Judul Buku: Jean Baudrillard dan Realitas Budaya Pascamodern

Pengarang: Medhy Aginta Hidayat

Penerbit: Cantrik Pustaka

Tahun Terbit: Februari 2021

“Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang di dalamnya tidak hanya objek-objek dan barang-barang yang ingin dibeli seseorang, tetapi juga tempat aktivitas konsumsi itu sendiri dikonsumsi dalam bentuk mitos,” (hlm 81).

Citayam Fashion Week (CFW) yang dimulai sekitar bulan Juli 2022 lalu berhasil mengegerkan jagat media sosial. Fenomena ini identik dengan berlangsungnya catwalk ala fashion show luar negeri di dekat MRT Bendungan Hilir. Rata-rata anak muda yang tergabung dalam CFW menggunakan pakaian dari berbagai brand kondang, baik lokal maupun luar. Tak jarang, brand yang dikenakan mampu merogoh kocek cukup banyak.

Iklan

Alibi dari penggunaan pakaian dengan nominal tinggi dikarenakan nilai prestis yang terkandung. Padahal jika merujuk pada nilai guna, pakaian memiliki fungsi untuk menutupi kemaluan dan mencegah cuaca panas atau dingin.

Seorang filsuf Prancis, Jean Baudrillard, menangkap fenomema tersebut ke dalam teorinya yaitu pertukaran nilai guna dengan nilai simbol. Ia mengawinkan teori produksi Marx—nilai guna dan nilai tukar, dengan semiologi Barthes—yaitu tanda, penanda, petanda, dan mitos. Menurutnya masyarakat yang mengonsumsi sebuah komoditas bukan lagi berdasarkan nilai gunanya.

Sebuah nilai tukar seperti nominal harga barang tidak lagi dipandang sebagai hal yang subsisten berdasarkan kelas. Siapapun dapat mengonsumsi sebuah komoditas asal terdapat nilai simbol di dalamnya.

Corak konsumsi bergeser dari yang sifatnya pragmatis—berdasarkan kepentingan dan kegunaan— berubah ke penuntasan hasrat. Hasilnya, masyarakat tergerus menjadi konsumtif karena kebutuhan dipenuhi berlandaskan asas nafsu.

Baca juga: Baudrillard dan Perlawanan terhadap Konsumerisme

Dampak Perubahan Struktur Sosial

Musabab lahirnya aktifitas konsumtif seperti fenomena diatas merupakan dampak dari budaya massa. Jika melacak dari sejarah, budaya massa mulanya bermuara pada zaman kekaisaran Romawi. Juvenal, seorang penyair Romawi kuno yang pertama kali menggambarkan budaya massa lewat istilah “Roti dan Sirkus”. Di kala itu, seluruh masyarakat Romawi kehilangan semangat patriotismenya. Mereka cenderung menghabiskan waktu dengan kegiatan senang-senang, seperti pesta rakyat, permainan rakyat, dan menonton pertandingan gladiator.

Pada masa kapitalisme awal di abad 17, budaya borjuis-feodal muncul. Struktur sosial terbagi menjadi dua. Borjuis sebagai pemegang budaya tinggi yang bersifat tertutup, terbatas, bernilai sakral, eksklusif, dan mewah. Sedangkan kelas proletar memiliki budaya rendah yang terbuka, massal, dan mengakar ke bawah. Dalam corak yang berbeda, produsen melakukan produksi massal, pembiayaan rendah terhadap pekerja, metode produksi, dan cepatnya produksi barang. Seiring bergulirnya waktu, arah masyarakat kapitalisme borjuis-feodal berubah menjadi masyarakat budaya massa. Produk budaya diproduksi secara massal untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya.

Perubahan struktur sosial ini berakibat pada ikatan sosial masyarakat pedesaan, turunnya status agama, merebaknya sekularisasi, serta diabaikannya nilai moral. Ujungnya, proses atomisasi pun lahir. Proses atomisasi adalah hubungan manusia dengan sifat sementara. Didasari oleh keputusan tertentu, seperti syarat untuk memiliki hubungan.

Sebuah hubungan tidak lagi dilandaskan oleh nilai dan norma masyarakat. Peran lembaga sosial yang memberikan ikatan psikologis, kepastian moral, dan sosial tidak lagi berfungsi. Seperti di dalam desa, institusi agama, dan keluarga. Hasilnya peran lembaga sosial diambil-alih oleh budaya massa sebagai pegangan moral dan sosial baru.

Iklan

Dalam penyebarannya budaya massa menggandeng instrumen seperti iklan, film, radio, musik, dan budaya populer. Tak jarang, proporsi yang ditampilkan lewat instrumen tersebut cenderung memiliki gaya-gaya ideal atau baik secara moral kehidupan.

Padahal apa yang ditampilkan dalam sebuah instrumen tersebut tidak melulu sesuai dengan realita. Semisal iklan brand pakaian mengemas sebuah produknya dengan tampilan dan bahasa ajakan yang menarik. Konsumen akhirnya terjebak dalam pilihan membeli atau tidak membeli.

Pilihan membeli atau tidak membeli menjadi standarisasi atau syarat agar sebuah individu mampu untuk menjadi bagian budaya massa. Contoh melalui potret kecil dalam fenomena CFW, masyarakat di sana terkonsentrasi membeli sebuah komoditas simbol. Agar nantinya dapat masuk ke dalam lingkaran prestis dan menjalankan relasi sosial.

“Budaya massa sebenarnya tumbuh dari atas. Ia diproduksi oleh tenaga tenaga teknis yang dipekerjakan oleh produsen. Khalayaknya adalah konsumsi-konsumsi pasif dimana partisipasi mereka terbatas pada pilihan membeli atau tidak membeli. Menyatukan massa ke dalam budaya tinggi yang telah diturunkan statusnya. Kemudian menjelma menjadi instrumen dominasi politik dominan,” dikutip dalam buku, meminjam analisis Margaret MacDonald (MacDonald, 157:60).

Simulakra dan Hiperealitas

Dalam pengejawantahan Baudrillard, Simulakra adalah posisi di mana sebuah objek sudah tidak bisa dibedakan lagi, baik palsu maupun asli. Duplikasi penanda dan manipulasi petanda dilakukan secara berlebihan. Sebagai contoh, brand pakaian menjual sebuah pakaian dengan tampilan desain potret Monalisa yang sedikit dimodifikasi. Karena si penjual mentransfer lukisan tersebut dalam pakaian, benaknya menganggap bahwa itu adalah orisinalitas.

Dampak simulakra adalah hiperealitas, realitas semu yang tampak nyata. Contoh masih dalam tataran busana, desain Monalisa yang dicap orisinal kemudian diimajinasikan oleh pemakainya sebagai barang prestis. Karena, untuk membeli pakaian itu diperlukan kocek yang besar. Pada akhirnya dalam tataran sosial, masyarakat lebih memilih brand pakaian itu karena mengandung nilai simbol.

Dalam pandangan simulakra dan hiperealitas, Baudrillard cukup pesimis. Sebuah realita masyarakat tidak lagi berpijak pada dunia. Masyarakat cenderung hidup layaknya berada di dunia simulasi. Kesenangan-kesenangan yang ada adalah kepalsuan belaka, bukan murni dari tindakan akal budi. Namun, tercipta dari situasi konsumsi komoditas simbolik.

Meskipun analisisnya brilian, Baudrillard tidak menawarkan sebuah solusi. Kepribadiannya yang nihilis dan fatalis membiarkan sebuah kelindan patogen sosial untuk terus hidup sebagai petanda sebuah zaman pascamodern.

Mungkin saja, peryataan Baudrillard yang seperti itu ada benarnya juga. Ajakan-ajakan untuk lebih memilah kebutuhan sesuai dompet juga sering dilakukan. Namun tetap saja, hal itu tidak memungkinkan dalam mengatur sebuah tatanan struktur sosial yang sudah ada. Hal paling rasional untuk kita lakukan hari ini adalah berpikir sebelum bertindak dalam paparan budaya populer.

Penulis: Arrneto Bayliss

Editor: Ragil FIrdaus