wacana untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK terus diupayakan agar mereka memiliki keterampilan yang dibutuhkan kapitalisme untuk mendukung syarat-syarat produksi. Salah satu syarat produksi ialah reproduksi tenaga kerja.
Menurut Althusser, kapitalisme membutuhkan keterampilan tenaga kerja untuk kebutuhan reproduksi tenaga kerja. Keterampilan tenaga kerja tidak cukup didapatkan dari pelatihan singkat yang diberikan kapitalisme. Butuh proses panjang untuk mendapatkan keterampilan yang diinginkan oleh kaum kapitalis.
Melalui sekolah, kapitalisme mendapatkan keterampilan tersebut. Sekolah sebagai penanaman ideologi dominan, mampu menciptakan murid-murid terdidik agar sesuai dengan kebutuhan kapitalisme. Dalam hal ini, peran guru tak dapat dipisahkan. Guru memiliki tugas untuk memberikan materi pelajaran kepada murid untuk mempersiapkan mereka menjadi pekerja dari kapitalisme.
Dalam hal ini guru sebagai intelektual berpihak kepada kelas tertentu. Guru mampu mereproduksi pengetahuan yang sebetulnya pengetahuan tersebut sudah dibentuk sesuai keinginan kelas penguasa. Oleh karena itu, guru yang menggunakan metode pendidikan gaya bank sadar atau tidak, mempertahankan dominasi kelas penguasa.
Guru yang menggunakan pendidikan gaya bank, yang mengandalkan gaya bercerita dan menghafal masuk dalam kategori intelektual tradisional Antonio Gramsci. Menurut Gramsci, Intelektual tradisional ialah kaum pujangga, ilmuwan dan sebagainya, yang mempunyai posisi dalam celah masyarakat yang mempunyai aura antarkelas tertentu tetapi berasal dan hubungan kelas masa silam dan sekarang serta melingkupi sebuah lampiran untuk pembentukan berbagai kelas historis[2]. Maksudnya ialah, dalam sudut pandang kelas, semua intelektual organik dari kelas penindas ialah intelektual tradisional. Sebab, setiap kelas memiliki intelektual yang berfungsi memberikan gagasasan kelas.
Agar dapat mematahkan peran intelektual tradisional, kelas tertindas perlu memiliki intelektual sendiri, yaitu intelektual organik. Intelektual organik tumbuh dari kelas tertindas. Ia berperan sebagai pemikir atau mampu memobilisasi massa. Namun, bukan berarti gerakan dilakukan sesuai keinginan intelektual organik. Rumusan gerakan perlu dilakukan bersama rakyat. Keyakinan-keyakinan serta kebutuhan rakyat menjadi acuan. Intelektual tidak dapat memaksa rakyat untuk melihat kebenaran dari sudut pandang ia sendiri.
Gramsci kelihatan dekat dengan gagasan inti Paulo Freire bahwa untuk mengajarkan sesuatu kepada seseorang, kita harus bertolak dari bahasa orang itu sendiri.[3] Menurut Freire, seorang pemimpin revolusioner, tidak boleh memaksa kehendaknya kepada kelas tertindas. Tidak perlu ada pidato dan slogan. Namun, pemimpin revolusioner perlu berkomunikasi dan meminta bantuan kelas tertindas untuk dapat membaca realitas obyektif. Melalui dialog antara pemimpin revolusioner dan kelas tertindas, diharapkan mampu mengubah realitas yang ada. Realitas yang membuat kaum tertindas tidak dapat melihat ketertindasan mereka.
Begitu halnya seorang guru sebagai seorang intelektual. Sebab, guru memiliki tujuan untuk melepaskan belenggu kebebasan dari kaum penindasan. Freire menawarkan cara pengajar dan peneliti dalam menyusun isi program pendidikan. Seorang pengajar dan peneliti perlu mengetahui situasi dan kondisi yang ada di masyarakat. Mulanya peneliti memperkenalkan maksud dan tujuan ia datang. Setelah disetujui masyarakat, ia perlu survei lapangan untuk mencari tahu perilaku masyarakat serta mencari tema umum untuk patokan. Misalkan, tema dominasi kelas yang membungkam kesadaran politik. Kemudian, ia mulai mencatat segala aktivitas masyarakat. Mulai dari cara mereka berbicara, makan, bekerja dan sebagainya. Hal itu kemudian dianalisis berdasarkan tema umum yang ditetapkan di awal. Kemudian, peneliti tersebut memaparkan hasil penelitiannya kepada masyarakat. Masyarakat perlu mendapat ruang dalam pemaparan tersebut. Proses tersebut terus berlangsung, hingga masyarakat dan peneliti menyetujui isi program pendidikan yang dibutuhkan masyarakat.
Penutup
Permasalah guru sebagai intelektual, mengalami banyak tantangan hari ini. Secara filosofis, pernyataan guru ialah pahlawan tanpa tanda jasa tidak relavan hari ini. Guru memerlukan kebutuhan ekonomi, dengan upah yang diberikan. Oleh karena itu, banyak guru yang menganggap pekerjaan guru sebagai profesi. Artinya, ia perlu menuruti sistem pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah. Jika tidak, pekerjaan sebagai guru terancam hilang. Guru hanya sebagai operator kurikulum, begitu menurut Michel Apple.
Perguruan tinggi yang mencetak tenaga keguruan pun memiliki banyak permasalahan yang tak terselasaikan. Sebagian besar calon mahasiswa memilih perguruan tinggi keguruan sebagai pilihan kedua. Sebab, mereka melihat prospek kerja menjadi guru tidak menjanjikan.
Belum lagi, pemerintah mendirikan PPG agar calon guru mendapatkan sertifikat profesional. Pemerintah menganggap bahwa perguruan tinggi keguruan tidak mampu menciptakan guru-guru profesional, oleh karena itu didirikan pelatihan selama satu tahun agar para sarjana pendidikan yang lulus mendapatkan label profesional.
Namun, tidak semua guru seperti itu. Kini, sudah banyak sekolah altenatif yang memiliki guru revolusioner. Guru tersebut memiliki tujuan untuk menimbulkan kesadaran kritis para murid. Dan tentunya proses komunikasi antara murid dan guru tidak dihilangkan. Mereka beranjak dari realitas yang dialami murid dan mencoba untuk menimbulkan kesadaran akan realitas murid.
[1] Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, hal.52.
[2] Gramsci, Antonio, Sejarah dan Budaya, hal.128.
[3] Ibid., hal. 168.