Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bukan hanya berdampak di sektor ketenagakerjaan, hampir semua sektor ikut terkena, dari mulai agraria, pendidikan, hingga pedagang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Senin, 5 Oktober 2020 DPR mengesahkan UU Cipta Kerja (Cilaka). Padahal sebelumnya hampir seluruh elemen masyarakat mulai dari buruh, tani, nelayan, mahasiswa, gerakan pemuda, pedagang UMKM hingga pelajar menolak disahkannya Undang-Undang UU tersebut. Hal tersebut sontak menyulut kembali api gerakan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Gelombang aksi penolakan atas disahkannya UU Cilaka tersebut dimulai dari mogok nasional buruh pada Selasa, 6 Oktober 2020 hingga 8 Oktober.

Aksi besar terjadi pada 8 Oktober. Berbagai elemen masyarakat yang menolak pengesahan Undang-undang tersebut tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak) melakukan mobilisasi dengan titik kumpul di LBH Jakarta. Massa aksi long march menuju Istana Presiden, di Medan Merdeka Selatan.

Sunar selaku koordinator GEBRAK mengatakan targetan aksi ini ialah untuk pembatalan UU Cilaka, artinya menuntut presiden agar segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).

Sebab, dengan adanya UU Cilaka buruh sangat dirugikan. Dalam UU tersebut pemerintah sama sekali tidak menyroti soal korupsi. Padahal Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2017-2018 korupsi  merupakan faktor utama dalam penghambat investasi. Soal ketenagakerjaan menjadi faktor penghambat ke 11 yakni, kurangnya tenaga kerja yang trampil dan ke 13 terbatasnya aturan ketenagakerjaan.

Sumber: Katadata

Dengan dasar tersebut, sudah jelas bahwa UU Cilaka bukan merupakan jawaban atas permasalahan yang ada di Indonesia. UU tersebut malah memperpuruk situasi dan kondisi di Indonesia. Hal tersebut terbukti dari besarnya gerakan penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

Iklan

Penolakan senada juga dilontarkan oleh Dewi yang merupakan Sekjen KPA. Ia mengatakan, ada penyesatan publik yang dilakukan oleh pemerintah, bahwasannya UU Cilaka hanya mengatur mengenai ketenagakerjaan. Menurutnya, dalam UU Cilaka banyak pasal yang merugikan dalam sektor agraria. Baginya, UU Cilaka telah menabrak konsitusi negara ini.

Sebab, menurutya begitu banyak keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah dimenangkan petani, ditimpa oleh UU Cilaka. Ia melanjutkan, UU Cilaka dalam Pasal 125 menyebutkan bahwa akan dibentuk bank tanah sebagai badan khusus pengelola tanah. Menurut Dewi, hal tersebut akan memudahkan investor untuk mendapatkan hak atas tanah. Secara khusus pula melanggar Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945, mengenai kewajiban Negara atas sumber agraria di Tanah-Air agar dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat melalui prinsip dancorak demokrasi ekonomi Indonesia.

“Jadi, undang-undang yang telah berpihak ke petani, dinistakan dengan adanya UU Cipta Kerja. Maka, petani menetapkan tanggal 5 Oktober menjadi hari kejahatan bagi konstitusi yang dilakukan oleh DPR dan Presiden,” tuturnya.

Terlebih lagi menurut Dewi yang paling mengecewakan dari Presiden Jokowi, di saat masyarakatnya menyuarakan aspirasi. Jokowi justru pergi menjalankan salah satu proyek UU Cilaka yakni, food estate yang mana hal tersebut merupakan salah satu azas liberalisasi pertanian.

Di sektor UMKM juga terdampak dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini.  Adi Suwiryo, salah satu pedagang UMKM di Juanda turut menyuarakan penolakannya terhadap Omnibus Law. Suwiryo memaparkan di dalam Omnibus Law, pasal 89, ayat 6 huruf F, mewajibkan UMKM memiliki sertifikasi dan standarisasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut artinya mempersulit UMKM karena prosedurnya sangat menyulitkan, apalagi di masa-masa pandemi. “Belum lagi dalam proses pembuatan sertifikasi memungkinkan terjadinya pemungutan liar untuk pedagang UMKM,” tuturnya.

Wiryo juga menambahkan, ketika pedagang tidak memiliki sertifikasi tersebut, kemungkinan besar banyak pedagang UMKM yang akan kehilangan mata pencariannya. “Ini kami berdagang aja untungnya nggak seberapa, malah ingin dipersulit lagi, dimana perhatian serta kepedulian pemerintah terhadap masyarakat kecil?” pungkasnya.

Gelombang penolakan juga mengema dari kalangan pemuda. Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) juga menolak keras pengesahan UU Cilaka. Romdhani Nur Sidiq selaku Sekjen FPPI menyampaikan bahwa alih-alih bicara percepatan ekonomi di tengah kondisi pandemi dimana seluruh negara hampir dibelahan dunia mengalami kemerosotan, UU Cilaka justru malah semakin mematankan kontradiksi dalam tubuh ekonomi pasar. Yakni, semakin dalamnya jurang ketimpangan ekonomi antar pengusaha dan pekerja.

Romdhani melanjutkan, dengan ini negara, baik pemerintah maupun legislatif ternyata masih mewakili watak neoliberalisme yang kapitalistik. “Meski kita sering disodorkan citra dengan narasi kerakyatan-wong cilik. Itu hanya gimmick belaka,” ungkapnya.

Selanjutnya ia menambahkan hampir semua persoalan mendasar dirampungkan dalam UU ini, ada sektor ketenagakerjaan, agraria, hingga pendidikan. “Maka jika negara dalam hal ini presiden dan legislatif masih mempertahankan UU ini bisa dipastikan eskalasi dan gemuruh massa akan terus ada dan berlipat ganda,” tegas Romdhani.

Reporter: Uly Mega Septiani

Iklan

Editor: Muhammad Rizky Suryana