Tidak terlibatnya mahasiswa dalam pemilihan rektor menciptakan rasa-was, mereka mengharapkan sosok rektor yang punya keberpihakan pada mahasiswa.
Meski berada di lingkungan kampus, sistem pemilihan rektor tidak menyertai hak suara bagi mahasiswa. Merujuk pada Permenristek Dikti Nomor 19 Tahun 2017 ketentuan penyelenggaraan pemilihan rektor diisi oleh suara kementerian sebesar 35% dan senat memiliki 65%. Adapun, tiga calon rektor yang akan dipilih meliputi petahana Prof. Dr. Komarudin, M.Si., Prof. Dr. Ucu Cahyana, M.Si, dan Dr. Muhammad Yusro, M.Pd., MT., Ph.D.
Ajang pemilihan rektor ini membuat mahasiswa Prodi Statistika Bambang Rizky Ibrahim was-was, pasalnya pemilihan rektor seolah mengabaikan aspirasi mahasiswa. Padahal, segala kebijakan rektor baginya akan berdampak pada seluruh mahasiswa.
Menurutnya, pemilihan rektor ini merupakan mekanisme politik yang harus dicermati dengan baik. Ia menilai ketidakterlibatan mahasiswa secara elektoral pada akhirnya menempatkan mahasiswa dalam posisi rentan.
“Seolah-olah kita cuma nerima barang jadi, mau rusak atau masih bagus, ya bodo amat. Intinya harus terima dan ikuti saja aturan mainnya”, ucapnya.
Dalam survei persepsi mahasiswa tentang pemilihan rektor menunjukan terdapat 79,63% dari 270 mahasiswa yang mengetahui informasi mengenai pemilihan rektor. Sementara, 20,37% lainnya mengaku tidak tahu tentang pemilihan rektor. Dalam survei yang sama, Tim Didaktika juga menemukan sebanyak 80,74% mahasiswa masih peduli dengan pemilihan rektor. Sementara hanya 19,26% saja yang menyatakan tidak peduli.
Salah seorang mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Arab 2022, Nurhusna merasa bahwa pemilihan rektor bukan hal yang penting baginya. Awalnya ia memang merasa penasaran dan beberapa kali melihat spanduk bertuliskan pemilihan rektor yang berada di persimpangan antara kantin dan gedung G. Namun, saat mengetahui fakta bahwa pemilihan rektor tidak melibatkan sepeser pun suara mahasiswa, Nurhusna memilih untuk tidak lagi mengikuti perkembangan politik kampus yang berlangsung,
“Karena aku merasa nggak dilibatkan, jadi aku memilih buat nggak peduli”, ujar Nurhusna.
Sementara mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika 2021, Asyifa menganggap rektor sangat berkaitan dengan seluruh civitas akademika di UNJ. Oleh sebab itu, penting bagi rektor untuk mendengarkan aspirasi dari seluruh civitas akademika yang ada di lingkungan UNJ termasuk mahasiswa.
“Saya sendiri gak banyak aspirasi, tapi tentang UKT saya alami sendiri, UKT saya berkisar sembilan juta dan ibu saya sudah meninggal”, keluhnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kualifikasi golongan UKT di UNJ tidak jelas dan sampai sekarang belum ada perbaikan mengenai masalah ini. Meskipun ada SK perpanjangan dan keringanan dari rektor di setiap masa pembayaran, baginya mekanisme keringanan ini tidak cukup terbuka dan ditutup-tutupi. Padahal banyak mahasiswa yang kesulitan sama seperti dirinya.
“Rektor yang terpilih harus cukup tegas mengenai range UKT mahasiswa. Kan dapat dilihat dari ekonominya dan dipertegas juga soal penyebaran SK keringanan. Persoalan ini cukup serius, karena jadi pintu gerbang dalam meraih pendidikan, bukan satu dua mahasiswa aja yang mengalami,” tutur Asyifa.
Hanya Bisa Berharap
Mahasiswa Pendidikan Sejarah 2021, Nugroho melihat porsi 35% hak suara Kemdikbud terlalu besar. Dengan jumlah tersebut, bisa menjadi peluang lobi-lobi politik, sehingga pemilihan rektor akan sarat kepentingan politis.
Terlebih lagi, ia menganggap UNJ yang kini sejengkal lagi menyandang status PTN-BH memperkuat alasan agar mahasiswa harus mengawal kinerja rektor. Pasalnya, otonomi yang didapat kampus serta kemandirian dalam tata kelolanya membuka kemungkinan untuk naiknya biaya kuliah.
“Sangat penting untuk kita melihat sejauh mana seorang rektor bisa memastikan perubahan ini tidak akan merugikan mahasiswa, walau pesimis setidaknya berharap,” pungkasnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua BEM UNJ Rizal Purnama Adi, memandang bentuk partisipasi mahasiswa bisa diimplementasikan dalam bentuk pengawalan. Misalnya, diskusi atau mendatangi langsung calon-calon rektor dengan membawa kondisi riil di UNJ. Kondisi riil itu nantinya diserahkan kepada calon rektor sebagai permasalahan yang ada di universitas.
“Dengan membawa kondisi riil sebagai persoalan, setidaknya mereka tahu harus ngapain,” ujarnya saat ditemui Tim Didaktika (14/07).
Rizal juga turut mengkritisi visi misi yang ditawarkan oleh semua calon rektor sangat jauh dari kepentingan mahasiswa. Terlebih dengan adanya transisi statuta UNJ dari PTN-BLU menjadi PTN-BH, menjadi dasar kekhawatiran. Baginya, transisi UNJ menjadi PTN-BH bisa saja menjadi gerbang untuk kebijakan-kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa.
Apalagi, melihat kondisi riil di UNJ, seperti aset dan badan usaha lainnya belum cukup untuk menunjang kebutuhan kampus. Sehingga, ia mempertegas kalau UNJ belum siap untuk menyandang status PTN-BH.
“UNJ kan hanya memiliki dua sumber pendapatan, Labschool dan Naraya, pertanyaannya bisa ga UNJ bertahan hanya mengandalkan badan usahanya, jangan sampai mahasiswa jadi korbannya,” tegasnya.
Kini, jabatan rektor di UNJ telah resmi diisi oleh Komarudin melalui sidang pleno tertutup pada Senin (17/7). Komarudin mengalahkan dua calon rektor lainnya dengan meraih 73% suara dari 112 suara yang terkumpul. Dengan begitu, Komarudin resmi menjabat kembali sebagai rektor hingga empat tahun mendatang.
Reporter/Penulis: Ezra dan Laila
Editor: Izam