“Pemilik sebuah toko kelontong di tepi jalan Suryakencana, Bogor, punya cerita kelam pada masa Orde Baru, ketika diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sangat dirasakan olehnya.”
Malam itu, Jumat, 17 Mei, jalan Suryakencana terlihat sepi. Kebanyakan toko yang berada sepanjang jalan, telah tutup. Terlebih lagi, hanya sedikit kendaraan yang masih berlalu lalang melewati jalan ini.
Sebuah toko kelontong di pinggir jalan, ternyata masih bersedia melayani pembeli. Toko bernama Sumber Baru ini menjual berbagai macam barang yang dibutuhkan manusia sehari-hari, seperti sabun mandi, pengharum ruangan, baterai dan semacamnya. Toko ini pun masih terlihat sederhana, mulai dari ruangannya yang minimalis, tembok berwarna putih kusam, hingga rak yang masih terbuat dari kayu.
Kami, Tim Didaktika, akhirnya bersua dengan pemilik toko tersebut. Pauman (63), pemilik toko yang belakangan kami ketahui namanya, merupakan kakek beretnis Tionghoa berambut putih tipis yang tengah sibuk mencatat sesuatu di meja kasirnya.
Kami pun menyapa, diikuti beberapa pertanyaan tentang sejarah berdirinya toko kelontong tersebut. Dengan ramah dan cekatan, kakek yang masih terlihat bugar itu pun merespon kami, “Wah, toko ini sudah lama berdiri. Diwarisi turun temurun. Bisa dibilang usaha keluarga.”
Ya, kami sudah menduga toko ini memang telah lama berdiri, terlihat dari bentuk arsitektur dan tata ruangannya. Toko ini masih eksis bertahan, ditengah menjamurnya toko-toko modern di sekitarnya.
Di Jalan Suryakencana, yang terletak di sebelah selatan Kebun Raya Bogor, memang masih kental atmosfir “Tionghoa”nya, mulai dari arsitektur bangunan, lampion yang menghiasi beberapa toko, hingga orang-orang Tionghoa yang tengah asyik bercengkerama di tepi jalan Suryakencana. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup, orang-orang Tionghoa disana menjalankan berbagai usaha, seperti kelontong, parsel, hingga meubel.
Kami pun tertarik untuk mengupas sejarah Jalan Suryakencana, khususnya mengapa jalan ini dijadikan komplek pecinan. Namun, Pauman rupanya tak mengetahui akan sejarah Jalan Suryakencana. Akan tetapi, beberapa kebijakan pemerintah yang mengatur Suryakencana, masih teringat dalam ingatan Pauman, mulai dari yang menguntungkan hingga merugikan.
Salah satunya yaitu kebijakan yang memberlakukan satu arah kendaraan di depan jalan tokonya. Kakek yang sudah berkepala enam itu pun menjawab, adanya kebijakan itu tentu merugikan tokonya, karena tokonya tidak lagi seramai ketika masih diberlakukan dua arah.
Kebijakan demi kebijakan, ia tuding satu-persatu. Hal yang sering ia singgung kebanyakan dirancang oleh Soeharto, karena hidup Pauman memang banyak dihabiskan pada era pria dengan julukan The Smiling General itu. Tak dapat dipungkiri, di era tersebut memang banyak terjadi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Salah satunya tentang Presidium Kabinet No.127/U/ Kep.12/1966 yang mengharuskan hingga adanya pergantian nama bagi warga negara Indonesia yang menggunakan nama Tionghoa. Dengan tatapan tajam, Pauman berkomentar, “Tahu gak kalian, betapa rumitnya ketika orang sudah mengganti namanya? Mereka harus mengganti surat-surat yang lain, seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, sertifikat rumah, dan lainlain.” Terlihat raut wajah kesal ketika ia bercerita. Kebijakan rasial semacam ini tentu sangat merugikan dirinya.
Terlebih lagi, orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak diperbolehkan menjadi tentara ataupun pegawai negeri. Pembatasan ini membuat orang-orang Tionghoa di Indonesia hanya dapat berniaga saja. Terpukul akan hal itu, sedih, kesal, marah, itulah emosi yang kami lihat ketika ia mengingat kembali memori pahitnya.
Kebijakan-kebijakan yang rasial ini, membuat beberapa pribumi akhirnya menilai sebelah mata orang-orang Tionghoa. Kakek yang seluruh rambutnya telah berubah putih ini pun bercerita, “Kaki saya pernah ditendang sama tentara cuma gara-gara saya nyenggol mobilnya sedikit. Habis itu saya dimaki, bawa-bawa etnis Tionghoa.”
Tak hanya tentara, rakyat kelas bawah juga turut meremehkan etnis Tionghoa. Bedanya, mereka memanfaatkan keadaan ini untuk keuntungan materil. “Kakak saya pernah dibacok kepalanya gara-gara ada pelanggan minta diskon tapi gak dikasih,” dengan nada keras ia menuturkan.
Ketika Soeharto melancarkan program “Penembakan Misterius (Petrus)”, yakni penghilangan paksa terhadap mereka yang bertato dan tampak layaknya “preman”, Pauman merasa lebih aman karena ia tak sanggup lagi menutup kerugian akibat penjarahan tokonya oleh “preman” tersebut. “Ya, baiklah jika Petrus melanggar hak asasi, tapi kalian tidak merasakan bagaimana nasib kami.” Ujar pria sepuh itu.
Pauman menyarankan kita untuk selalu membaca buku. Menurutnya, sejarah negeri ini banyak dibelokkan oleh Soeharto. Ini membuat kita tidak kritis dan tidak mengerti sejarah.
Namun, Kakek kelahiran tahun 1956 itu pun bersyukur masih diberikan kehidupan hingga sekarang. Melewati zaman Orde Baru yang baginya penuh diskriminasi dan ketidakadilan.
Penulis : Hapiz & Tomo
Editor : Ilham A.