“Hapuskan Outsourcing! Naikkan upah kami! Hidup Buruh!”
Semboyan-semboyan yang dilontarkan massa aksi pada hari buruh tiga hari lalu mungkin masih nyaring menggema di telinga kita. Terik matahari tak membuat semangat buruh melemah. Semangat yang menggelora, itulah yang dirasakan beberapa massa aksi lantaran eksploitasi dan akumulasi berlebih yang dilakukan kapitalis terhadap mereka setiap harinya. Gaji tak sepadan, jam kerja yang mengalienasi, buruknya kondisi kerja, union busting tehadap beberapa serikat buruh, sudah tak bisa lagi dikompromi. Padahal, setiap manusia pasti memiliki bakat ataupun potensi. Namun, untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki, rasanya pun sulit. Jangankan mengembangkan potensi, untuk membaca buku pun mereka sudah tak punya waktu.
Pemogokan mungkin saja mereka lakukan, namun ancaman dan tindakan pemilik perusahaan ketika pemogokan terjadi, jauh lebih menakutkan bagi mereka. Pada akhirnya, buruh hanya bisa bekerja, memenuhi kebutuhan pasar yang semakin hari semakin bertambah akibat masifnya konsumerisme di masyarakat, khususnya masyarakat urban.
Hari buruh identik dengan semangat perjuangan kelas, di mana kelas pekerja–yang dijadikan objek ekploitasi ekonomi kapitalis dari masa ke masa–bergerak bersama untuk turun ke jalan, menuntut pemerintah dan pemilik perusahaan agar memenuhi hak-hak pekerja.
Pada peringatan hari buruh kemarin, tampak beberapa massa aksi mengenakan atribut serba hitam dan tertutup, turut membanjiri jalanan. Mereka adalah kelompok Anarkis atau dikenal dengan sebutan Antifa (kependekan dari Anti Fascist). Secara singkat, kelompok Anarkis berangkat dari paham Anarkisme, yaitu paham yang menghendaki dunia tanpa negara dan konstitusi. Sebab menurut kelompok Anarkis, otoritas tertinggi berada pada diri setiap individu, bukan instansi pemerintah atau siapapun itu. Selain itu, meskipun banyak aliran-aliran Anarkisme, cita-cita mereka tetaplah sama, yaitu hancurnya kapitalisme.
Di berbagai negara, seperti Prancis, Yunani dan Amerika Serikat, kelompok Anarkis jauh lebih berkembang dibanding Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari jumlah massa aksi pada May Day (sebutan lain Hari Buruh Internasional) di negara-negara tersebut.
Setiap perayaan May Day, kelompok Anarkis berupaya memberikan pesan kepada masyarakat, pemerintah, aparat, oligarki dan kapitalis dalam bentuk tulisan, poster, stiker yang mereka sampaikan di tembok dan tiang-tiang jalanan. Pesan yang mereka sampaikan tak lain berisi tentang slogan identitas dan sindiran terhadap oligarki, pemerintah, aparat dan kapitalis. Hal ini merupakan bentuk ekspresi sekaligus memberikan pesan kepada masyarakat bahwa negara dan sistem kapitalisme telah menindas kita, umat manusia.
Kelompok Anarkis -lewat tulisan-tulisannya- mencoba membuka mata dan hati kita semua, bahwa dunia ini sedang tidak baik-baik saja akibat ulah negara dan sistem kapitalisme. “Apa yang kita lakukan ini merupakan bentuk ekspresi kekesalan terhadap perampasan lahan akibat pembangunan infrastruktur,” ujar seorang Anarkis yang tidak ingin disebutkan identitasnya pada peringatan May Day kemarin.
Di Indonesia, terutama di Jakarta, kelompok Anarkis melakukan parade May Day-nya dari Stasiun BNI City, hingga Patung Kuda, Jakarta Pusat. Kampanye anti kapitalis dan otoritarianisme-pun mereka tuliskan di beberapa pembatas jalan dan tembok yang mereka lalui, seperti: Semua orang adalah buruh! Buruh bukanlah budak! Rebut Alat Produksi! Hancurkan kapitalisme! Hancurkan Fasisme!
Hal tersebut rupanya tidak diindahkan oleh masyarakat. Gerakan Antifa justru mendapat kecaman serta makian dari masyarakat akibat “vandalisme” yang dianggap telah merusak infrastruktur dan fasilitas publik.
Makian masyarakat terhadap kelompok Anarkis, terlihat dari komentar pada sebuah postingan di akun Instagram @jktinfo, yang memperlihatkan foto Petugas Pemeliharaan Prasana dan Sarana Umum (P3SU) tengah menghapus propaganda kelompok Anarkis di sebuah pembatas jalan pada May Day kemarin. Tanpa menilai substansi dari tulisan-tulisan tersebut, masyarakat langsung melemparkan makian terhadap kelompok Anarkis yang dianggap telah merusak pemandangan Ibukota, seperti: “Ga bakal maju kalo masyarakatnya kayak begini”, “Gimana pada mau kaya lo semua? Ternyata gini ga berpendidikan”, “Sudah miskin, ga punya otak, miris”.
Tidak hanya masyarakat, kepolisian pun menindak aksi vandalisme ini dengan brutal. Seperti di Bandung, beberapa diantara kelompok Anarkis tersebut ditangkap, kemudian diarak di jalanan, digunduli, bahkan ditelanjangi. Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, pun meminta Kabareskrim untuk mencari dalang kelompok Anarkis.
Senasib dengan paham Komunisme, nampaknya Anarkisme mulai dijadikan ideologi terlarang yang harus diperangi oleh negara, tanpa menggali apa yang diperjuangkan kelompok tersebut. Tentu saja langkah penumpasan ini dilakukan demi melanggengkan status quo pemerintah dan membungkam kesadaran rakyat.
Di sisi lain, beberapa media bahkan menuliskan aksi kelompok Anarkis dengan pemakaian diksi yang menyudutkan. Media tersebut bahkan tidak mengetahui dengan jelas siapa kelompok tersebut, apa yang mereka perjuangkan, dan pesan apa yang mereka sampaikan. Bahayanya, jika dengan kepala kosong, kita membenarkan berita tersebut tanpa mengkritisi lebih dalam.
Lagi-lagi, keberpihakan media patut dipertanyakan. Kepada siapakah mereka berpihak? Rakyat kelas bawah, atau elit penguasa?
Hal-hal yang perlu dipertanyakan kepada masyarakat, media, atau aparatur negara yang menganggap aksi vandalisme kelompok Anarkis merupakan tindakan yang “merusak” yaitu: Tahukah kalian, jika oligarki dan kapitalis sebenarnya telah mengeksploitasi alam hingga rusak? Tahukah kalian, bahwa telah terjadi penggusuran lahan pertanian demi pembangunan bandara di Kulon Progo? Tahukah kalian, bahwa di Rembang, Jawa Tengah, terjadi penggusuran lahan seluas 500 sekian hektar untuk dijadikan pabrik semen? Tahukah kalian, 5.000 hektar tanah di Tumpang Pitu telah “disulap” menjadi tambang emas oleh oligarki?
Hal semacam ini tentu menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat yang tergusur. Betapa penting lahan-lahan tersebut bagi kehidupan rakyat, karena sumber pangan mereka berasal dari tanah. Tetapi karena adanya kepentingan pemodal, akhirnya negara tidak mempedulikan nasib rakyat yang tergusur. Lagi-lagi, manusia dan alam pun menjadi korban.
Kalian mungkin menganggap hal tersebut boleh saja dilakukan, sebab itu semua demi pembangunan, kemajuan, dan kepentingan negara. Tetapi, untuk apa ada pembangunan dan kemajuan jika dibalik itu semua, bumi tempat kita hidup semakin hancur berkat ulah negara yang kalian banggakan itu? Kalian mengecam tindakan vandalisme kelompok Anarkis, tetapi memaklumi hilangnya lahan rakyat dan kehancuran alam dengan dalih kepentingan negara.
Aksi coret-coretan atau perusakan infrastruktur oleh kelompok Anarkis bisa saja terbentur oleh moral dan etika masyarakat Indonesia. Tapi, jika aksi perusakan merupakan pelanggaran moral dan etika, dapatkah kita menolak perusakan lingkungan akibat pabrik dan tambang yang dilahirkan oleh oligarki dan negara?
Kita semua tahu bahwa pabrik membutuhkan minyak bumi atau material lain untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik. Tak lain, material-material tersebut mesti didapatkan dari hasil bumi atau pertambangan. Belum lagi, dampak lingkungan yang terkena limbah akibat pabrik. Lihatlah! Betapa menjamurnya pabrik dan tambang di negara ini, bahkan di seluruh dunia. Bumi ini telah hancur dikomodifikasi oleh elit yang berkuasa, dan kita hanyut terbawa arus mereka.
Semakin banyak manusia mengkonsumsi produk kapitalis, semakin banyak pula jumlah produksi yang dihasilkan suatu pabrik. Hasilnya, semakin hancur pula bumi ini. Jadi, siapa perusak yang sebenarnya? Kelompok Anarkis atau oligarki dan negara?
Penulis: Hastomo D. Putro
Editor: Annisa Nurul H.S.