Marsinah adalah nama yang kelewat sederhana. Siapa Marsinah, barangkali jarang orang yang tahu, karena dia bukan penyanyi, bintang film, dan sederet profesi glamour lainnya, karena dia adalah seorang perempuan desa yang berprofesi sebagai seorang buruh. Yah! Marsinah adalah seorang buruh kecil di Jawa Timur. Sebuah profesi yang sederhana sesuai dengan namanya. Meskipun begitu dalam diri marsinah ada kejernihan yang memunculkan kesadaran, bahwa buruh pun manusia yang memiliki hak-hak seperti manusia lainnya.
Buruh sebagai sebuah profesi yang memiliki hak dan kesempatan yang sederajat dengan profesi lainnya. Kesadaran inilah yang menjadikan Marsinah sebagai aktivis buruh di Jawa Timur, menuntut ketidakadilan yang menimpa kaumnya. Sampai kemudian tangan- tangan kekuasaan menghentikan perjuangan Marsinah ditemukan tewas dalam keadaan yang menyedihkan. Kini Marsinah telah tiada, kematiannya tetap menjadi misteri, perjuangannya untuk menuntut hak-hak buruh belum selesai. Namun kematian dan perjuangan Marsinah tidaklah sia-sia. Perjuangannya telah memberikan inspirasi bagi aktivis-aktivis buruh lainnya untuk terus berjuang. Untuk itulah, Didaktika mengirimkan wartawannya untuk mewawancarai marsinah secara imajiner. Untuk mengetahui apa sesungguhnya obsesi Marsinah dalam memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh. Berikut ini petikan-petikan wawancara imajiner dengan Marsinah:
T: Apa sesungguhnya yang melatarbelakangi anda begitu gigih memperjuangkan buruh?
J: Sebenarnya keinginan kami tidak muluk- muluk atau sederhana. Kata orang-orang sekolahan, kami ini katanya soko guru perekonomian. Tanpa kami perekonomian akan mandek. Pabrik-pabrik nggak jalan, perusahaan-perusahaan bangkrut, namun perlakuan para majikan kepada kami tidak sepadan atau seimbang dengan kerjaan kami. Kami diperas tenaganya setiap hari, tanpa memperhatikan jam kerja, dari pagi sampai sore terkadang lembur sampai malam, istirahat hanya sekedar, tanpa makan yang memadai, lalu upah yang diberikan pada kami untuk makan sehari saja tidak cukup. Kadang-kadang kami ini merasa bukan manusia, kami ini budak, hak-hak kami tidak didengarkan oleh petugas.
T: Lalu tindakan anda bagaimana?
J: Yah, kami biasanya protes, untuk tawar menawar dengan majikan kami tidak punya kemampuan, protes kami tidak pernah didengar dan kami malah dituduh pembuat keonaran, katanya ditunggangi pihak-pihak tertentu. Yang menunggang ya kami sendiri bukan orang lain. Wong yang berkepentingan juga orang sekolahan, apalagi yang lain. Kami dituduh macam-macam pihak perusahaan memPHK kami. Mengadu ke bapak-bapak hanya dinasehati untuk menjadi pekerja yang baik, yang produktif! Lha, wong selama ini apa memang tidak produktif? kami tidak tahu harus mengadu kemana lagi.
T: Kan ada SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) yang mewadahi para buruh!
J: Percuma, SPSI sendiri tidak pernah memperhatikan nasib kami. SPSI hanya dijadikan perpanjangan tangan bapak-bapak untuk mengatur kami, bukan memperjuangkan hak-hak kami. la diadakan supaya kami tidak mogok, tidak protes, biar SPSI sendiri yang mengatur kalau ada keluhan namun kenyataannya tidak pernah! kami tidak berubah SPSI hanya sarana hagi segolongan atau sekelompok orang untuk mencari kedudukan dengan berdiri di atas kesengsaraan kami. Bagaimana kami harus percaya pada SPSI kalau kenyataannya seperti itu. Coba sekarang, kalau SPSI ingin memperjuangkan kami, beranikah mereka mendatangi perusahaan-perusahaan yang semena-mena terhadap kami.
Usul agar nasib kami menjadi lebih baik. Usul agar buruh mempunyai forum yang bebas, mandiri untuk menghindari keserakahan perusahaan-perusahaan.
T: Kalau begitu apa perlu organisasi lain di samping SPSI?
J: Sekarang ini khan katanya zaman demokrasi, dalam keterbukaan. Kalau memang SPSI tidak mampu lagi menampung aspirasi kami, mendingan dibuat organisasi baru, yaitu sebuah organisasi buruh yang mampu mewakili kami, memperjuangkan buruh. Seharusnya pemerintah membuka diri terhadap kenyataan ini. Bukan lantas ditutup-tutupi. Apalah artinya keterbukaan kalau ternyata sikap pemerintah seperti itu. Perbedaan pendapat kan dilindungi oleh undang-undang, namun ternyata Pemerintah tidak mentolelirnya. Ketakutan yang tidak berdasar sama sekali. Dulu saya dengar ada Serikat Buruh Seluruh Indonesia tetapi ternyata tidak diakui. Kemudian juga ada SBMS, juga tidak diakui, padahal perjuangan mereka bisa kami rasakan.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/keprihatinan-dan-harapan/
T: Bagaimana dengan hak mogok, apakah anda tahu kalau buruh pun mempunyai hak mogok?!
J: Sebenarnya dengan mogok kerja merupakan sarana yang cukup efektif bagi kami untuk mengajukan atau menuntut setiap perlakuan yang tidak adil. Meski kata buruh memiliki hak mogok, namun peraturan-peraturan mengkungkung praktek pemogokan. Jauh hari sebelum mogok harus menghubungi beberapa pihak mengenai rencana pemogokan.
Nah, kalau diketahui pihak perusahaan, maka pihak perusahaan akan menyiapkan seribu satu alasan untuk membungkam pemogokan. Jadi pemogokan tidak bisa spontanitas, padahal perlakuan dan ketidakadilan perusahan terjadi tanpa kenal waktu. Kalau pun kami langsung beraksi maka dikatakan liar. Aparat keamanan biasanya menuduh kami dijadikan alat oleh pihak-pihak tertentu. Dan ini yang paling menyedihkan bagi kami, para aktivis dipecat oleh perusahaan, tanpa punya kesempatan untuk membela diri.
Atau kalau tidak ditangkap oleh petugas dengan tuduhan membuat keonaran. Jadi meski pun ada hak mogok, kalau dalam pelakanaannya saja terus dipersulit, sama saja seperti tidak punya hak untuk mogok.
T: Bagaimana anda melihat pemerintah dalam menangani masalah buruh ini?!
J: Sebenarnya pemerintahlah yang paling bertanggungjawab terhadap nasib kami, pertumbuhan ekonomi yang katanya kalau dilihat dari angka statistik cukup cepat, tidak bisa terjadi tanpa keringat kami. Seharusnya pemerintah menyadari benar akan hal itu. Jangan malah ditawar-tawarkan kepada pemilik modal di luar negeri.
Kalau gaji buruh di Indonesia murah kamilah yang menanggung akibatnya, meskipun pemerintah mengeluarkan seribu satu peraturan yang mengatur masalah buruh tidaklah berarti. Karena peraturan itu memihak pengusaha- pengusaha bukan memihak kami. Yang terpenting bagi kami adalah peraturan yang memihak kami, yang melindungi kami dari penghisapan, ketidakadilan, kesewenang- wenangan dari para pengusaha. Hanya itu kok!
T: Lalu pandangan anda sendiri terhadap masa depan buruh di Indonesia bagaimana?
J: Cukuplah nasib buruh yang memilukan hanya sampai kepada kami. Buruh bukanlah budak yang harus taat dan menurut terhadap perintah setiap majikan. Kami juga sama dengan majikan, yang membedakan adalah mereka punya modal, sedang kami tidak punya modal. Modal tanpa tenaga adalah sama dengan percuma.
Maka harapan saya adalah adanya kesejahteraan, perlindungan hukum dan hak-hak yang dihormati untuk para buruh di Indonesia. Kami ingin menjadi tuan rumah di negeri kami, dan juga ikut menikmati hasil keringat kami. Jangan sampai kami menjadi tumbal pembangunan. Demikianlah Marsinah mengakhiri pembicaraan kami, semoga arwahmu bisa tenang di sisiNya. Terima kasih Marsinah.
Ditulis oleh: Azis Nasution
Dalam Majalah LPM Didaktika No. 6 Th. IX 1994 pada Rubrik TEROPONG