Bagi masyarakat urban, mengunjungi tempat wisata di luar kota memang mengasyikkan, tak peduli milik pemerintah, swasta, atau warga sekitar.

Sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah semester enam, kami diwajibkan mengikuti program Kuliah Kerja Lapangan (KKL) sebagai pra-syarat kelulusan. Walau harus mengeluarkan uang, mau tak mau, saya terpaksa ikut. Meski keberatan, toh, acaranya cuma jalan-jalan, mendengarkan guide museum, dan membuat laporan setelahnya.

Sesuai kesepakatan teman-teman, dosen, dan pihak travel, kami akan mengunjungi Semarang, Ambarawa, Surakarta, dan Yogyakarta. Seperti nama Program Studi (Prodi) kami, tempat wisata bersejarah seperti Kota Lama, Lawang Sewu, Pabrik Gula De Tjolomadoe, Museum Fosil Sangiran, Museum Kereta Api (KA) Ambarawa, Keraton Ratu Boko, dan Istana Air Taman Sari akan menjadi destinasi KKL kami. Perjalanan pun dimulai.

Ternyata, beberapa tempat bersejarah yang kami kunjungi ini dijadikan industri pariwisata oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti Lawang Sewu dan Museum KA Ambarawa milik Perseroan Terbatas Kereta Api Indonesia (PT KAI), Keraton Ratu Boko milik PT Taman Wisata Candi (PT TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko , De Tjolomadoe milik PT Perkebunan Nusantara IX (PT PN IX). Lumrah memang, jika suatu situs peninggalan sejarah akhirnya dikuasai oleh negara. Sebab, pariwisata merupakan salah satu bagian integral dari pembangunan nasional.

Tak sebatas demi pembangunan semata. Mengacu pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, disebutkan dalam Pasal 4 a, b, c, tujuan kepariwisataan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta menghapus kemiskinan. Sepertinya ini tidak terlalu penting untuk saya sebutkan, mengingat kebanyakan sektor industri di Indonesia memang berlandaskan pada hal-hal klise seperti itu.

Meski tidak penting-penting amat, kuranglah bijaksana jika tidak mempertanyakan implementasi dari undang-undang tersebut. Apakah yang dimaksud “meningkatkan pertumbuhan ekonomi” berarti membuka lapangan pekerjaan untuk warga sekitar museum? Jika iya, hal ini memanglah terjadi. Saya melihat, warga sekitar memang kecipratan industri tersebut sebagai penjual asesoris, membuka warung atau jajanan khas daerah, bahkan, ada pula yang menjadi pengemis. Sungguh dermawan sekali pemerintah. Mereka memberi peluang kerja lain, sehingga warga sekitar tak perlu susah-susah memberdayakan aset yang ada di wilayahnya sendiri. Negara sudah memploting peluang ekonomi warga sekitar. Sungguh dermawan.

Iklan

Lihat saja, ketika kami menjumpai Museum Kereta Api Ambarawa, seorang pengemis dengan lusuh menyodorkan wadah berisi recehan lewat sela-sela pagar stasiun kepada kami. Meskipun saya tak tahu apakah ia warga sekitar atau bukan, aneh jika ia mesti mengemis sementara asetnya dikomodifikasi oleh negara. Sialnya, saya juga tak tahu sistem pendistribusian keuntungan museum tersebut kepada warga sekitar. Meski demikan, saya yakin keuntungan tersebut tidak dibagi secara merata. Bagaimana bisa merata, pemilik modalnya saja negara lewat BUMN. Warga sekitar bisa apa?

Bagi negara, peninggalan bersejarah (dalam konteks museum) merupakan bisnis yang menjanjikan saat ini. Apalagi jika bergandengan dengan perusahaan lain. Seperti yang terjadi di Lawang Sewu. Mungkin tak hanya saya yang terkejut melihat restoran cepat saji, California Fried Chicken (CFC), ada di dalam kawasan Lawang Sewu. Kusir delman sekitar Lawang Sewu mungkin bisa gagal fokus dan salah rute gara-gara mencium wangi ayam goreng.

Tak hanya PT KAI, BUMN lainnya, PT TWC, telah menyulap Keraton Ratu Boko menjadi destinasi wisata bernuansa sejarah yang menarik. Buktinya, PT TWC (yang bekerjasama dengan Sanka Heritage) menyediakan paket “Boko New Year Party” pada pergantian tahun 2020 lalu. Paket tersebut berisi couple dinner, dipa romantis, live music, game, serta bakar-bakaran. Pasarnya adalah pasangan kekasih yang ingin menikmati malam pergantian tahun dengan suasana yang berbeda (bumn.go.id). Entah mengapa saya tidak tertarik bagaimana acara tersebut berlangsung. Saya lebih penasaran bagaimana ekspresi Rakai Panangkaran melihat tempat tinggal dan tempat sembahyangnya dikomodifikasi negara untuk new year party.

Melihat fenomena tersebut membuat saya curiga, mungkinkah pemerintah tidak percaya atau takut jika “menghibahkan komoditinya” kepada warga sekitar? Apakah pemerintah takut karena warga lokal tidak memiliki kapabilitas dalam mengembangkan asetnya sendiri? Atau, pemerintah tidak ingin keuntungan dari industri pariwisata dikuasai oleh warga sekitar?

Wajar pemerintah cemas jika komoditinya diserahkan kepada warga sekitar apabila alasannya warga, tidak memiliki kapabilitas dalam mengelola sebuah museum. Mungkin salah satunya perihal modal. Atau kasarnya lagi, warga lokal tak memiliki imajinasi pemberdayaan aset bersejarah. Jika yang terakhir ini alasan sebenarnya, mustahil pemerintah menyediakan dorongan dana untuk warga sekitar. Mustahil pula pemerintah memberikan suatu penyuluhan agar warga sekitar dapat mengelola sendiri aset bersejarah. Saya yakin, swakelola aset sejarah oleh warga sekitar takkan pernah ada jika terus seperti ini. Warga sekitar akan terus ketergantungan oleh cipratan industri pariwisata BUMN di tanahnya sendiri. Jika pemerintah berani memberi kepercayaan pada masyarakat sekitar, masalah berhasil atau tidak, sistemnya bagaimana, distribusi keuntungannya seperti apa, warga sekitar lah yang berhak menentukan. Toh, sektor industri lain yang dikelola BUMN masih banyak.

Selama ini kita percaya, segala macam industri (termasuk industri pariwisata) milik negara, semata-mata bertujuan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat agar lebih sejahtera. Sementara, seluruh sektor industri sudah dimonopoli oleh negara. Perusahaan-perusahaan industri milik negara sudah sangat menjamur, bak magic mushroom saat lebarah haji. Tetapi, sudah sejauh mana kita merasakan kesejahteraan itu? Pendapatan untuk negara, bilangnya untuk kesejahteraan bersama, tapi kok petani yang tiap hari bangun jam lima pagi masih belum sejahtera? Alih-alih memanfaatkan aset warga untuk kepentingan bersama, justru semakin memperdalam jurang ketimpangan. Apa yang saya temui saat KKL kemarin, semakin menguatkan pandangan saya bahwa pariwisata lokal merupakan cerminan identitas nasional, cerminan bangsa penyamun.

Penulis: Hastomo

Editor: Uly Mega