Klaster pendidikan dalam RUU Cipta Kerja (Cilaka) sempat dihapus oleh Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pada Kamis (24/9/2020). Namun, ketika disahkan pada (5/10/2020) klaster pendidikan ternyata masih ada di dalam UU tersebut.
Dalam naskah final UU Cilaka setebal 905 halaman, yang beredar di masyarakat, klaster pendidikan bertengger di paragraf 12, Pendidikan dan Kebudayaan pasal 65 ayat 1. Pasal tersebut berbunyi:
“Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilaksanakan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini” dan ayat 2 “Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Hal yang sama juga terdapat pada paragraf satu pasal 26 poin k, pendidikan dan kebudayaan masuk ke dalam sektor yang harus berbadan usaha.
Pada bab 1 ketentuan umum pasal 1 nomor 4 yang dimaksud dengan Perizinan Berusaha adalah:
“Legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya”.
Masih pada pasal 1 nomor 7 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pelaku Usaha adalah:
“Orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu”.
Berikutnya masih di pasal 1 nomor 9 yang dimaksud dengan badan usaha adalah:
“Badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah NKRI dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu”.
Merujuk pada penjelasan di atas, pendidikan ditempatkan sebagai sebuah badan usaha. Apabila pendidikan merupakan sebuah badan usaha, artinya sah-sah saja jika pendidikan memiliki orientasi terhadap ekonomi atau mencari untung. Sebab, dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan, di bab 1 ketentuan umum pasal 1 berbunyi,
“Usaha adalah setiap tindakan, perbuatan, atau kegiatan apa pun dalam bidang perekonomian, yang dilakukan oleh setiap pengusaha untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba”.
Edi Subkhan, Dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan UNNES dalam tulisan blog pribadinya menyampaikan, ketika pendidikan berorientasi pada profit (laba), maka sekolah sah untuk mencari untung. Juga tidak salah bila sekolah menarik uang SPP yang mahal. “Karena, sekolah dipahami sebagai perusahaan dan dikelola sebagai korporasi, maka bayar SPP sama seperti bayar untuk beli jasa pendidikan,” tulisnya.
Akibat dari hal tersebut, menurutnya, anak-anak dari keluarga menengah ke bawah tidak akan mampu masuk ke sekolah swasta. Ia melanjutkan, memang masih ada sekolah negeri, tapi daya tampungnya terbatas. Menurut Edi, tidak semua siswa bisa ditampung di sekolah negeri yang disubsidi negara. Selain itu, ia menambahkan, ini belum membahas yang level perguruan tinggi ketika dibolehkan dibuka sebagai perusahaan murni yang bertujuan mencari laba.
Senada dengan hal tersebut, Kenang Kelana, pegiat pedagogik dari Taman Pembelajar Rawamangun menyampaikan kegelisahan yang sama. Menurut Kenang, klausa pendidikan sebagai Badan Usaha sebenarnya merupakan modifikasi dari beberapa pasal yang pernah ada, khususnya mengenai Badan Hukum Pendidikan (BHP) yg pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konsitusi (MK) beberapa tahun lalu.
Ia pun melanjutkan, pengaturan pendirian sekolah yang harus berbadan usaha ini sangat berlogika bisnis (laba-red). Meski pada prakteknya kita melihat juga pendirian sekolah berlindung pada lebel yayasan (yang non profit-red).
Kenang kembali menyorot soal perusahaan bimbingan belajar (bimbel) yang hari ini kian marak. Menurutnya, kehadiran bimbel menjadi masalah dalam pendidikan. Sebab baginya, bimbel merupakan tanda bahwa sekolah belum maksimal memberikan pengajaran.
Kenang menyebut bahwa bimbel, dengan logika perseroan terbatasnya, lebih mendahului keuntungan bisnis dari pada urusan kependidikannya. “Bimbel hari ini juga bentuk nyata bisnis dalam pendidikan, yang kualifikasi pedagogiknya bisa diperdebatkan, karena banyak konten mereka terbatas pada drill dan trill soal-soal ujian, pengulangan materi, hapalan dst,” tuturnya.
Kembali ke masalah UU Cilaka, bagi Kenang, praktik-praktik bisnis pendidikan tersebut bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku, karena negara harus menjamin tersedianya pendidikan gratis dan berkualitas. Namun lanjutnya, UU Cilaka ini justru ingin memberikan payung hukum terhadap fenomena tersebut.
“Kehadiran mereka yang harusnya masih bisa diperdebatkan, akhirnya menjadi legal dengan payung hukum UU Cilaka ini. Hal itu sekaligus, melegalkan bisnis dalam pendidikan,” pungkas Kenang.
Penulis : Uly Mega Septiani
Editor : Ahmad Qori