Judul Buku: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi
Penulis Buku: Yusi Avianto Pareanom
Penerbit Buku: Banana
Jumlah Halaman: 448
Tema petualangan yang dianggap telah usang dalam prosa-prosa sastra kontemporer justru menyemukan titik pijaknya pada beberapa tahun belakangan. Salah satunya cerita petualangan Raden Mandasia yang mendapatkan tempat khusus sebagai pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa, 2016.
Mengusung cerita khas kerajaan abad pertengahan Nusantara, yang mana pendudukan suatu daerah oleh kelompok-kelompok dengan kekuatan atau kekuasaan tertentu dianggap lazim, cerita Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi justru akan membuat kita terperangah akan kisahnya yang penuh petualangan.
Dengan membaca halaman pertamanya saja, kita akan dibuat gusar akan bagaimana kelanjutan ceritanya. Mengawali cerita dengan tragedi pengejaran dirinya oleh beberapa prajurit yang ternyata dari Negerinya sendiri karena kedapatan sedang mencuri daging sapi, (Raden) Sungu Lembu sebagai narator menceritakan kisah hidupnya yang dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman yang bukan main tidak tergantikan. Setelah Ia bertemu dengan Raden Mandasia, seorang pangeran dengan kebiasaan aneh–mencuri daging sapi ternak milik orang dan meninggalkan ganti rugi yang kadang kelewat sepadan –dari kerajaan Gilingwesi, kerajaan yang saat itu menguasai tanah kelahirannya, tempat Ia mengarahkan segala dendam dan hendak membalaskannya. Dendam Sungu Lembu –yang sampai ke tulang sum-sum– terhadap segala sesuatu yang berbau Gilingwesi itu membawanya kepada berbagai macam pertemuan yang hendak membuat kita terkejut, senang bukan main, bersedih, dan tertawa sendiri karena kekonyolannya.
Kepergian Sungu Lembu dari tanah kelahirannya semula merupakan bentuk pelariannya karena seluruh kerabat dan sanak saudaranya, yang juga tergabung dalam kelompok perlawanan terhadap Gilingwesi ditumpas oleh prajurit Gilingwesi lewat serangkaian muslihat. Ia yang semula berniat membalaskan dendam orang-orang terkasihnya dengan cara memenggal kepala Prabu Watugunung, kepala pemerintahan Gilingwesi kala itu, justru takjub bukan main dengan kejayaan peradaban yang tercermin melalui Kotaraja Gilingwesi, Ibukota kerajaan tersebut. Dalam keputusasaannya, Ia berakhir di rumah dadu Nyai Manggis yang ternyata merupakan bagian penting dari kelompok perlawanan, sekaligus bertemu dengan Raden Mandasia di tempat tersebut.
Meski dendam kesumat dengan segala hal yang berbau Gilingwesi, Sungu Lembu harus menemani perjalanan Raden Mandasia ke kerajaan Gerbang Agung atas dasar permintaan terakhir Nyai Manggis sebelum Ia menghembuskan napas terakhirnya. Bermaksud mencegah peperangan antara Gilingwesi dan Gerbang Agung, petualangan Raden Mandasia justru ditemani oleh orang yang ingin sekali bangsanya binasa. Tak disangka-sangka justru petualangan mereka mengajak kita benar-benar mengolah ‘rasa’. Kita akan bertemu dengan peristiwa yang anehnya bukan main serta mengundang gelak tawa. Seperti ketika dalam perjalanan laut menuju Sifar, Raden Mandasia mencuci pakaiannya dengan cara mengaitkan pakaiannya dengan kail pancing dan menyeretkannya seiring kapal menyusuri lautan. Alih-alih bersih, pakaian Raden Mandasia justru ternoda oleh kotoran Jongkeng, seorang awak kapal yang buang air besar di bagian lain kapal. Atau cerita tentang Sungu Lembu yang tanpa Ia sadari menyetubuhi perempuan yang jeleknya bukan main.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan kepala pengar. Betapa aku kaget setengah mati mendapati perempuan itu berbaring di sampingku. Bayangkan seorang perempuan dengan wajah terjelek yang pernah kau temui. Sudah? Nah, kalikan dua, tiga malah, jika kau mau. Paras perempuan itu tak bertambah manis saat ia tersenyum ramah memamerkan gigi-giginya yang kelabu dan sepertinya runcing semua. Ketika sudah melihatku membuka mata, ia berkata manja, “Raden, ayo sekali lagi, hitung-hitung sarapan. Yang kemarin nanggung.”
Aku langsung bergidik. Sarapan dengkulmu meleset. Aku menggeser dudukku menjauh. —hal. 76
Bukan hanya ‘rasa’ yang spiritual, namun juga yang indrawi. Kita akan diajak membayangkan makanan dan minuman yang lezatnya minta ampun sampai yang aneh sekalipun. Mulai dari bagian-bagian tubuh sapi, kambing, babi, ayam, teh, kohwa atau kopi, tuak, hingga racun. Mulai dari memasak, memakan, mencicipi, hingga menebak bumbu-bumbu pada makanan. Suguhan yang bermacam-macam itu disuguhkan dengan alur cerita yang maju-mundur mengalir dan sama sekali tak menjemukan.
Gaya penulisan Yusi yang unik membuat tokoh-tokohnya seolah hidup. Dekat, bahkan sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, meski dengan cerita yang berlatar masa lampau. Deskripsinya terhadap setting cerita selalu pas, tidak berlebihan sehingga membayangkannya menjadi mudah. Kita akan menemui humor di setiap bagian ceritanya yang kadang hanya dari penamaan tokoh, umpatan narator, atau peristiwa konyol yang biasa kita temui sehari-hari. Ia juga konsisten menggunakan istilah-istilah lama seperti pandit, kasim, sida-sida untuk peran dan profesi atau depa, tombak, kaki, serta langkah untuk satuan ukuran luas, dan banyak lagi kata yang jarang ditemui dalam naskah-naskah sastra kontemporer.
Sayangnya, upaya Raden Mandasia mencegah peperangan yang membawanya melewati berbagai petualangan seperti bertemu perompak, pembawa wahyu, penyanyi pincang yang suaranya merdu, Loki Tua sang juru masak handal, hingga menguliti dan mengenakan kulit seorang sida-sida akhirnya gugur. Pecah perangan antara dua kerajaan tersebut. Terjadi kematian serta kehancuran yang tak terelakkan. Beberapa teka-teki yang sebelumnya simpang siur pun, kini terpecahkan.//MM Ridho*
Kemenangan dalam pertempuran justru ketika kita tak perlu mengangkat senjata. Masih ada lagi: tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai yang lebih ampuh ketimbang nyali, tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati. —hal. 84
Editor: Annisa Nurul H.S.
*mahasiswa Program Studi Sosiologi 2015