Jumat (10/4/2020) lalu, Peraturan Gubernur No. 33 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Jakarta, telah efektif berlaku. Peraturan ini beriringan dengan Peraturan Kementrian Kesehatan (Permenkes) No. 9 Tahun 2020 yang mengatur kewajiban pemerintah daerah agar mendorong dan mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat. Namun, pemerintah nampak masih lalai dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya buruh.
Ahmad, buruh desain grafis, menganggap PSBB Jakarta sudah cukup baik. Apalagi, tujuannya untuk menghentikan penyebaran Covid-19, ucapnya. Namun menuurutnya, pemberlakukan PSBB membuat jam kerja jadi tidak beraturan, serta terganggunya efektifitas kerja karena keterhambatan komunikasi. Menurunnya jumlah permohonan terhadap perusahaan, juga menjadi masalah bagi Ahmad. Hal ini membuat perusahaan memotong gaji para pekerjanya.
Maka bagi Ahmad, diberlakukanya PSBB harus seiring dengan pemenuhan kebutuhan masyarat. Meskipun dia sendiri cukup beruntung menurutnya. Pasalnya, ia merasa kebutuhan sehari-harinya aman. ‘’Ada beberapa kawannya yang biasanya makan warteg, sekarang harus lewat ojek online,’’ ujarnya.
Menurut penelitian Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) yang dirilis pada Rabu (15/04/2020), buruh lepas sektor media dan industri kreatif tidak memiliki jaring keamanan ekonomi. Dari 139 responden survei yang merupakan buruh lepas di berbagai kota, mengaku tidak memiliki pendapatan untuk bertahan hidup. Mayoritas tidak mendapatkan kompensansi pembatalan proyek. Jumlah pemasukan pekerja yang hilang akibat pembatalan tersebut diperkirakan berkisar antara 5 juta rupiah hingga lebih dari 60 juta rupiah sampai pertengahan tahun.
Berbeda dengan Ahmad, Sri Rahmawati, buruh perusahaan garmen di Jakarta Utara, merasa penat berada di kontrakannya. Tiap kali keluar kontrakan, ia langsung ditanyai petugas setempat perihal keperluannya. Namun Sri yakin, menghadapi kelaparan lebih sulit ketimbang menghadapi kepenatannya saat ini. Pasalnya, sejak Senin (13/4/2020) lalu, ia diliburkan tanpa upah. ‘’Sedih saat buruh penghasilan bulanan saja tidak cukup, apalagi tanpa upah,’’ ujarnya saat ditanyai mengenai keadaannya.
Meskipun terdampak karena tidak memiliki penghasilan, Sri tetap mendukung kebijakan PSBB. Alasannya, PSBB dinilai dapat mengurangi penyebaran Covid-19. Namun, ia menyesali sikap pemerintah yang tidak mengambil tindakan untuk melindungi buruh. ‘’Libur tanpa upah itu sangat menyulitkan buruh upah minimum,’’ tutur Sri. Oleh karena itu, Sri menginginkan sikap tegas pemerintah agar perusahaan membayar upah pekerjanya selama diliburkan.
Marsinah FM dan Kelompok Belajar Perburuhan (Kobar) merilis hasil penelitian soal keadaan buruh sejak 23 Maret sampai 10 April 2020. Rilis tersebut merupakan hasil survei terhadap 146 buruh Jabodetabek, Jawa tengah, dan Karawang yang berasal dari 83 perusahaan lintas sektor.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa masih banyak buruh yang masih diharuskan bekerja. 25% diantaranya harus bekerja tanpa fasilitas perusahaan. Buruh non-working from home selayaknya menerima fasilitas pencegahan Covid-19 dari perusahaan. Penelitian tersebut juga merekomendasikan perusahaan memiliki pilihan untuk meliburkan buruh dengan tetap membayarkan upah, karena efektif cegah penyebaran virus apalagi terdapat kondisi tanpa gejala (asimtomatis).
Bentuk Solidaritas Petani Selama Pandemi
Ahmad yang tergabung dalam Sindikasi merasa pentingnya bersolidaritas selama pandemi Covid-19. ‘’Saling menanyai kabar,’’ katanya, saat ditanyai bentuk solidaritas tersebut. Sementara bagi Sri, solidaritas yang diterimanya berupa kebutuhan sehari-hari dari serikatnya, Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBPB). Sri mengaku tidak mendapat bantuan dari pemerintah melalui RT-RW. Dia berasumsi bahwa dirinya adalah buruh migran, sehingga tidak mendapat bantuan tersebut. Maka, ia merasa perlu untuk bersolidaritas sesama anggota. Bentuk solidaritas tersebut yakni dengan membagikan berbagai bahan pokok untuk kebutuhan sehari-hari. ‘’Beras 3 kilogram, minyak, gula, mie instan, sarden, madu, masker, hand sanitizer, dan vitamin’’ tambah Sri.
Beras beserta hasil bumi lainya dapat dinikmati oleh buruh Jakarta merupakan hasil koordinasi serikat buruh dengan jaringan petani luar Jakarta. Dewi Kartika, Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), menyebutnya sebagai Ekonomi Solidaritas yang diawali dengan donasi serikat petani ke kolompok rentan. Sejauh ini, 1 ton beras Pandanwangi telah terdistribusi di Jakarta.
Dewi mengatakan bahwa mobilisasi pangan ini sudah berlangsung sejak dua minggu. Serikat petani Pasundan, Tasikmalaya, Badega, Ciamis, dan pengandaran merupakan penyumbang utama mobilisasi pangan.
Mobilisasi pangan juga berkaitan dengan upaya distribusi dari serikat tani yang menghadapi fluktuasi harga. Sehingga, petani dapat berhubungan langsung dengan konsumen primer yakni buruh tanpa tengkulak. ‘’Petani murni menyisikan hasil panennya setelah mengamankan lumbung kabupaten. Surplus tersebut jadi donasi ke Jakarta,’’ ucapnya.
Menurut Dewi, Ekonomi Solidaritas tidak hanya berhenti pada donasi pangan petani, tapi juga membuka potensi pasar untuk konsumen prioritas. Jika mau mengikuti metode ini, petani akan mendapat insentif jika menjual hasil tani ke buruh.
Akan tetapi, skema solidaritas petani juga menghadapi masalah teknis berupa transportasi komoditas. Selain itu menurut Dewi, produksi yang tidak terlalu besar namun tingginya permintaan komoditas pangan, juga menjadi masalah dalam solidaritas petani.
Penulis/Reporter: Faisal Bahri
Editor: Hastomo