oleh: Wisnu Adi Wibowo*
“Beri aku pendidikan gratis, niscaya akan kuguncangkan Dunia.”
—Faisal Harun, Musisi Jalanan dan Pegiat Anarkisme
Berani jujurkah kita? Beranikah kita membuka kesadaran dengan segala kejernihan pandang? Bahwa belenggu yang merantai mahasiswa Universitas Negeri Jakarta masih nyata adanya. Mulai dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin meningkat setiap tahun, tata kelola dan tata ruang yang belum terlihat membaik, minimnya sarana dan prasarana penunjang kegiatan akademik dan masih banyak lagi. Belum lagi segenap masalah yang tempo lalu membuat heboh seantero dunia pendidikan tinggi dalam negeri, yakni kasus plagiarisme dan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), yang belum ada kejelasan perihal ketuntasannya. Kiranya sampai saat ini, paska pembebasan masa tugas rektor kita tercinta terhitung sejak 26 September 2017 lalu, dengan berat hati kita masih dapat menjumpai dengan mata telanjang masalah-masalah yang telah saya sebutkan terdahulu.
Hal tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa akar permasalahannya bukanlah terletak di bawah ketiak rezim, tetapi lebih mengarah kepada mekanisme pengelolaan Perguruan Tinggi. Dari segenap permasalahan yang dapat dikatakan ‘masih’ menghantui mahasiswa UNJ diatas, di dalam tulisan ini saya mencoba mengerucutkan dimensi pembahasan pada carut-marutnya mekanisme administrasi Perguruan Tinggi Negeri dan implikasinya terhadap biaya kuliah mahasiswa. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya bila kita kembali pada dua pertanyaan awal.
Diberlakukannya uang pangkal atau uang sumbangan bagi UNJ memang bukanlah barang baru. Tentu masih segar ingatan kita tatkala UNJ pada 2016 lalu menetapkan uang pangkal sebagai biaya tambahan kuliah. Tidak tanggung-tanggung, nominal pembayaran yang harus dibayar mahasiswa baru kala itu sebesar Rp. 15 juta. Hasil akumulasi dari penyerapan dana uang pangkal kala itu diindikasi kuat akan direalisasikan untuk menyukseskan program pembangunan 4 tower yang setara dengan gedung R.A. Kartini di 4 fakultas. Keberadaan uang pangkal tak lain disebabkan lantaran rendahnya jumlah pemasukan negara yang berimplikasi pada menurunnya Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Sehingga mau tidak mau pihak kampus harus memutar otak untuk mendapatkan pemasukan yang dapat menutupi kekurangan tersebut. Marilah kita menengok ke rumusan Biaya Kuliah Tunggal (BKT = BOPTN+UKT) yang di dapat pihak kampus melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jika dana BOPTN yang disalurkan oleh pemerintah mengalami penurunan, otomatis pihak kampus ‘seakan’ hanya dapat memilih dua jalan pintas. Pertama, meningkatkan nominal UKT. Kedua, memberlakukan kebijakan uang pangkal.
Dari rumusan tersebut, menurunnya BOPTN menjadi alasan mengapa akhirnya pada 2016 lalu UNJ memberlakukan uang pangkal. Pemberlakuan uang pangkal kala itu berdalih pada Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal, pada pasal 9 yang menyebut bahwa PTN dapat memungut uang pangkal/pungutan lain selain UKT bagi mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang melalui jalur kerjasama dan/atau mahasiswa yang melalui jalur seleksi mandiri bagi S1 dan Diploma. Namun, jika di lihat pada pasal sebelumnya (pasal 8) justru berbanding terbalik dan membuka ruang terjadinya inkonsistensi regulasi. Pada pasal 8 menyebut bahwa PTN dilarang memungut uang pangkal/atau uang pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru bagi program studi S1 dan Diploma. Dari kelenturan pemaknaan Permenristekditi No. 22 Tahun 2015 antara pasal 8 dengan pasal 9 dan di satu sisi didukung oleh penurunan dana BOPTN menandakan babak baru dimulainya proyeksi komersialisasi Perguruan Tinggi secara lebih massif dengan teror uang pangkal sebagai dalihnya.
Pasca pencabutan kembali mekanisme uang pangkal yang diterapkan pada 2016 lalu berkat adanya aksi protes yang di gelorakan oleh mahasiswa. Tepat pada rapat pimpinan beberapa bulan lalu, UNJ memutuskan akan memberlakukan Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) pada para mahasiswa baru angkatan 2018 dari jalur seleksi mandiri (PENMABA). Dalam mekanisme SPU tersebut, calon peserta yang mendaftar seleksi mandiri dapat memilih untuk bersedia menyumbang atau tidak dan sumbangan tersebut hanya diberikan sekali selama masa studi. Jika kita lihat, memang ada perbedaan teknis antara mekanisme uang pangkal yang diberlakukan tahun 2016 lalu dengan SPU. Seperti yang disebutkan sebelumnya, uang pangkal tahun 2016 menetapkan jumlah nominal yang wajib dibayar, namun SPU memperbolehkan calon peserta untuk menyumbang dengan nominal mulai dari nol rupiah (atau bisa dikatakan tidak menyumbang) sampai jutaan rupiah.
Walaupun SPU bersifat sumbangan secara tidak langsung kita dapat menyebut SPU sebagaimana ‘uang pangkal gaya baru’. Pasalnya, baik uang pangkal maupun SPU adalah bukti kongkrit dari distorsi atas mekanisme UKT secara konseptual. Asas tunggal yang dimiliki oleh UKT terdistorsi lantaran SPU mempertontonkan adanya penarikan biaya kuliah diluar UKT. Selain itu ada hal yang lebih menarik untuk kita simak, bahwa ternyata ada kesamaan latar belakang diberlakukannya mekanisme uang pangkal dengan mekanisme “uang pangkal gaya baru” ini. Dilansir dari didaktikaunj.com, lantaran kekurangan dana UKT dan BOPTN untuk pengembangan sarana dan prasarana di UNJ menjadi latar belakang diadakannya SPU. Sama halnya dengan uang pangkal tahun 2016, SPU ditetapkan berdasarkan Permenristekdikti No. 22 Tahun 2015 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan UKT. Ditambah dengan pemberlakuan regulasi Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017, bahwa pihak universitas diizinkan memberlakukan sistem penarikan uang pangkal untuk jalur mandiri paling banyak sebesar 30%.
Dilansir dari didaktikaunj.com, menurut Ficky Duskarnaen, Kepala UPT Pustikom, bahwa BOPTN atau sumbangan dari pemerintah tidak mencukupi untuk pengembangan akademik dan sarana prasarana, pemerintah hanya memberikan BOPTN hanya untuk mahasiswa jalur SNMPTN dan SBMPTN sedangkan jalur mandiri tidak diberikan oleh pemerintah. Oleh karena itu, UNJ mengadakan SPU untuk menutupi kekurangan tersebut. menurut permenristekdikti No. 6 Tahun 2018 tentang BOPTN disebutkan bahwa tidak ada larangan dari menteri menggunakan BOPTN untuk mahasiswa jalur mandiri. Peraturan tersebut hanya melarang dana BOPTN digunakan untuk pembangunan fisik, tambahan penghasilan, tambahan jam mengajar dosen, dan operasional manajemen di luar kegiatan yang terkait dengan pembelajaran. Menurut Muhammad ZId, UNJ sudah tidak dapat lagi mengandalkan UKT. Bahkan Zid mengatakan bahwa hanya UNJ saja sebagai kampus negeri yang tidak membuat kebijakan uang pangkal. Alasan lain mengapa diberlakukannya SPU, Wakil Rektor II, Komarudin menjelaskan bahwa pemerintah tidak lagi membiayai sarana dan prasarana UNJ sejak tiga tahun lalu.
Terkait dengan fakta dan alasan mengapa diberlakukannya SPU yang ditemukan oleh LPM Didaktika UNJ, kita dapat melihat seutas benang merah, yakni sejak tiga tahun lalu (kira-kira sejak tahun 2015 lalu) pemerintah mengurangi dana BOPTN dan pada akhirnya menumpahkan beban administrasi tersebut kepada pihak kampus negeri (baik BLU maupun PTN-BH). Maka tak heran, hal yang sedemikian rupa dijadikan faktor tumpuan UNJ untuk kembali memberlakukan kebijakan uang pangkal. Disini kita mendapat poin penting, bahwa pemberlakuan SPU di UNJ sejatinya berakar pada prospek pemerintah dalam mengelola Perguruan Tinggi. Jumlah pemasukan negara yang mengalami penurunan menjadikan alasan mengapa universitas sebagai salah satu instrumen pendidikan dijadikan kambing hitam untuk menghemat anggaran. Selain itu, banyaknya pengembangan status Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi PTN dinilai oleh banyak pihak sebagai faktor pecahnya konsentrasi pemerintah dalam mengatur alur BOPTN ke berbagai PTN.
Berdasarkan pendapat saya diatas, sudah barang tentu bukan hanya kampus UNJ yang menjadi sasaran tuduhan pemerintah dengan teror penurunan BOPTN. Dilansir dari tribunnews.com, pada Senin 4 Juni 2018 lalu, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) menggelar aksi protes untuk menolak pemberlakuan uang pangkal yang sebelumnya pada 2016 diberi nama Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Uang pangkal yang diberlakukan di UNNES ditujukan kepada para mahasiswa baru yang akan masuk melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru (SPMB) 2018. Menurut media daring tersebut, penarikan uang pangkal di Unnes sudah mengalami perubahan sebanyak 3 kali. Awalnya ditarik sesuai program studi yang besarannya mulai dari Rp. 25 juta sampai Rp. 40 juta per mahasiswa. Menurut Kepala UPT Humas Unnes, Hendi Pratama, berdasarkan dialog antara birokrat kampus dengan mahasiswa, kebijakan uang pangkal di bagi ke dalam 5 golongan yang dapat dipilih oleh mahasiswa dan bahkan bisa pula Rp. 0. Sedangkan regulasi yang dijadikan pintu masuk Unnes untuk memberlakukan uang pangkal tak lain sama halnya dengan PTN lain yakni Pemenristekdikti No. 22 Tahun 2015 dan Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017. Sayangnya saya tidak menemukan secara pasti latar belakang Unnes memberlakukan uang pangkal baik di media daring tersebut maupun media-media lainnya.
Sampai disini, hal yang menarik perhatian saya adalah mengapa regulasi yang mengatur pengelolaan administrasi PTN begitu lentur sehingga pihak PTN mendapat akses untuk memberlakukan uang pangkal ketika dana BOPTN berkurang? Apakah hal tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah lepas tangan dengan pengelolaan Pendidikan Tinggi dan cenderung lebih memfokuskan perhatiannya pada proyek pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan raya dan transportasi umum?
Menurut saya, bermula dari nota kesepakatan GATS-WTO (General Agreement on Tariffs and Service-World Trade Organization) yang dalam pasal perjanjiannya pendidikan menjadi salah satu dari 12 sektor jasa yang diperdagangkan yang tentunya sangat menjanjikan keuntungan yang cukup melimpah. Secara khusus, pemerintah Indonesia dengan segera melakukan ratifikasi atas seluruh kebijakan dalam WTO tersebut dengan memberlakukan UU No.7 Tahun 1994, tertanggal 2 November 1994, tentang pengesahan “Agreement Establishing the World Trade Organization”. Tahun 2001, pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa GATS. Dengan pintu masuk kesepakatan GATS inilah yang menjadikan cikal bakal lahirnya berbagai produk kebijakan Undang-Undang di sektor pendidikan yang jauh dari kebutuhan rakyat, seperti UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang kemudian dicabut pada 30 Maret 2010. Nota kesepakatan GATS juga memberikan ruang pemerintah untuk memberlakukan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UUPT) pada Juli 2012 yang melegitimasi keberadaan mekanisme UKT dan BKT.
Dilansir dari didaktikaunj.com, sebuah opini yang berjudul “Penerapan Uang Pangkal di PTN dan problem Otonomi Kampus” yang di tulis oleh Luqman Abdul Hakim, menyebutkan bahwa sejak keluarnya UUPT No. 12 Tahun 2012, pemerintah menggalakkan kebijakan otonomi kampus bagi PTN. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi subsidi pemerintah dan mendorong PTN secara otonom dapat mengatur serta mengelola penyelenggaraan pendidikan tinggi di masing-masing lembaga. Kebijakan otonomi kampus yang dimaksud tak lain adalah skema PTN-BH dan BLU yang tertuang dalam PP No. 4 Tahun 2014. Luqman menandaskan bahwa buntut dari kebijakan otonomi ini adalah seretnya dana yang dimiliki kampus untuk memenuhi kebutuhan operasional. Selaras dengan pendapat Luqman, seretnya dana yang dialokasikan ke PTN melalui dua skema otonomi kampus tersebut, menyebabkan prospek BKT menjadi terhambat. Pihak PTN akhirnya merasakan efek domino dari fenomena tersebut. Untuk tetap mendanai kegiatan operasional maka jalan yang diambil pihak kampus adalah kebijakan top-down dengan membebankan peningkatan UKT dan uang pangkal kepada mahasiswa. Alhasil, ketika beban tersebut di limpahkan kepada rakyat implikasinya tak lain adalah semakin kecilnya akses rakyat yang secara ekonomi relatif rendah untuk merasakan lingkungan akademis di bangku kuliah.
*penulis dari Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA)