Melalui petugas keamanannya, pihak kampus Universitas Nasional (UNAS) mengeroyok beberapa massa aksi.

Mahasiswa Universitas Nasional (UNAS), yang tergabung dalam aliansi UNAS Gawat Darurat (UGD), kembali melakukan aksi untuk kedua-belas kalinya pada Selasa (14/7). Namun di tengah jalannya aksi, terjadi tindak kekerasan berupa pengeroyokan terhadap tiga mahasiswa oleh para personil keamanan kampus.

Menurut rilis pers yang dipublikasi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Rabu (15/7), aksi yang dimulai pada pukul 15.30 WIB tersebut dihadiri oleh 13 mahasiswa. Aksi tersebut hanya berlangsung selama 30 menit, karena secara tiba-tiba pihak keamanan kampus melakukan kekerasan terhadap massa aksi. Dari dokumentasi video yang diunggah di akun instagram @unasgawatdarurat, terlihat pihak keamanan kampus yang berjumlah cukup besar melakukan pengeroyokan terhadap peserta aksi.

Dalam pers rilis tersebut, dinyatakan bahwa pengeroyokan dipicu provokasi oleh salah satu pihak keamanan yang merasa tersinggung saat mahasiswa meminta kejelasan mengenai surat tuntutan mereka. Satu orang perwakilan Aliansi saat itu bernegosiasi dengan pihak keamanan untuk meminta bukti bahwa surat tuntutan yang mereka berikan kepada keamanan, memang benar diterima oleh pihak Rektorat. Hal ini dikarenakan aliansi tidak dapat memberikan surat langsung kepada rektorat.

Aksi ini berawal ketika Rektor UNAS melayangkan Surat Keputusan (SK) No. 52 Tahun 2020 tentang pemotongan biaya kuliah semester genap pada Selasa, 3 Maret lalu. Dalam SK tersebut, kampus memberikan potongan sebesar Rp100.000 hingga Rp150.000 kepada mahasiswa yang terdampak pandemi Covid-19 secara ekonomi. Namun, UGD menilai bahwa besaran potongan tersebut belum sesuai dengan beban biaya kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa. UGD menuntut agar kampus memberikan potongan sebesar 50 sampai 65 persen kepada mahasiswa yang terdampak pandemi secara ekonomi. UGD juga menuntut agar pihak kampus melakukan audiensi terbuka dengan mahasiswa.

Selain itu, UGD juga menuntut Rektor UNAS agar menjamin penuh upah dosen dan pekerja kampus (satpam, cleaning service, dan office boy) selama pandemi. Menurut data yang dihimpun oleh UGD, tuntutan ini dikarenakan upah dosen tetap dipotong sebesar Rp1.100.000, dan upah office boy maupun cleaning service dipotong sebesar Rp500.000 selama pandemi. Akhirnya, UGD melakukan aksi secara online sejak Sabtu, 16 Mei lalu, untuk mengkampanyekan tuntutan-tuntutannya.

Iklan

Namun, pihak kampus justru memanggil 27 mahasiswa UNAS yang terlibat dalam aksi tersebut pada 10-12 Juni. Puluhan mahasiswa tersebut dimintai klarifikasi serta dipaksa menandatangani surat pernyataan bersalah dan berjanji untuk tidak mengulangi tindakannya.

Mahasiswa yang tergabung dalam UGD, merespon tindakan kampus tersebut dengan aksi di depan UNAS selama tiga hari berturut-turut, tepatnya pada Rabu (10/6) hingga Jumat (12/6). Dalam akun instagram @unasgawatdarurat, aksi tersebut dilakukan sebagai respon terhadap kampus yang anti kritik dan anti demokrasi. Massa yang marah ditambah dengan adanya intimidasi dari sejumlah petugas keamanan kampus, membuat aksi pada Jumat (12/6) diwarnai kericuhan.

Atas tindakan tersebut, LBH Jakarta mendampingi mahasiswa melakukan pelaporan kepada Polda Metro Jaya pada 15 Juli 2020 dini hari atas dugaan tindak pidana pengeroyokan dalam Pasal 170 KUHP.

Untuk aksi kali ini, aliansi UGD menuntut Rektor UNAS, El Amry Bermawi Putera, dalam beberapa poin, di antaranya: mencabut SK DO, skorsing dan peringatan keras terhadap beberapa mahasiswa UNAS tanpa syarat, menjamin upah penuh dosen dan pekerja di masa pandemi, menjamin hak bersuara dan menyatakan pendapat mahasiswa UNAS, menghentikan intimidasi berupa ancaman, teror, dan tindakan represif terhadap mahasiswa yang menyuarakan pendapat, menghentikan penggunaan keamaanan tak berseragam di dalam kampus, serta memberikan transparansi statuta terhadap seluruh mahasiswa UNAS.

Deodatus Sunda Se, selaku Koordinator Aksi mengatakan, total pemanggilan oleh pihak kampus terhadap mahasiswa yang terlibat dalam aliansi UGD berjumlah 38 orang. Mereka dipaksa menandatangani surat pernyataan bersalah oleh kampus. Bagi mereka yang tidak bersedia, akan mendapatkan sanksi akademik. Menurut Dendy, sapaan akrabnya, dari 38 mahasiswa tersebut, DO dan skorsing masing-masing sejumlah 3 orang, dan sembilan lainnya mendapat Surat Peringatan Keras.

Sejak dilakukannya aksi secara langsung, menurut Dendy, pihak kampus sangat anti kritik dan fasis. Ia menjelaskan, pihak kampus bahkan menerjunkan aparat kepolisian untuk mengintimidasi massa aksi.

“Kami mendapat intimidasi dari alat-alat negara yang dipakai kampus, seperti polisi yang berpakaian ‘preman’ saat aksi 10 sampai 12 Juni lalu. Mereka stay di lingkungan kampus. Ini mencerminkan watak fasis dari kampus UNAS,” tuturnya.

Mahasiswa UNAS semakin diintimidasi oleh pihak kampus. Melalui Pusat Bantuan Hukum Universitas Nasional (PBH UNAS), pihak kampus akan melaporkan pidana kepada beberapa mahasiswa karena dianggap telah melanggar UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pengeroyokan orang atau barang, Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan, dan Pasal 310 sampai dengan 321 KUHP tentang penghinaan.

Hingga pada Kamis (9/7) lalu, Rektor UNAS melalui Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), melayangkan tiga SK DO kepada Deodatus Sunda Se, Krisna Aji, dan Abia Indou. Ketiganya merupakan mahasiswa aktif FISIP UNAS.

Menurut penuturan Wahyu Krisna Aji, salah satu korban DO, pihak keluarganya merasa sedih dan kecewa dengan keputusan kampus yang men-drop out Krisna.

Iklan

“Pastinya keluarga sedih dengar kabar itu (SK DO), dimana kita menuntut keringanan biaya kuliah, justru malah kena DO, apalagi mau UAS juga kan,” tuturnya ketika diwawancarai Senin (13/7) kemarin.

Pihak kampus menuding bahwa ia menolak menandatangani surat pernyataan bahwa dirinya bersalah lantaran melakukan aksi. Hal ini berujung pada dilayangkannya SK DO terhadap dirinya. Ia pun mengecam tindakan rektor yang sangat anti kritik.

“Tudingannya sangat remeh sebenarnya, hanya karena saya menolak tanda tangan. Jelas bahwa itu tindakan fasis dari UNAS.”

Untuk mendesak rektorat UNAS agar segera memenuhi tuntutan mahasiswa, Wahyu mengatakan mahasiswa UNAS akan melakukan litigasi dengan menghubungi LBH Jakarta. Hal ini juga sebagai langkah UGD memenangkan tuntutannya lewat jalur hukum.

Maka dari itu, pihak LBH Jakarta melalui Charlie Albajili yang juga salah satu pengacara mahasiswa UNAS, mengutuk keras tindak kekerasan tersebut. Dirinya mengaku telah mendampingi ketiga korban untuk melaporkan tindak kekerasan pihak UNAS ke Polda Metro Jaya, malamnya.

“Kami melaporkan karena pihak kampus telah melanggar Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan,” sebutnya.

Dengan adanya tindak kekerasan tersebut, Charlie menuding bahwa pihak kampus tidak memedulikan tuntutan-tuntutan mahasiswa. Bukannya melakukan audiensi ataupun menemui mahasiswa, lanjut Charlie, pihak kampus justru meresponnya dengan tindak kekerasan.

Untuk memenangkan tuntutan awal mahasiswa, Charlie mengaku tengah mempersiapkan data yang dibutuhkan melalui jalur hukum. Ia mengatakan, dasar hukum yang digunakannya nanti, yakni hukum berlaku yang relevan, mulai dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), UU Pendidikan Tinggi, hingga peraturan turunan lainnya.

“Pastinya kita mempersiapkan upaya hukum terhadap SK tersebut,” ungkap Charlie.

Ia menjelaskan, dalam masalah yang dihadapi mahasiswa UNAS saat ini, terdapat tiga pelanggaran yang dilakukan pihak kampus. Pertama, pelanggaran hak kebebasan akademik karena pihak kampus tidak menjunjung nilai-nilai kultur akademik. Kedua, pelanggaran hak kebebasan berekspresi karena pihak kampus tidak terima dengan kritik mahasiswa. Ketiga, pelanggaran hak pendidikan karena pihak kampus melayangkan DO dan skorsing secara sepihak.

Selain itu, ia juga tengah mempersiapkan aliansi dari beberapa organisasi yang fokus terhadap pendampingan hukum dan HAM, seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lokataru Foundation, serta beberapa organisasi yang masih menunggu konfirmasi. Hal ini disampaikannya untuk memenangkan tuntutan mahasiswa UNAS.

Ia berharap, dengan adanya perjuangan mahasiswa UNAS ini, dapat mendorong gerakan mahasiswa lainnya yang juga mengalami represifitas dari kampusnya.

“Ini juga sebagai bentuk dukungan LBH yang bukan hanya membela UNAS saja, tapi juga mahasiswa lain yang mendapat tindakan represif dalam menuntut hak-hak akademiknya,” tutup Charlie.

Penulis/Reporter: Hastomo D.P.

Editor: M. Muhtar