Kasus pelecehan seksual terhadap perempuan seringkali terjadi di berbagai tempat. Dari tempat yang jauh dari kerumunan, sampai ruang publik yang ramai sekalipun. Namun, masih ada sebagian oknum yang lebih menyalahkan korban atas terjadinya kasus pelecehan seksual.
Perspektif tersebut masih sering dijumpai di Indonesia, utamanya terhadap kasus yang terjadi di transportasi massal. Seperti kisah yang ditulis oleh musisi dan aktivis perempuan, Kartika Jahja pada blog pribadinya, “Saudari kan orang berpendidikan ya? Kok orang berpendidikan kerja pakai celana pendek” tanya seorang pengacara. Pertanyaan itu muncul di ruang pengadilan, Si Korban, Seorang karyawati 30 tahun, di Jakarta.
Hal tersebut membuat korban pelecehan seksual merasa bersalah dan enggan mengadukan kasus yang menimpanya kepada pihak yang berwajib. Apalagi payung hukum di Indonesia mengenai pelecehan seksual masih minim. Terbukti dari belum adanya pasal-pasal yang fokus menindaklanjuti kasus-kasus pelecehan seksual, baik tentang pengadvokasian korban, atau bahkan hukuman untuk pelaku.
Indonesia darurat pelecehan seksual
Studi yang dilakukan oleh perusahaan riset dari Singapura, Value Champion, menyatakan Indonesia sebagai negara paling berbahaya kedua bagi wanita di kawasan Asia Pasifik. Hasil tersebut menjelaskan bahwa masih lemahnya upaya pemerintah Indonesia dalam menanggapi berbagai kasus pelecehan seksual. Senada dengan penelitian tersebut, dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Matius Alfons dengan judul “Penumpang KRL diminta berani lapor bila alami pelecehan seksual,” Vice President Coorporate Comunnications PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Eva Chairunisa menyebut ada 34 laporan terkait pelecehan seksual di KRL sepanjang 2018. Namun, hanya 20 kasus yang korbannya bersedia ditindaklanjuti ke ranah hukum. Sisanya lebih memilih untuk membiarkannya, bahkan bungkam.
Sebenarnya, upaya preventif pemerintah Indonesia melalui Perusahaan penyedia transportasi publik untuk mengurangi risiko pelecehan seksual sudah mulai tampak. Terbukti dengan adanya tempat khusus bagi perempuan, seperti yang telah dilakukan PT Transportasi Jakarta pada Bus Rapid Transit (BRT/Busway) dan juga PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) pada moda Kereta Rangkaian Listrik (KRL) Commuter Line. Adapun upaya lain juga pernah dilakukan PT KCI, dengan membuat kampanye melalui brosur yang berisi informasi pencegahan pelecehan seksual dan poster dengan tema serupa.
Namun, berbagai upaya tersebut belum tepat, karena sasaran tidak ditujukan sepenuhnya pada pelaku pelecehan, melainkan hanya kepada korban. Padahal, seperti dalam artikel yang ditulis oleh Dian Kurniati dan Ria Apriyani berjudul “Komnas Perempuan: Pelecehan seksual bermula dari otak pelaku, bukan tubuh perempuan”, Anggota Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Magdalena Sitorus, mengatakan jika selama ini pakaian minim seringkali dijadikan alasan sebab terjadinya kasus pelecehan seksual, “Kami melihat ini sangat diskriminatif. Sangat patriarki, seolah-olah, kalau dibuat begitu, wilayahnya akan aman dari kekerasan seksual.” Perusahaan penyedia transportasi publik, menurut saya, masih mengarahkan edukasi hanya kepada “calon” korban, tidak pada “calon” pelaku, dan perspektif ini harus diubah.
Tanggung jawab sosial perusahaan
Perusahaan sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR) dan lingkungan Perseroan Terbatas (PT) berkewajiban untuk ikut serta peduli terhadap masyarakat. Seperti yang tertulis pada Pasal 1 angka 3 menyatakan “Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.” Melalui pasal ini, dapat dilihat bagaimana perusahaan memang sudah sepatutnya melakukan kontribusi terdahap masyarakat sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan.
Sebagai bentuk penerapan skema CSR, beberapa perusahaan penyedia transportasi publik sebenarnya telah “taat” dalam memberikan tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat. Beberapa di antaranya, PT Rodamas Group atas sumbangsih bus TransJakarta kepada Pemprov DKI Jakarta, Mudik Gratis yang tiap tahun diadakan Kementrian Perhubungan, dan langkah peduli PT KAI terhadap korban bencana.
Berdasarkan survey yang dilakukan Change.org, Hollaback Jakarta, Lentera Sintas Indonesia, perEMPUan, dan Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG) pada tahun 2018, melibatkan 470 responden di delapan lokasi berbeda, yaitu sekolah-sekolah dan kampus di Jakarta, yang juga merupakan pengguna transportasi umum. Salah satu survey tersebut menyebutkan bahwa 35,9% perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum konvensional, dan sebanyak 9,4% juga pernah mengalaminya saat menggunakan jasa transportasi umum online. Hal ini mengindikasikan bahwa transportasi umum di Jakarta keamananya masih lemah. Namun, perusahaan penyedia transportasi publik tidak secara penuh menyasar CSR-nya sebagai upaya untuk menanggulangi kasus yang paling dekat dan yang kerap terjadi tersebut, mengapa?
Padahal, selain sebagai bentuk perwujudan tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat, upaya tersebut juga secara tidak langsung ditujukan pula pada konsumennya. Di luar kewajibanya terhadap CSR, hal itu mestinya memang harus mendapatkan perhatian lebih. Konsumen berhak mendapat moda transportasi yang aman. Dalam hal ini, suatu korporasi seharusnya mulai mengalokasikan anggaran CSRnya kepada kasus yang kerap terjadi di berbagai moda transportasi umum ini.
Solusi kurang efektif
Slyvira Ananda, Dosen Progam Studi D3 Transportasi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menjelaskan Jakarta mulanya telah mengusung konsep smart city, dan telah banyak memasang CCTV (Closed Circuit Television) di berbagai wilayah, utamanya tempat perhentian moda transportasi. Tetapi hal tersebut belum sepenuhnya tepat, “CCTV harusnya tidak cuma disembunyikan, tapi juga diberitahu ke masyarakat, kalau di daerah tersebut berada di bawah pengawasan CCTV. Supaya mereka (pelaku) semakin susah melakukan kegiatan pelecehan seksual itu, maka ruang untuk mereka dipersempit.”
Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa pemerintah tengah menggalangkan fitur panic button kepada tiap moda transportasi publik. Nantinya, fitur yang terletak di salah satu sisi moda transportasi ini akan terhubung kepada supir, jika terjadi hal yang tidak diinginkan tengah menimpa penumpang. Tetapi, nilai minusnya, jika situasi ramai dan berdesakan, yang kedapatan menjadi korban akan susah menjangkau fitur panic button ini.
Menurut Slyvira, pemerintah Indonesia, melalui perusahaan penyedia transportasi harus memberikan rasa aman kepada penggunanya. Jika kasus pelecehan masih banyak terjadi, tentu pemerintah gagal dalam memberi rasa aman itu. “Harus ada aturan yang jelas, lengkapi dengan Standard Operational Procedure (SOP) baik, diantaranya sosialisasi pada operator atau pertugas yang bertanggung jawab bagi keselamatan penumpang,” tutur dosen yang pernah menjabat sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Perhubungan (Dishub) Propinsi DKI Jakarta tersebut.
Media pengaduan yang terjangkau
Berkaca pada pernyataan Vice President Coorporate Comunnications PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Eva Chairunisa, mengenai sebagian korban yang lebih memilih bungkam ketimbang mengadukan kasusnya kepada pihak terkait. Penulis menyarankan perusahaan penyedia transportasi publik mestinya perlu menyediakan tempat khusus konseling pada area pemberhentian moda transportasi. Hal ini berguna untuk menampung beban psikologis dan penanganan berkelanjutan kepada korban. Lebih baik lagi, jika penyedia transportasi memaksimalkan ruang kosong di setiap sudut moda transportasi untuk memasang hotline yang terhubung langsung dengan operator pengaduan.
Selain itu, penyedia transportasi mestinya lebih giat melakukan edukasi kepada masyarakat untuk segera melapor. Baik saat melihat, atau menjadi korban tindak pelecehan. Diantaranya dengan melakukan kampanye melalui brosur atau pembuatan poster dengan tema tersebut.
Hemat penulis, perlu bagi pemerintah untuk berusaha mengubah stigma mengenai Indonesia sebagai negara kedua (se-Asia Pasifik) yang berbahaya bagi perempuan. Dengan cara mendorong perusahaan penyedia transportasi publik untuk meningkatkan perhatiannya pada kasus-kasus pelecehan seksual. Serta, menyadari kewajibannya akan tanggung jawab sosial perusahaan pada masyarakat, untuk berpartisipasi mengurangi kerentanan terjadi kasus pelecehan seksual.
Pada era dimana pemerintah Indonesia belakangan ini tengah memprioritaskan pembangunan infrastruktur. Utamanya pengadaan beberapa moda transportasi mutakhir, yang beralasan kepada pemenuhan kebutuhan mobilitas dan aksesibilitas masyarakat. Lantas, apa guna pembangunan itu jika tidak memerhatikan keamanan bagi penggunanya?
Penulis: Bimo Andrianto
Editor : Uly Mega Septiani