Bukan rahasia kalau minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Tercatat dalam data Unesco saja, tahun 2012 angka minat baca di Indonesia hanya 1:1000. Artinya, setiap 1000 penduduk, hanya 1 orang yang punya minat baca serius.

Namun, di tengah keadaan demikian, belum ada upaya signifikan dari pemerintah untuk memperbaiki masalah tersebut. Hal itu, membuat resah para aktivis literasi. Situasi tersebut juga melahirkan semangat bagi para aktivis untuk membuat komunitas penggerak literasi di berbagai daerah. Bentuk yang paling sederhana adalah membuat lapak baca.

Salah satunya, Vespa Literasi. Didirikan atas dasar semangat membaca, mereka secara konsisten melangsungkan lapak baca mingguan sejak dua tahun silam di sekitar alun-alun Kraksaan, Probolinggo.

“Minat baca mengerikan. Dari situlah inisiatif untuk memfasilitasi masyarakat dan mendekatkan masyarakat pada medium bacaan,” kata Abdul Haq salah satu penggagas komunitas Vespa Literasi.

Ia berkeyakinan, bahwa semakin masyarakat didekatkan dengan buku dapat menjadi rangsangan untuk meningkatkan kepedulian terhadap budaya membaca. Atau, minimal ada interaksi sosial yang terbangun lewat bertemunya mereka di lapak itu.

Keprihatinan terhadap minimnya literasi dan diskusi, berangkat pula dari minimnya pembudayaan hal itu  di kampus. “Di kampus, jarang pula mahasiswa membaca dan berdiskusi,” paparnya. Selain membuka lapak buku, ada pula kegiatan mewarnai untuk anak-anak. Kadang mengadakan diskusi perminggu sampai jangka perbulan di café sekitar Kraksaan.

Iklan

Sayangnya, kepedulianya terhadap literasi tidak sepenuhnya direspon positif oleh aparat. Pada (27/7) lalu, ia harus mengalami sensor. Beberapa bukunya, antara lain, berjudul Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara; Sukarno, Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran “kiri” dan Revolusi Indonesia; Menempuh Jalan Rakyat; dan D.N Aidit Sebuah Biografi Ringkas disita oleh pihak kepolisian.

Alasanya, buku itu dihawatirkan mengganggu ketertiban. Karena dianggap berisi paham radikal. Padahal, dalam keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010, diatur prosedur untuk menarik buku yang dianggap beresiko meresahkan, itupun bukan melalui razia secara serampangan. Harus melalui jalur pengadilan dan alasan yang kuat.

Kebetulan, saat itu yang sedang menjaga lapak adalah dua kawannya, yakni Momon dan Ipung. Keduanya langsung dibawa dan diinterogasi di kantor kepolisian setempat dari pukul 9 hingga setengah 12 malam.

Diakui Abdul Haq, sebelumnya polisi memang sering datang ke lapak. Kadang membaca buku sekilas, kadang cuma lewat. Namun, hari itu polisi malah menyita buku dan menginterogasi.

Mengamati kejadian tersebut, JJ Rizal, sejarawan Indonesia mengungkapkan, razia buku merupakan potret pembodohan masih terus berlanjut di Indonesia. Karena, buku merupakan salah satu medium pencerdasan bangsa. Maka, aparat yang melakukan razia buku itu mengkhianati amanat UUD, yang menyatakan pencerdasan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab negara.

“Negara tidak hadir dalam menjaga amanat Undang-undang dasar. Gerakan literasi dilarang, padahal mereka menggantikan peran pemerintah yang gagal.” terangnya.

Lebih parah, lanjut pemilik penerbit buku Komunitas Bambu ini, negara tidak melakukan apapun. Negara hanya membayangkan investasi dalam bentuk ekonomi. Tapi bukan investasi pengetahuan. “Apalagi pengetahuan tanpa buku,” ucapnya. Selain itu, menanggapi pelarangan paham kiri, yang dianggap berbahaya untuk kehidupan bangsa. Menurutnya, buku kiri sendiri juga tidak jelas dalam kriterianya. “Apa yang dianggap ideologi terlarang itu tidak jelas,” tambahnya.

Penulis: Muhamad Muhtar

Reporter: Muhamad Muhtar

Editor: Ahmad Qori H.

Iklan