Regulasi, pendanaan, dan komitmen masyarakat menjadi pantangan baru setelah disahkannya UU TPKS

Pada 15 Juni 2022 Perempuan Mahardika mengadakan seminar berjudul “Penguatan Partisipasi Publik dalam Mengawali Implementasi UU TPKS” di Jl. KH. Wahid Hasyim Thamrin,Gondangdia, Kota Jakarta Pusat. Acara bertempat di dalam Ballroom hotel AKAMI.

Acara ini bermaksud merayakan disahkannya UU TPKS setelah hampir sepuluh tahun diperjuangkan. Perayaan dilakukan dengan cara membuka diskusi publik dengan beberpa lembaga-lembaga seperti: Institute for Criminal Justice Reform(ICJR), Legal Resources Center untuk Keadilan Gender dan Hak Asasi Manusia(LRC KJHAM), Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan(KPPPA), Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia(Kabareskrim POLRI), dan Yayasan Sukma Bangsa(lembaga pendidikan milik Surya Paloh. Serta beberapa komunitas seperti; Arus Pelangi dan lembaga pers mahasiswa.

Tujuannya agar terbangun komitmen dari negara dan masyarakat sipil dalam membaerantas kekerasan seksual di Indonesia. Juga mensosialisasikan sahnya UU TPKS sebagai “amunisi” baru demi membantu mengawal korban kekerasan seksual.

Acara dibuka dengan pentas tari Yapong betawi dari Group Tari Arcik sebagai simbol perjuangan kaum perempuan menghadapi marjinalisasi dari masyarakat. Lalu dilanjutkan dengan dialog bersama beberapa perwakilan lembaga. Dialog dibuka oleh Genoveva Alicia sebagai moderator dengan membawa tema tantangan masalah dan regulasi UU TPKS dari setiap perwakilan lembaga.

Mengawali dialog, Nur Laila Hafidhoh direktur LRC KJHAM menceritakan pengalamannya sebagai lembaga penyedia layanan bermasyarakat berkerjasama dengan UPTD PPA untuk pendampingan korban tingkat provinsi di Semarang.

Iklan

Nur menjelaskan, untuk mendapatkan dana bantuan demi mengawal korban ke pengadilan, diperlukan kerjasama dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak(UPTD PPA). Lembaga ini bertujuan untuk mengelola kasus lalu nantinya meminta anggaran dari pemerintah untuk pendampingan.

“hambatannya disini kami dan UPTD PPA sering sekali tidak bisa menyamakan waktu, alhasil pendampingan berlangsung sangat lama. Diharapkan ada regulasi agar penurunan anggaran bisa lebih fleksibel,” ujarnya Nur.

Menyangkut hal tersebut, Ali Khasan sebagai Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan PPPA mengatakan bahwa pemerintah siap untuk membantu kesuksesan UU ini dangan persiapan strategis, yaitu berkoordiansi dengan baik dengan unit-unit pelayanan pemerintah yang berhubungan dengan perlindungan perempuan dan anak di tingkat provinsi. Juga persiapan subtantif, yaitu mengawal peraturan pelaksanaan serta publikasi.

Baca Juga: IWD 2022 Komitmen Mengawal RUU TPKS

Menimpali hal tersebut, Sri Nurherawati sebagai ketua yayasan Sukma menjelaskan bahwa pemerintah harus ikut andil dalam melaksanakan UU ini melalui 5 indikator; pencegahan, perlindungan, penyidikan, penghukuman, dan pemulihan.

Maksud dari indikator pencegahan meliputi publlikasi pemerintah tentang tindakan-tindakan yang melecehkan “Seperti Cat- Calling,” ujar Sri. Juga pemaparan-pemaparan ke khalayak publik tentang UU TPKS.

Perlindungan menyangkut aparat pemerintah untuk melindungi masyarakat dari kekerasan seksual dan cara mereka melindunginya. Polisi, pemerintah dan masyarakat sipil harus menciptakan ruang yang aman dari kekerasan seksualmelalui pemahaman tentang tindakan kekerasan seksual melalui publiksi pemerintah.

Indikator penyidikan menyinggung tenaga pendidik agar tidak terlalu menekan korban serta memahami kondisi korban. Sri berpendapat bahkan penyidik harus memberitahu hak-hak korban yang tercantum dalam UU TPKS ketika meninterogasi.

Penghukuman harus tegas, bahkan penyidik bisa menyita aset-aset pelaku sebagai ganti alat ganti rugi. Dan terakhir pemulihan, pengawalan korban tak berhenti ketika putusan hukum telah dijatuhkan kepada korban, namun hingga korban pulih sutuhnya.

“Semua indikator ini merupakan kunci agar korban menjadi setara ketika mengurus kasus, maka tak lagi merasa malu bahkan terdiskriminasi” kata Sri.

Iklan

Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjalankan UU ini sepenuhnya. Genoveva Alica selaku moderator mengatakan bahwa UU ini hanya menjadi alat bagi kita untuk memberantas kekerasan seksusal. Namun selanjutnya tergantung bagaimana komitmen dan tanggungjawab warga sipil dan pemerintah. “Seminar ini sebagai langkah awal mengenalkan ke khalayak umum tentang UU TPKS, setelahnya kita harus tetap semangat mengawal UU ini,” tuturnya di akhir acara.

 

Penulis: Asbabur Riyasy

Editor : Izam Komaruzaman