Judul Buku : Menghibur Diri Sampai Mati (Mewaspadai Media Televisi)
Penulis : Neils Postman
Tahun Terbit : 1995
Tebal Buku : 187
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan
Pergeseran Media Amerika yang dahsyat, mengakibatkan mundurnya isi diskursus publik menjadi omong kosong. Sebelumnya, isi diskursus publik media cetak bersifat serius, koheren dan rasional. Semenjak muncul media televisi subtansi diskursus publik menjadi absurd. Hal itu lah yang lebih dan kurang diungkap oleh Neils Postman dalam bukunya Menghibur Diri Sampai Mati. Postman menganggap bila sifat televisi yang menghibur perlu diwaspadai.
Pembahasan buku ini mengarah sejarah Amerika dalam perkembanganya memasuki zaman eletronik sejak abad 18. Munculnya televisi mewariskan gagasan-gagasan telegraf dan fotografi. Keindahan visual yang ditampilkannya, banyaknya topik yang dapat dipahami dengan mudah, serta menampilkan kepuasan emosional memperkuat bukti sifat menghibur yang dimiliki televisi. Meski begitu yang dikritik disini bukan semata-mata karena sifat televisi yang menghibur, tetapi semua topik yang ada di televisi ditampilkan dengan menghibur. Presiden, para ahli bedah, pengacara dan penyiar dan lain-lain, lebih menampilkan pertunjukan yang baik daripada tuntutan profesi sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
Persepsi berita yang menghibur pun dapat dilihat dari waktu penyampaian berita yang minim dan isi berita yang ringkas. Hal ini bertujuan untuk menghindari penonton berpikir dan kehilangan fokus topik selanjutnya. Belum lagi liputan kamera yang ditonjolkan terkesan menarik. Musik juga menarik kekuatan emosional penonton. Penyiar yang enak dipandang juga melengkapi sifat menghibur berita.
Sifat ringkas ini membuat penonton menjadi disinformasi. Disinformasi yang dimaksud disini bukan informasi yang tidak benar. Melainkan menyesatkan informasi yang membuat seseorang menjadi tidak mengetahui informasi secara jelas. Oleh karena itu, bahasan yang pas disini adalah bagaimana media televisi – dengan sifat menghiburnya – membentuk pola pikir kita dalam mendefinisikan kebenaran.
Untuk memudahkan pembahasan mengenai kebenaran ini. Postman meminjam konsep “Resonansi” dari Northrop Frye, “melalui resonansi, suatu pernyataan dalam konteks tertentu bisa mendapat makna lain yang bersifat universal.” (h.29) Artinya, cara pandang media komunikasi dirasa dapat mempengaruhi jalan pikiran seseorang dan menyelaskan apa yang terjadi pada kehidupan mereka. Dalam hal ini cara pandang mengenai kebenaran, di mana media komunikasi mempengaruhi pola pikir dalam mengatur konsep-konsep mengenai kebenaran.
Contoh dalam lingkup akademis kampus, seorang yang menuliskan hasil tesisnya di selembar kertas (media tulis) akan lebih dihargai ketimbang penggunaan kata-kata lisan (media lisan). Hal ini dikarenakan bentuk media tulis dianggap lebih ilmiah dari pada media lisan. Padahal, penyampaian kata-kata lisan beranjak dari media tulisan bahkan sebaliknya, berarti adanya integrasi antara keduanya. Belum lagi kemunduran epistemologi tulisan beralih ke epistemologi televisi membuat orang semakin dungu. Anggapan seseorang yang melihat dulu gambar atau bentuknya baru percaya, selalu menduduki status tertinggi dalam unsur kepercayaan. Padahal bisa saja gambar itu dimanipulasi.
Dampak selain itu, dari televisi adalah masyarakat menjadi tidak peduli terhadap sesuatu yang tidak menarik. Karena televisi memberitakan topik yang dikemas selalu menarik dan menghibur. Ketidakpedulian ini terletak pada konteksnya dalam menghasilkan kontradiksi terhadap televisi. Televisi mempola pikiran masyarakat dalam mendefinisikan kebenaran. Alhasil, masyarakat tidak merasa sedang mengalami suatu permasalahan karena pola pikir sudah diselaraskan dengan televisi.
Inilah yang dikatakan peringatan model Huxley dimana Huxley mengajarkan kepada kita bahwa di zaman kemajuan teknologi, kehancuran spiritual lebih mungkin didatangkan oleh berwajah ramah daripada mereka yang penampilannya membangkitkan rasa curiga dan benci. Ketika suatu masyarakat sudah membiasakan diri dengan hal yang sepele, ketika arus kultural didefinisikan kembali sebagai arus hiburan tanpa henti, bila komunikasi publik telah menjadi sebentuk ocehan bayi, maka sebuah negara akan tiba di tepi jurang kematian kebudayaan. Dalam ramalan model Huxley, bukan BigBrother yang mengawasi kita, melainkan kitalah yang menyimaknya, atas kemauan sendiri. (h.164-165)
Indonesia pun sama. Arus globalisasi modern yang tak terelakan. Membuka pintu masuk bagi kapitalisme masuk ke Indonesia. Penyiaran topik-topik yang ada di televisi nasional dikuasai oleh pemodal swasta. Alhasil, banyak statiun televisi yang lebih mementingkan banyaknya rating dari masyarakat daripada kualitas tayangan. Belum lagi pemilik modal televisi juga terjun ke dunia politik. Berarti semakin besar peluang pemodal televisi untuk mempengaruhi pola pikir publik mengenai dirinya. Para penyensor pun tidak bisa berkutik oleh pemodal swasta ini.
Hendrik Yaputra