Bulan April lalu, Deduktif.id mempublikasi tiga hasil investigasinya mengenai fenomena banjir cum laude di hampir semua kampus di Indonesia. Dalam kurang lebih satu dekade terakhir, lulusan penyandang cum laude atau yang mendapat IPK lebih dari 3,5 semakin meningkat persentasenya di setiap angkatan kelulusan.
Di Universitas Indonesia (UI) misalnya, persentase cum laude dari program sarjana di mencapai 74 persen dari total lulusan pada Agustus 2023, angka yang tinggi dibanding Februari 2015 hanya 16,8 persen. Secara nasional, hampir semua kampus di semua daerah menghasilkan lulusan dengan rata-rata IPK berada di 2,9 pada 2021, kemudian naik menjadi 3,15 di 2022.
Istilah cum laude yang berarti “dengan pujian” biasanya digunakan sebagai penghargaan bagi pencapaian akademik tertentu. Biasanya cum laude menjadi pencapaian yang tidak semua orang bisa dapatkan. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.3 Tahun 2020 menetapkan, mahasiswa dinyatakan lulus dengan predikat pujian apabila mencapai Indeks Prestasi Kumulatif IPK lebih dari 3,50.
Namun kini kampus terkesan ugal-ugalan dalam menyematkan gelar kehormatan ini kepada siapapun. Banyak dosen memberi nilai tinggi dengan gampangnya, hanya karena rasa kasihan sebab mahasiswa tersebut sudah berusaha keras.
Biasanya dosen menilai berdasarkan absensi, pengerjaan tugas, dan keaktifan di kelas. Namun untuk memenuhi standar tersebut mudah saja, “Yang penting tanya di kelas, bukan tanya yang penting” atau mengerjakan tugas ala kadarnya. Bahkan, tak jarang para mahasiswa akan merongrong dosen yang memberikan nilai di bawah A.
Di sisi lain, ambisi para mahasiswa mendapat IPK tinggi seringkali didorong oleh motif ekonomis dan praktis. Dengan biaya kuliah yang makin mahal, mereka hanya ingin lulus cepat dan dapat bekerja dengan upah layak, kalau bisa setinggi-tingginya. Akibatnya, banyak mahasiswa yang mengalami depresi kalau nilainya rendah. Seperti mahasiswa Unpad pada 2018 lalu misalnya, ditemukan mengakhiri hidupnya karena masalah keuangan dan skripsinya yang tak rampung-rampung.
Kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Sebab fenomena ini bukan hanya masalah moral, melainkan masalah struktural yang secara hegemonik mereduksi kultur akademik di universitas menjadi kegiatan jual beli pengetahuan. Dengan kata lain, ini adalah wajah lain dari neoliberalisme pendidikan tinggi.
Pendidikan mengalami delegitimasi sebagai hak bagi warga negara, di mana proses pembelajaran dan produksi pengetahuan yang demokratis, dengan semangat nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kepentingan umum menjadi orientasinya. Kini hanya menjadi komoditas yang diperdagangkan.
Baca juga: Biaya Kuliah Tinggi, Aliansi Pendidikan Gratis Layangkan Somasi
Kampus Neoliberal
Setidaknya ada dua gejala yang turut mengkonstruksi paradigma pendidikan ala neoliberal. Pertama, otonomi kelembagaan yang diberikan universitas untuk mencari dan mengoperasikan dananya sendiri, hal ini melegitimasi kampus untuk merogoh kocek mahasiswanya. Kedua, bagaimana universitas ditempatkan di dalam arus perputaran kapital bersama sektor-sektor lain (pasar bebas).
Yang pertama mensyaratkan pengurangan subsidi negara kepada universitas dan menjadikannya otonom. Di sisi lain, otonomi kampus diberikan dengan konsekuensi anggaran yang didapat dari negara semakin kecil. Untuk mendorong kemandiriannya, anggaran kampus diatur dengan mekanisme berbasis kinerja, dengan kata lain logika subsidi berganti menjadi logika insentif.
Ada dua sumber pendanaan negara, melalui Satuan Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SSBOPT) dan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Permendikbud No 2 Tahun 2024 misalnya, mengatur alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan mensyaratkan akreditasi program studi dan akreditasi perguruan tinggi. Sementara BOPTN didasari menurut Indikator Kinerja Utama (IKU).
Untuk mencapai akreditasi unggul, kampus harus memiliki program studi yang terakreditasi menurut kriteria yang dispesifikasi BAN-PT. Ada 69 kriteria, dua di antaranya adalah rata-rata IPK lulusan dalam tiga tahun terakhir dan rata-rata masa studi. Adapun salah satu indikator IKU, mengukur berdasarkan lama waktu tunggu hingga lulusan mendapat pekerjaan serta besaran upahnya.
Standarisasi inilah yang kemudian menjebak kampus ke dalam permintaan pasar. Mau tidak mau, untuk tetap bertahan mesti melakukan berbagai cara. Bahkan mengorbankan moral akademik dan membunuh tradisi meritokrasi yang demokratis. Orientasi kampus kini sebatas mengejar nilai-nilai ekonomis.
Mitos Mobilitas Vertikal
Kian tervokasionalisasinya universitas membuat ia tak ubahnya sebagai lembaga pencetak tenaga kerja saja. Hal ini pada akhirnya melanggengkan mitos yang kini melekat pada diri universitas. Di tengah ketidakpastian mendapat kerja, kampus menjadi primadona layaknya tempat les bimbel, sehingga wajar kalau biayanya mahal. Kampus digadang menjadi sarana satu-satunya untuk mobilitas diri secara vertikal.
Masalahnya, sektor ketenagakerjaan dan industri tidak mampu menampung lulusan perguruan tinggi. Sebanyak 787.973 dari semua kelompok umur merupakan lulusan universitas yang menganggur, dari total 7,8 juta pengangguran pada 2023.
DI satu sisi, peningkatan laju sektor informal telah mendominasi dan menopang kegiatan perekonomian kita dalam satu setengah dekade terakhir. Pada 2019-2024 sektor formal hanya menyerap 2 juta. Pekerja informal pun melambung sebanyak 8,4 juta di periode 2019-2024.
Kondisi ini membawa sebagian besar orang pada kerentanan dalam bekerja. Sebab sektor informal kerap berdiri di atas ketiadaan jaminan kerja, upah layak, hingga kesehatan para pekerjanya. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pada tahun 2024 rata-rata upah pekerja informal hanya 1,9 juta.
Bukankah jika lulusan cum laude yang makin banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar, pada akhirnya akan menjebak kita ke dalam logika pasar juga? Penawaran yang berlimpah dengan permintaan sedikit akan membuat sebuah barang menjadi turun nilainya, bahkan mungkin bisa terjadi inflasi. Sama juga bohong!
Penulis: Ezra Hanif
Editor: Izam Komaruzaman