Rabu (20/05/2020), sekitar pukul 11.00 WIB, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerjasama dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud telah melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dalam OTT tersebut, KPK menenemukan adanya penyerahan sejumlah uang yang diduga dari Rektor UNJ kepada pejabat Kemendikbud.
Menurut Karyoto, Deputi Bidang Penindakan KPK, kronologi kejadian tersebut berawal pada Rabu (13/05/2020), Rektor UNJ diduga telah meminta kepada delapan Dekan Fakultas, Pascasarjana, dan dua lembaga penelitian di UNJ untuk mengumpulkan uang Tunjangan Hari Raya (THR). Karyoto melanjutkan, masing-masing dimintai uang sejumlah Rp5.000.000 melalui Kepala Bagian (Kabag) Kepagawaian UNJ, Dwi Achmad Noor. THR tersebut rencananya akan diserahkan kepada Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Kemendikbud dan beberapa staf SDM di Kemendikbud.
Lalu, pada Selasa (19/05/2020), terkumpul uang sebesar Rp55.000.000. Esoknya, Rabu (20/05/2020), Dwi Achmad Noor membawa uang sebesar Rp37.000.000 ke kantor Kemendikbud yang selanjutnya diserahkan kepada Diah Ismayanti, Kepala Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp5.000.000, Tatik Supartiah, Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud sebesar Rp2.500.000, serta Parjono dan Tuti, staf SDM Kemendikbud, masing-masing sebesar Rp1.000.000.
Di hari yg sama, petugas KPK dan Inspektorat Jendral Kemendikbud mengamankan Dwi Achmad Noor, beserta barang bukti berupa uang sebesar USD1.200 dan Rp27.500.000
Selanjutnya, KPK pun melakukan serangkaian permintaan keterangan kepada, Komarudin (Rektor UNJ), Sofia Hartati (Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan), Tatik Supartiah (Analis Kepegawaian Biro SDM Kemendikbud), Diah Ismiati (Kepala Biro SDM Kemendikbud), Dinar Suliya (Staf SDM Kemendikbud), dan Parjono (Staf SDM Kemendikbud).
Akan tetapi, KPK melimpahkan kasus tersebut ke Kepolisian. Alasannya, Dwi Achmad Noor, bukanlah penyelenggara negara.
Tim Didaktika mencoba menghubungi pihak UNJ yang terlibat dalam kasus tersebut. Saat kami menghubungi Komarudin selaku Rektor UNJ melalui Whatsapp, ia tidak menanggapi. Begitu pula ketika Didaktika menghubungi Sofia Hartati, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan, Umasih selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial, Liliana selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni, Uswatun Hasanah, Dekan Fakultas Teknik, Adi Syahputra, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ari Saptono, Dekan Fakultas Teknik. Sama dengan Komarudin, mereka semua bergeming.
Menanggapi kasus OTT KPK tersebut, Kurnia Ramadhana, Divisi Hukum Indonesia Coruption Watch (ICW), menyayangkan keputusan KPK yang melimpahkan kasus korupsi tersebut ke Kepolisian. Menurut Kurnia, dalam kasus ini terdapat dua dugaan korupsi. Pertama, Rektor meminta uang ke delapan Dekan Fakultas, Pascasarjana, dan dua lembaga penelitian di UNJ. Kurnia merujuk pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi :
Penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau membayar dapat dijerat dengan maksimal hukuman 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp 1 miliar.
Selain itu, Kurnia menjelaskan, konteks pelimpahan kasus KPK sebenarnya diatur dalam Pasal 6 UU KPK. Menurutnya, pelimpahan kasus adalah hal yang biasa. Tetapi terkait ini, ada hal yg janggal, yaitu ketika Rektor–yang mana merupakan penyelengara negara– (lihat Pasal 1 angka (2) UU No. 28 tahun 1999) mestinya ditindak langsung oleh KPK. “Bukan di limpahkan ke Polri. KPK harusnya berwenang menindak kasus ini, sebab KPK yang mengawali OTT tersebut,” paparnya.
Kedua, dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Rektor UNJ. Bagi Kurnia, tentu dugaan ini akan semakin terang benderang ketika KPK dapat membongkar latar belakang pemberian uang kepada pegawai Kemendikbud. “Apakah hanya sekadar pemberian THR atau lebih dari itu?” ujarnya.
Pernyataan Kurnia mengenai dugaan suap ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi:
Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri dengan maksud supaya pegawai negeri tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dihukum maksimal 5 tahun penjara.
Selain itu, pemberian THR yang dilakukan oleh Dwi Ahcmad Noor yang diduga atas inisiasi Komarudin, Rektor UNJ, merupakan bentuk gratifikasi.
Dalam Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan oleh KPK, permintaan dana dan/atau hadiah untuk (dianggap sebagai) Tunjangan Hari Raya (THR) oleh sejumlah Pejabat Publik, Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara kepada masyarakat dan/atau perusahaan, baik secara lisan ataupun tertulis, yang pada prinsipnya adalah dilarang. Karena, merupakan penyalahgunaan wewenang yang menjurus ke arah Tindak Pidana Korupsi (TPK) atau setidaknya dapat menimbulkan benturan kepentingan atau menurunkan kepercayaan masyarakat. https://www.kpk.go.id/gratifikasi/BP/Gratifikasi.pdf
Kurnia juga menuntut KPK untuk mengusut kasus ini lebih jauh. Sebab menurutnya, ada kemungkinan pemberian THR itu bukan yang pertama kalinya. “Bisa jadi hal itu sudah dilakukan bertahun-tahun,” pungkasnya.
Tak jauh berbeda dengan Kurnia, Ide Bagus Arif Setiawan, Juru Bicara Forum Ikatan Alumni (Forluni) UNJ, mengatakan kasus korupsi yang menimpa Rektor UNJ harus diselidiki dan terus ditindaklanjuti. Sebab, kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) bukan baru sekali terjadi di UNJ. “Sudah tiga kali berturut-turut kasus KKN menimpa UNJ,” ujarnya.
Lebih lanjut baca : https://news.detik.com/berita/d-2199826/kasus-korupsi-unj-jaksa-hadirkan-rektor-bejo-suyanto-ke-persidangan dan Majalah Didaktika Edisi 47 https://issuu.com/didaktikaunj2/docs/test_6
Maka dari itu, Ide Bagus mengatakan, Forluni mendorong terbentuknya Satuan Pengawas Internal yang bekerja sama dengan pengawas KPK. Ia melanjutkan, Satuan Pengawas tersebut bersama KPK menyelidiki kasus korupsi yang ada di UNJ. “Setelah itu, jika terbukti ada tindak korupsi berupa suap ataupun gratifikasi, segera pecat rektor,” tegas Ide Bagus.
Menanggapi kasus OTT di UNJ, Ubaidillah Badrun, dari Aliansi Dosen untuk Reformasi Perguruan Tinggi (Aldoref PT), buka suara. Menurutnya, perlu ada reformasi dalam perguruan tinggi. Reformasi yang ia maksudkan ialah perubahan sistemik di perguruan tinggi baik, terkait tata kelola perguruan tinggi yang bersih dan profesional, sampai pada hal yang sifatnya substantif. “Yakni menyangkut kultur ilmiah, proses pembelajaran yang merdeka, riset yang unggul, dan kebebasan akademik yang terjamin,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, Aldoref PT juga menuntut Kemendikbud untuk melakukan reformasi birokrasi pendidikan termasuk dalam administrasi dan pemberian gelar serta kepangkatan. Hal tersebut meliputi pengawasan dan pelarangan praktik jual beli gelar dan perjokian jurnal serta penelitian. Sebab bagi Aldoref PT hal tersebut merupakan pintu masuk praktik koruptif di kampus yang ujungnya hanya menghasilkan kehidupan akademik yang palsu.
Senada dengan Ubaidillah, Irsyad Ridho, salah satu dosen Sastra Indonesia UNJ, mengatakan, sudah seharusnya momen ini digunakan untuk membangun solidaritas dari tiap elemen masyarakat di UNJ. Ia melanjutkan, solidaritas tersebut sebagai kekuatan yang mendorong prinsip birokrasi yang bersih dan ilmiah.
Suara Mahasiswa
Menanggapi kasus OTT KPK, Asael Charis, mahasiswa Program Studi (Prodi) Sastra Inggris, mengutarakan kekecewaannya. Menurutnya, THR yang diberikan pihak UNJ kepada Kemendikbud, harusnya bisa lebih berguna jika dikelola untuk kepentingan mahasiswa. Karena menurutnya, dana untuk kegiatan mahasiswa sangat sedikit. Ia berpendapat demikian karena melihat beberapa temannya dari OPMAWA dan ORMAWA harus mencari uang dengan membuat dana usaha untuk melaksanakan kegiatan kemahasiswaan. Berdasarkan pengalamannya ketika mengikuti lomba, UNJ memberikan dana yang terbatas, bahkan ia harus memakai uang pribadinya. “Rasanya sangat tidak adil,” tutur mahasiswa angkatan 2016 tersebut.
Selain Asael, Andika Prasetia, mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah yang juga merupakan anggota Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA), menyesalkan adanya kasus yang sangat mencoreng nama UNJ. Sebab menurutnya, sebelum Komarudin, Rektor UNJ juga pernah terjerat kasus Nepotisme dan Plagiarisme. “Bukannya berkaca dan belajar dari kasus sebelumnya, Rektor yang baru terpilih malah diduga melakukan hal yang serupa,” tuturnya.
Sebagai mahasiswa, Andika merasa sangat dirugikan dengan adanya kasus tersebut. Selain karena nama kampusnya menjadi buruk, ia merasa di tengah pandemi ini, seharusnya birokrat kampus bisa kompensasi Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan meniadakan Sumbangan pembangunan Universitas (SPU). “Bukan malah memberikan THR kepada kemendikbud,” ujarnya.
Ia berharap, kedepannya, UNJ harus memperketat pengawasan terhadap birokrasi dalam kampus. Menurutnya, harus ada pengawasan internal yang bekerja independen untuk mengawasi perilaku menyimpang di dalam kampus. “Sekaligus menumbuhkan budaya transparansi penggunaan anggaran sehingga bisa diakses publik dan pastinya bisa diakses oleh mahasiswa,” pungkas mahasiswa angkatan 2019 tersebut.
Tak jauh berbeda dengan Andika, Vivi Maulia, mahasiswi Prodi Pendidikan Sosiologi, angkatan 2016 mengatakan, jika UNJ memiliki uang yang berlebih, seharusnya bukan diberikan kepada Kemendikbud, melainkan digunakan sebagai subsidi dan membuat sistem kompensasi UKT bagi mahasiswa yang terdampak Covid-19. “Dari kasus ini, sudah jelas rektorat masih mementingkan kepentingan individu bukan kepentingan bersama,” ujarnya.
Terakhir, Vivi ingin mendorong supaya kasus ini diusut tuntas, dan siapapun yang terlibat harus diproses secara hukum.
Penulis : Uly Mega Septiani
Editor : Hastomo Dwi Putra