Kasus kekerasan seksual di Indonesia marak terjadi dalam kurun waktu belakangan ini. Merujuk kepada Statistik Kriminal Badan Pusat Statistik pada 2018, total kekerasan seksual yang terjadi sejak 2014 hingga 2017 sejumlah 21.310 kasus, dengan rata-rata terjadi 5.327 kasus per tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Forum Pengadaan Layanan (FPL) pada 2015-2016 di 20 provinsi menemukan bahwa hanya 10-15% pelaku kekerasan seksual yang diusut di pengadilan.

Jumlah ini diperkirakan terus meningkat karena banyak korban kekerasan seksual yang tidak melaporkan kejadiannya. Sangat disesalkan karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai instansi yang merumuskan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) malah belum ada peningkatan yang signifikan dalam pembahasannya selama 3 tahun ini. Padahal, darurat kekerasan seksual ini perlu ditangani dengan sangat serius.

Ada beberapa persoalan yang membuat mandeg pembahasan RUU P-KS ini. Fitnah terhadap RUU P-KS terus bermunculan dari kubu-kubu yang menolak. RUU P-KS dinilai liberal, pro-LGBT, merusak budaya ketimuran.

Pembahasan di DPR mengenai RUU ini juga menjadi penyebabnya. Masalah diksi terus dipersoalkan. Fraksi-fraksi penolak RUU P-KS semakin keukeuh dengan argumennya mengenai RUU P-KS yang dianggap menoleransi kebebasan seksual. Padahal, Mariana Amiruddin sebagai perwakilan dari Komnas Perempuan sudah membuat rilis tulisan mengenai Miskonsepsi RUU P-KS yang menjawab tuduhan Aliansi Cinta Keluarga (AILA) mengenai RUU P-KS.

Dalam rilis tulisannya, Mariana menjawab tudingan RUU P-KS yang memberi kehendak bebas dalam hubungan seksual. Menurutnya, definisi “suka sama suka” yang dilontarkan kubu penolak mengabaikan perempuan yang rentan terhadap korban kekerasan. Situasi yang diterima selama perkosaan bukan berdasarkan “suka sama suka”, namun ada paksaan yang diterima oleh korban disitu. Imobilitas tonik (Tonic Immobility) atau respon seseorang yang diam ketika ada sesuatu yang masuk ke dalam tubuhnya dianggap merupakan reaksi “suka sama suka”. Malah, dalam kekerasan seksual ada dominasi yang muncul ketika pelaku melancarkan aksinya.

Tudingan lainnya yang dilancarkan oleh kubu penolak adalah RUU P-KS hanya berupaya melindungi kekerasan seksual terhadap perempuan saja dan menganggap laki-laki hanya sebagai pelaku. Dalam kekerasan seksual, terlepas apapun gendernya, etnisnya, kelas sosialnya, semua rentan terkena hal itu. Laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Melihat kasus kekerasan seksual yang terjadi, perempuan sering kali tidak tersuarakan dalam hak seksualitas, reproduksi biologis, sosial, dan budaya. Korban kekerasan seksual dilemahkan dengan dominasi kesaksian pelaku yang seakan memberi ruang untuk berdamai ketika masuk ke ranah aparatus negara.

Iklan

Banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir dengan jalur damai, seperti yang terjadi pada kasus Agni di Universitas Gajah Mada. Pihak rektorat malah menyuruh korban, Agni berdamai dengan pelaku kekerasan seksual, HS. Hal ini bukan merupakan penyelesaian yang diinginkan dalam kasus kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual pun juga memberi ruang bagi pelaku untuk melaporkan sang korban atas tudingan pencemaran nama baik. Seperti yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta pada 2015. Pelaku kekerasan seksual, Andri Rivelino malah melaporkan balik korban kekerasan seksual ke polisi atas pencemaran nama baik. Bahkan, ruang tempat saya menulis pun juga pernah dilaporkan dengan pasal seperti itu karena memberitakan kasus kekerasan seksual ini.

Korban kekerasan seksual juga mengalami penghakiman secara berulang di ranah aparatus negara. Pertanyaan sering kali menyudutkan korban, seperti “pakai baju apa?”, “kenapa pulangnya malam?”, dan lainnya.

Dalam audiensi di DPR pada Selasa (17/9), Aliansi Cerahkan Negeri menyebutkan bahwa RUU P-KS ini tidak menggunakan asas Undang-undang Dasar dan Pancasila. Selain itu, mereka malah memberi pernyataan yang menyakiti hati korban kekerasan seksual: “RUU P-KS tidak dibutuhkan, yang dibutuhkan adalah penegakan hukum dan penguatan lembaga yang sudah ada.” Bagaimana bisa dikuatkan lembaganya jika orang-orang disana begitu misoginis?

Dukungan terhadap RUU P-KS seharusnya terus mengalir. RUU ini digunakan untuk melawan pandangan konservatif. Pandangan yang menganggap perempuan tidak boleh terdidik dan tidak boleh memiliki kesadaran. Pandangan konservatif ini yang melanggengkan relasi kuasa di masyarakat.

Kembali membahas AILA, organisasi ini getol menolak RUU P-KS karena tidak memasukkan perempuan dan seksualitasnya ke dalam konsep ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga seperti apa yang diinginkan AILA? Ketahanan keluarga dengan posisi perempuan dalam subordinasi? Argumentasi AILA seakan menjawab bahwa mereka khawatir perempuan menjadi individu yang merdeka dan melawan kekerasan seksual yang dialami oleh dirinya.

Sekali lagi, RUU P-KS bukan semata-mata ditudingkan oleh kaum konservatif yang pro-LGBT dan lainnya. RUU P-KS memiliki dasar dari semangat untuk melindungi korban kekerasan seksual. Kaum konservatif harusnya berpikir ulang untuk menolak, atau malah tidak mau karena sudah berada di zona nyaman sebagai orang yang tidak peduli nasib korban kekerasan seksual? Keadilan gender di Indonesia haruslah segera ditegakkan, dan pengesahan RUU P-KS menjadi momentum untuk hal ini.

Penulis: M. Rizky Suryana

Editor: Annisa Nurul H.S.