Jalan-jalan kembali dipenuhi oleh ribuan massa yang menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Massa yang tergabung dalam aliansi GEBRAK, kembali melakukan aksi. Berbagai elemen, mulai dari buruh, petani, mahasiswa dan pelajar bersatu padu dalam barisan aliansi. Penyandang disabilitas pun turut meramaikan aksi tersebut.
Pukul 14.15 (20/10), massa aksi tiba di patung Tugu Tani. Disana, massa aksi menggelar panggung rakyat. Selain diramaikan oleh orasi para pimpinan organisasi, pembacaan puisi pun juga dilakukan. Irfan, wakil dari penyandang disabilitas, membacakan puisi di depan panggung rakyat yang digelar di Tugu Tani. Meskipun menggunakan tongkat sebagai penopang kakinya, Irfan tetap semangat membacakan puisinya.
Dalam wawancara dengan LPM Didaktika, ia menceritakan alasannya untuk turut ikut berdemonstrasi. Irfan menjelaskan, UU tersebut menyinggung pihak disabilitas. “Diksi cacat kembali dimunculkan dan itu melukai penyandang disabilitas,” ucapnya.
Irfan menjelaskan, kata “cacat” itu sangat menyakitkan bagi penyandang disabilitas. Padahal, pada 2011, pemerintah sudah secara resmi menggunakan kata penyandang disabilitas. Hal itu, kata Irfan, berdasarkan hasil konvesi hak asasi penyandang disabilitas PBB. Namun, UU Omnibus Law kembali memunculkan kata “cacat”.
Dilansir dari kompas.com, Istilah penyandang “cacat” muncul dalam pasal 55 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 35 ayat (2) UU Lalu Lintas Angkutan Jalan. Dalam pasal tersebut, tertulis “yang dimaksud dengan “fasilitas penunjang” antara lain adalah fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran.”
Secara pribadi, Irfan sudah kebal dengan kata tersebut. Namun, ia menceritakan pengalaman teman-temannya atas kata tersebut. “Teman-teman kami sampai depresi akibat dihina dengan kata tersebut, bahkan ada yang sampai meninggal di Makassar,” tegas Irfan.
Irfan adalah alumnus Universitas Gunadarma. Semasa kuliah, ia mengikuti organisasi mahasiswa pencinta alam (mapala) di kampusnya. Dalam aksi tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, ia pun dibantu oleh teman-temannya semasa di mapala.
Dalam aksi tersebut, Irfan ingin meluapkan isi hatinya terhadap pemerintahan. Ia menyebut, pemerintah saat ini krisis “akal sehat.” Ia mewakili penyandang disabilitas, karena ini sangat merugikan.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, Irfan menyebutkan, penyandang disabilitas selalu dirugikan. Perusahaan-perusahaan selalu menolak jika penyandang disabilitas melamar kerja. Hal tersebut sangat merugikan penyandang disabilitas. Bahkan, sejak 2014, pasca lulus kuliah Irwan selalu ditolak oleh perusahaan.
Kemudian, Irfan menuturkan, bahwa perjuangan ini harus dilanjutkan. Perjuangan ini juga menjadi bagian perjuangan bagi penyandang disabilitas. “Panjang umur perjuangan,” tutup Irfan.
Reporter/Penulis: Ahmad Qori H.
Editor: M. Rizky Suryana