Diskusi publik yang berjudul “Polemik Kampung Susun Bayam dan Perjuangan Reforma Agraria Perkotaan” dilaksanakan di gedung Ki Hadjar Dewantara, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Selasa (27/2). Diskusi membahas isu penggusuran paksa warga Kampung Bayam serta hak tempat tinggalnya yang belum diberikan olen pemerintah sampai sekarang.  

Ketua Paguyuban Kampung Susun Bayam (KSB), Furkon menegaskan warga kampung bayam hingga sekarang keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Hal itu disebabkan warga belum mendapatkan hak tempat tinggal di dalam rusun serta sering mendapatkan represi dari aparat. Ia pun menyayangkan sikap pemerintah melalui aparat yang berlaku semena-mena kepada warga serta bertindak tidak manusiawi.  

“Saya meminta warga Kampung Bayam jangan diintimidasi apalagi direpresi. Warga itu juga warga negara yang mesti dilayani,” tegas Furkon.  

Senada dengan Furkon, advokat tim kuasa hukum KSB, Juju mengatakan dalam setiap pembangunan nasib warga harus selalu diperhatikan serta dibela. Perkara itu berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 yang mengatur dasar pokok-pokok agraria. Undang-undang itu menyebutkan warga mesti sejahtera berada di atas tanahnya. Selain itu, ia juga menuntut janji pemerintah sebelumnya untuk memberikan rusun KSB sebagai tempat tinggal warga.  

“Prinsipnya sudah jelas pacta sunt servanda (perjanjian harus ditepati),” ucapnya. 

Sekjen FPPI, Yusron berujar konflik yang dialami warga kampung bayam membuktikan permasalahan reforma agraria tidak hanya terjadi di masyarakat pedesaan, tapi juga perkotaan. Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah selalu mengabaikan kehidupan rakyat bahkan kebutuhannya. Hal itu karena kebijakan top to bottom hanya konsentrasi kepada investasi, bukan memerhatikan keperluan rakyat. 

Iklan

Yusron juga menambahkan solusi alternatif yang ditawarkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak menyelesaikan masalah. Rusun Nagrak dan Rusun Pasar Rumput memang bisa menampung warga Kampung Bayam serta sudah siap huni. Namun, apabila perpindahan itu terjadi, warga akan kehilangan mata pencaharian utamanya, yaitu sebagai petani.     

“Alhasil, peta tata ruang kota tidak berpihak kepada kepentingan warga serta merugikannya,” terang Yusron sambil membelah kedua tangannya.  

Pandangan lain datang dari antropolog Indonesia Resilience, Cika Aprilia menyatakan warga Kampung Bayam termasuk tahap satu masyarakat tradisional dalam teori Rustow, yaitu pekerjaannya masih mengandalkan sektor pertanian. Menurutnya, pembangunan proyek raksasa yang terjadi di sekitar tempat tinggal kampung bayam merupakan usaha pengubahan mata pencaharian warga dari sektor agraris menjadi industri. 

Ia pun tidak setuju dengan apa yang dilakukan pemerintah karena memegang standar modernisasi Rustow dalam melaksanakan pembangunan. Sebab standar pembangunan modern yang digunakan tidak cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memiliki ragam corak pekerjaan heterogen.  

“Terbaik untuk pemerintah, belum tentu baik untuk warga. Pembangunan itu perlu melibatkan kacamata kemanusiaan supaya menghasilkan kebijakan yang menguntungkan untuk semua pihak,” simpulan Cika mendapat tepuk tangan peserta acara.  

Saat acara ditutup, seluruh mahasiswa bersama-sama merapat ke tempat yang diarahkan oleh panitia untuk menandatangani petisi dukungan bagi warga Kampung Bayam. Petisi itu ditunjukan untuk membantu perjuangan warga agar mendapat tempat tinggal tetap. 

Baca juga: Gelombang Kritik Sivitas Akademika Berlanjut, UNJ Desak Penegakan Nilai-Nilai Demokrasi

Penulis/reporter : Naufal Nawwaf 

Editor : Ragil Firdaus