oleh Riyan Setiawan*

 

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) merupakan sebuah media yang sudah sepantasnya dilindungi. Dikarenakan organisasi tersebut jembatan aspirasi antara mahasiswa dengan birokrat kampus.

Namun, sayangnya para birokrat yang anti kritik, justru memandang pers mahasiswa sebuah ancaman. Bahkan, mereka tak segan-segan mengeluarkan senjata berupa kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak Pers Mahasiswa (Persma).

Seperti harus melakukan verifikasi pemberitaan terlebih dahulu, yang seharusnya itu merupakan dapur Persma sendiri. Sampai memangkas dana operasional kegiatan Presma.

Tak hanya itu, bahkan tindakan represif pun sering dialami oleh Persma selama menerbitkan produk pemberitaannya baik secara lisan, maupun fisik. Alasannya pun sama, yakni dianggap sebuah ancaman dan mengkritik pemerintahan kampus.

Iklan

 

Persma Terkena Tindakan Represif

Tindakan represif tersebut pernah dialami oleh beberapa Persma di Indonesia, Seperti LPM Kontak, Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta. Tiga anggota Persma tersebut mendapat kekerasan fisik dari anggota Kelembagaan Mahasiswa, dikarenakan produk jurnalistiknya yang berupa karikatur.

Dalam karikatur yang dibuat oleh LPM Kontak terdapat beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kelembagaan Mahasiswa tengah berebutan kue yang dianalogikan sebagai uang. Sehingga, pihak Lembaga tak terima dan langsung melemparkan tinju pada ketiga anggota Kontak.

Tak hanya Kontak, LPM Lentera dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga juga pernah mengalami tindakan represif dari birokrat kampus. Hal tersebut dikarenakan Majalah yang mereka terbitkan berjudul “Lentera Kota Merah dan terdapat gambar palu arit (logo Partai Komunis Indonesia) di cover depan.

Sehingga para anggota LPM Lentera harus menelan pil pahit, dimana mereka dilaporkan ke pihak kepolisian dan terancam dibredel oleh birokrat kampus.

Padahal seharusnya birokrat kampus dan pihak kepolisian tak memiliki hak untuk menilai produk jurnalistik yang diterbitkan oleh LPM Lentera. Seharusnya, lembaga resmi yang memiliki wewenang adalah Dewan Pers.

Baru-baru ini, LPM Didaktika UNJ pun mengalami hal serupa, bahkan lebih parah lagi. Didaktika tidak bisa menerbitkan Majalahnya edisi 47 lantaran tak mendapatkan dana dari birokrat kampus.

Birokrat kampus mengaku memangkas dana operasional Didaktika dengan dalih untuk biaya pembangunan gedung baru. Bahkan tak hanya Didaktika, beberapa Unit kegiatan Mahasiswa (UKM) pun pendanaan kegiatannya ikut dipangkas.

Tak hanya itu, tulisan Didaktika sering mendapat intervensi dari Birokrat kampus, lantaran isi dan judul berita yang terkesan provokatif. Sehingga anggotanya sering mendapatkan ancaman secara lisan mengenai pemberitaan.

Iklan

Apalagi saat ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek) hendak mengeluarkan peraturan menteri tentang organisasi kemahasiswaan. Draft aturan baru itu dinilai mengancam kebebasan berorganisasi dan gerakan kritis mahasiswa, sehingga akan memungkinkan intervensi dari penyelenggara kampus semakin besar.

Sungguh, tindakan tersebut sudah menciderai demokrasi. Karena Pers Mahasiswa yang merupakan corong bagi demokrasi kampus, ruang geraknya mulai dibatasi dengan kebijakan dan juga tindakan represif dari birokrat kampus.

 

*Penulis merupakan alumni Politeknik APP Jakarta dan Ketua Forum Pers Mahasiswa Jakarta 2016-2017