Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan terulang. Kelompok Muda Ijabi Bandung Terstigma karena Pemerintah Kota Bandung Tidak Melindungi. 

Dini masih terus mengingat penolakan Asyura, peringatan wafatnya Imam Hussein, cucu Nabi Muhammad pada pertempuran di Karbala (sekarang Iraq) di Kota Bandung pada 2015. Perempuan berumur 22 tahun itu trauma karena pembatalan penggunaan gedung secara sepihak hingga pemberhentian acara. 

Dini bercerita saat itu ia masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Pertama. Empat jam sebelum acara, tiba-tiba pengelola gedung melarang Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Bandung, organisasi yang mewadahi kelompok Syiah Indonesia yang berdiri pada  2000. IJABI telah menyewa gedung jauh-jauh hari sebelum peringatan asyura. “Manajemen gedung membatalkan karena ada penolakan dan ancaman penyerangan oleh sekelompok orang,” kata Dini ditemui tim Didaktika saat diskusi Lintas Iman di Aula K.H. Jalaludin Rakhmat Kiaracondong, Kota Bandung pada Jumat, 22 Maret 2024. 

Pengelola gedung menyatakan acara dibatalkan  demi keamanan. Dini sedih dan miris ketika lokasi acara dipindahkan ke Stadion Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung yang terletak di Jalan A.Yani Kota Bandung. Sekelompok orang memenuhi stadion dan membubarkan acara. 

Saat itu Dini dan sejumlah anggota kelompok IJABI diarahkan untuk ke luar stadion. Saat dia keluar sudah sudah banyak warga yang protes dan menolak. Situasi mencekam. Di tengah penerangan yang minim, orang-orang berdesakan  keluar stadion. Dini harus berlarian menuju mobil. Di dalam mobil, Dini harus bersembunyi untuk menghindari para penolak acara. Ia terjebak di parkiran karena mereka menghalanginya keluar dari gerbang.

Mereka meneriakan takbir dan membawa spanduk yang menolak peringatan Asyura. “Trauma dengan kejadian itu karena baru pertama kali, apalagi skala penolakannya meluas,” ujar dia. 

Iklan

Dini mengisahkan peristiwa itu setelah mengikuti diskusi lintas iman bertema Puasa dalam Pandangan Agama-Agama. Diskusi ini merupakan ajang silaturahmi peserta dari berbagai kalangan yakni Islam, Ahmadiyah, Katolik, Protestan, Hindu, dan penghayat kepercayaan. 

Diskusi dimulai dengan mengobrol santai pada pukul 15.30 dan berakhir ketika azan magrib berkumandang. Narasumber dan peserta beragama Islam berbuka puasa bersama. 

Menurut Dini, acara ini penting untuk memberi ruang aman bagi kelompok rentan di Bandung yang kerap mengalami intimidasi dan represi, termasuk kalangan Syiah. Mereka merasa Pemerintah Kota Bandung tidak memberikan jaminan rasa aman. Dia mencontohkan Mantan Walikota Bandung, Yana Mulyana yang meresmikan Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) belum lama ini menambah kekhawatiran kalangan Syiah karena kehilangan harapan untuk beribadah secara aman tanpa penolakan.

Menurut Dini, dampak dari berbagai penolakan itu membuat Yayasan Muthahhari, institusi pendidikan Syiah sulit bergerak. Yayasan Muthahari merupakan yayasan yang menaungi SMA Plus Muthahari dan berdiri sejak 1991. Pendirinya, Jalaludin Rakhmat yang berasal dari  Ijabi. Selain Syiah, sekolah ini juga menerima peserta didik dari Sunni dan Ahmadiyah. 

Dini bercerita petugas polisi kerap datang ke sekolah ketika peringatan Asyura. Mereka datang ketika siswa berkegiatan di sekolah. Situasi itu membuat mereka tidak nyaman. ”Kalau dilihat peserta didik yang masih di lingkungan sekolah kan sangat tidak etis. Akan ada pertanyaan kenapa sekolah didatangi aparat, apalagi yang kami lakukan hanyalah kegiatan pembelajaran biasa. Saya merasa itu bagian dari represifitas,” kata Dini.

Perempuan yang baru saja lulus dari salah satu Universitas Negeri di Bandung tersebut berujar tekanan terhadap Syiah membuat dia tak bebas mengungkapkan identitasnya. Syiah terus menerus mendapatkan stigma dan penolakan. 

Selain itu, Pemerintah Kota Bandung terlihat tidak serius mengatasi persoalan itu. Ketakutan dan trauma membuat Dini belum siap dengan tanggapan orang-orang di sekitarnya jika mengetahui dia seorang Syiah.

Duduk santai di Aula K.H Jalaludin Rakhmat, Dini bersama sejumlah anggota Ijabi menceritakan stigma terhadap Syiah menyebabkan sulitnya regenerasi Kelompok Ijabi. Regenerasi itu penting demi keberlangsungan kelompok. 

Dini yang saat ini masih aktif berkegiatan di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Bandung menyebutkan stigma dan penolakan muncul karena ketidaktahuan orang terhadap Syiah sebagai bagian dari Islam. Salah satu cara Dini untuk mengatasi penolakan dan mencari ruang aman adalah bergabung dengan Jakatarub. 

Ia mengedukasi masyarakat untuk melawan stigma tentang Ijabi. Dini kerap menghadiri kegiatan diskusi lintas agama dan keyakinan. Dia juga membantu kunjungan tamu untuk bertemu dengan anggota Ijabi, misalnya sekadar berbincang-bincang. 

Iklan

Aktivitas itu dia lakukan karena pemerintah tidak pernah serius menjadi penghubung antara kalangan Syiah dengan masyarakat. “Saya mencari dan menciptakan ruang aman melalui ruang-ruang diskusi tersebut. Harapannya ketika masyarakat sudah teredukasi dan tidak asal percaya pada stigma yang berkembang, maka penolakan bisa dicegah. Kami bisa hidup damai, berdampingan dengan masyarakat,” tutur Dini.

Baca juga: Jejak Langkah Islam Syiah di Indonesia

Bandung merupakan salah kantong Syiah terbesar di Indonesia. Dini khawatir jumlah orang Syiah makin berkurang karena berbagai tekanan dan penolakan. Jumlah anggota Ijabi Muda sebanyak 28 orang. Sebanyak 11 orang datang saat peristiwa penolakan peringatan Asyura. Selain Dini, tiga orang lainnya juga masih trauma akibat peristiwa tersebut. 

Rizki juga punya pengalaman serupa. Pemuda berusia 18 tahun itu  menceritakan pengalamannya yang tidak menyenangkan. Rizki juga menyembunyikan identitasnya dari teman-temannya. 

Sebagian orang belum siap menerima perbedaan. Di kampusnya, tak ada orang yang tahu bahwa Rizki seorang penganut Syiah. Suatu hari, ia kecewa tatkala mendengar dosen favoritnya melontarkan pernyataan bahwa Syiah aliran sesat di kelas. Meski kecewa, namun Rizki tak menyimpan dendam. Ia tetap tersenyum dan memilih untuk diam. Rizki berpandangan pernyataan itu karena ketidaktahuan dosennya. 

Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Seni, Budaya, Agama dan Kemasyarakatan Kesatuan Bangsa dan Politik Pemerintah Kota Bandung, Apep Insan Farid mengatakan  penolakan yang menimpa kelompok Syiah merupakan imbas kurangnya komunikasi antar-kelompok rentan dan masyarakat. Menurutnya, penolakan hanya terjadi pada momentum tertentu saja, selebihnya masih bisa pemerintah kendalikan. 

“Penolakan masyarakat memang tidak bisa dikendalikan, namun kami berupaya agar tindakan tersebut tidak berakhir menjadi gerakan anarkis,” ujar Apep ketika ditemui di Kantor Kesbangpol Kota Bandung pada 6 Mei 2024. 

Ihwal tudingan Pemerintah Kota Bandung yang intoleran karena kedatangan Yana Mulyana saat peresmian gedung Annas, Apep membantahnya. Menurut dia, kehadiran Yana Mulyana hanya mengikuti arahan dari pemerintah pusat. 

“Sejauh ini yang bisa kami lakukan adalah membuka ruang diskusi untuk kelompok rentan guna meminimalisasi salah paham dengan masyarakat, serta bersinergi dengan seluruh elemen contohnya aparat kepolisian untuk dapat melindungi kelompok rentan dari tindakan-tindakan anarkis,” kata dia. 

Dosen Fakultas Hukum sekaligus Kepala Lembaga Bantuan Hukum Pengayoman Universitas Parahyangan, Valerianus Beatae Jehanu mengungkapkan pandangannya terhadap situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut Valeri, penolakan yang dialami kalangan Syiah akibat interpretasi teologis yang dimenangkan kelompok mayoritas.

”Padahal masyarakat kita itu sangat toleran dengan keberagaman dalam beragama. Namun, nilai-nilai baru muncul dan dilegalkan oleh pemerintah, makanya mulai ada istilah sesat atau agama tidak diakui hanya karena mereka berbeda dengan kelompok dominan,” jelas Valeri, kepada tim Didaktika melalui zoom pada 7 April 2024. 

Valeri menyoroti negara yang belum berpihak terhadap kelompok rentan. Ia mencontohkan pernyataan Ridwan Kamil tentang Syiah ketika dia menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Ridwan Kamil pernah menyatakan soal akidah, termasuk keberadaan Syiah sebaiknya diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia. Pernyataan itu menunjukkan negara lepas tangan karena menyerahkan pada MUI.

Valeri menjelaskan negara tidak boleh mengurangi hak warga negara untuk menganut keyakinan dan beribadah di luar keyakinan mayoritas. Seharusnya negara melindungi setiap orang. Dia mencontohkan pengusiran kelompok Syiah di Sampang menunjukkan pemerintah tidak mampu melindungi warganya.

”Seharusnya negara pasang badan melindungi kelompok Syiah di Sampang, bukan malah memindahkan mereka. Negara punya alat keamanan, harusnya bisa menyelesaikan perselisihan tanpa kekerasan. Tapi solusi yang dipilih malah memindahkan kelompok Syiah ke tempat lain,” kata dia. 

Penulis/reporter: Zahra Pramuningtyas

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.