
Judul Buku: Also Sprach Zarathustra: Ein Buch fur Alle und Keinen
Penulis: Friedrich Nietzche
Penerbit: Ernst Smeitzner
Jumlah Halaman: 256 Seiten
Terbitan: I, 1883
Jika melihat situasi hari ini, kita mudah mencaci-maki orang lain apabila ada ketidaksamaan pandangan antarindividu, contohnya pada bidang keagamaan. Seperti halnya pada 13 September 2022 lalu, dikutip dari Cnnindonesia.com Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melegalkan pernikahan beda agama. Hal ini sontak menimbulkan berbagai perdebatan pandangan di sosial media antara pihak pro dan kontra.
Nietzche, filsuf asal Jerman yang hidup pada rentang tahun 1844-1900, sebenarnya telah menjawab perbedaan pandangan tersebut melalui teori perspektivisme. Dalam buku berjudul Also Sprach Zarathustra: Ein Buch fur Alle und Keinen, Nietzche menerapkan filsafat perspektivesmenya. Filsafat perspektivisme merupakan keyakinan bahwa manusia tidak dapat menjadi kreatif, tabah, atau mencintai sesuatu, ketika ia tak mampu mempercayai dan mengamati satu hal, kecuali diri sendiri. Selain itu, buku ini dipengaruhi oleh seorang filsuf asal Jerman yakni Schopenhauer, karena Nietzche menolak pemikirannya tentang pesimisme.
“Es ist mehr Vernunft in deinem Leibe, als in deiner besten Weisheit.” (hlm 43)
Manusia sendiri memiliki banyak kebijaksanaan, dibanding setiap kata filsuf yang mereka amalkan sedalam-dalamnya. Begitulah pandangan manusia dari Zarathustra pada bab pertama buku ini. Melalui Zarathustra, Nietzche menyampaikan beberapa ajaran relativitas moral, di mana Zarathustra sebagai nabi yang bertugas menyampaikan pemikirannya.
Relativitas Moral Zarathustra
Misi Zarathustra sebagai nabi fiktif adalah menyebarkan konsep relativitas moral, di mana kebenaran tidak bersifat mutlak sehingga dipengaruhi variabel-variabel seperti budaya, perasaan, maupun situasi. Zarathustra menganggap bahwa ketaatan pada konsep moralitas tradisional (ajaran Gereja) menciptakan kelanggengan perbudakan orang terhadapnya, sehingga harus dihancurkan dan mendapat substitusi lebih baik. Pada akhirnya, relativitas moral membentuk moralitas baru karena pemikiran Zarathustra berakar dari 10 perintah Tuhan dan dianggap memanusiakan masyarakat penganut paham tersebut.
Baca Juga: Menggali Akar Sejarah Peminggiran Perempuan
Tentunya, ini adalah satu dari sekian banyak sabda Zarathustra yang menolak entitas ajaran Kristen tradisional, karena memang setiap perspektif manusia terhadap suatu hal bisa jadi berbeda. Contoh konkret dari perspektif Zarathustra adalah ketika ular Eurasia beracun menggigitnya, tetapi ia justru berterima kasih pada ular tersebut karena telah membangunkannya. Padahal, ada kemungkinan perspektif lain bahwa seharusnya ular itu dibunuh karena bisa ular tersebut mematikan.
Puisi Zarathustra Tentang Kematian Tuhan
Harapan Nietzche tersemat dalam penentangan Zarathustra terhadap moral tradisional, yaitu kemajuan umat manusia membentuk moralitas tinggi sehingga tidak dibatasi oleh paradigma baik dan jahat. Zarathustra juga mengampanyekan bahwa kematian Tuhan memuluskan jalannya dalam menyebarkan nilai relativitas moral. Nietzche mungkin sudah sering mengatakan “Tuhan sudah mati.” Kalimat itu bukan hanya pengakuan bahwa dirinya seorang ateis, tetapi hal ini mengisyaratkan bahwa sistem lama sudah tidak berlaku, melainkan seseorang harus menciptakan suatu nilai baru.
Selain itu, Nietzche juga menyampaikan pemikirannya melalui Zarathustra, bahwa agama merupakan entitas temuan manusia masa lalu dan tidak dapat dipercaya lagi oleh manusia modern.
“Also aber rate ich euch, meine Freunde: misstraut Allen, in welchen der Trieb, zu strafen, mächtig ist! Das ist Volk schlechter Art und Abkunft; aus ihren Gesichtern blickt der Henker und der Spürhund. Misstraut allen Denen, die viel von ihrer Gerechtigkeit reden! Wahrlich, ihren Seelen fehlt es nicht nur an Honig. Und wenn sie sich selber ‘die Guten und Gerechten’ nennen, so vergesst nicht, dass ihnen zum Pharisäer Nichts fehlt als — Macht!” (hlm 74)
Dalam puisinya, Zarathustra bercerita kepada teman-temannya bahwa berhenti untuk percaya kepada semua orang yang memiliki tendensi menghukum. Tidak hanya itu, ia juga menyinggung konsep dosa dari ajaran agama sejak lama. Hal ini dinyatakan dalam Roma 6:23, yaitu “bahwa upah dosa adalah maut; orang berdosa harus mati, karena dosa memisahkan kita dari Allah. Pemisahan apapun dari Sumber Kehidupan, secara alami, adalah kematian bagi kita.”
Nietzche menganggap konsep ketuhanan telah mati, sehingga Zarathustra di sini menentang konsep tersebut. Konsep ketuhanan menurutnya sebuah penindasan karena manusia harus menaati apa pun ucapan Tuhan. Oleh karenanya, Zarathustra menolak kebenaran hanya berakar dari Tuhan karena di tanah yang ia pijak, hal dianggap salah bisa jadi benar, vice versa.
Zarathustra menolak konsep bahwa Tuhan itu adil dan menganggap bahwa Tuhan menggunakan dosa sebagai algojo dan anjing pelacak. Tuhan menghukum manusia jika melakukan dosa dan membiarkan manusia yang baik hidup tanpa imbalan. Oleh sebab itu, Zarathustra menganggap Tuhan hipokrit karena hanya menerima hamba sesuai nilai ketuhanannya tanpa memberi imbalan, sedangkan mereka yang melanggar dianggap harus dihukum dengan dosa.
Buku setebal 256 halaman ini telah diterjemahkan ke Bahasa Inggris dengan judul Thus Spoke Zarathustra, juga ke Bahasa Indonesia dengan judul Maka Bicaralah Zarathustra. Meskipun demikian, buku karya Friedrich Nietzche ini tetap berat dibaca karena memiliki banyak istilah bersifat esoteris dan melibatkan beberapa teori yang harus dipahami. Selain itu, kata-kata Zarathustra dalam menyampaikan khutbahnya cukup radikal sehingga tidak jarang menimbulkan mispersepsi.
Terlepas dari kekurangannya, buku ini dapat memengaruhi manusia untuk tidak menjadi judgemental terhadap perilaku orang lain. Moral dari cerita ini, masih berkaitan dengan teori filsafat perspektivisme Friedrich Nietzche, bahwa kita tidak bisa menentukan baik atau buruknya seseorang dalam suatu masyarakat, karena setiap masyarakat memberikan standar yang berbeda.
Penulis : Namira Pratiwi
Editor : Adinda Rizky Meilani Putri