Bagaikan tersambar petir di siang bolong, begitulah yang dirasakan Herman ketika tiba-tiba pihak Rektorat memberikan sepucuk surat. Isinya adalah meminta para pedagang yang berlapak di bawah parkir pintu Rawamangun Muka, Kampus A, UNJ harus mengosongkan tempat tersebut. Alasannya karena ada renovasi yang akan dilakukan terhadap parkiran berpola spiral itu. Herman tidak tahu harus berbuat apa. Ia memiliki tiga anak, yang pertama masih berusia 11 tahun dan anaknya yang terakhir berusia 3 tahun. Sudah 12 tahun ia berdagang di kawasan UNJ. Kehidupan keluarganya hanya bertumpu pada hasil berjualan ketoprak di kantin ini. “Kalau ini beneran jadi dipindahkan saya nggak tau anak dan istri saya bakalan makan apa,” ujarnya dengan wajah muram.
Herman merasa penggusuran ini sangat kejam. Terhitung sejak tanggal 8 Juni 2017 surat itu dilayangkan, pedagang harus angkat kaki. Pihak rektorat sama sekali tidak menyediakan tempat berjualan yang baru. “Sebulan itu waktunya tidak cukup untuk mencari tempat berjulan baru,” ujar Herman. Herman juga sangat menyesalkan tindakan pihak Rektorat yang melibatkan pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), “kalau sampai tanggal 7 Juli 2017 gerobaknya masih ada di sini, bakalan diangkut secara paksa oleh Satpol PP, ” tutur Herman seraya melayani pelanggan.
Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Susi, pedagang soto. Ia tidak tahu harus berbuat apa bila penggusuran itu benar-benar terjadi. Kehidupan Susi bertumpu pada hasil berjualan di sini. “Dagang di sini kalau lagi ramai bisa dapat sampai Rp 200.000 per hari, itu cukup untuk kehidupan keluarga saya,” tuturnya sambil mengambil mangkuk bekas pembeli. Ia berdagang sambil menggendong bayinya yang baru berusia dua bulan.
Kabar duka datang dari pedagang masakan padang, Aprizal yang akrab disapa Uda. Beliau dikabarkan meninggal dunia beberapa hari setelah lebaran kemarin. Uda meninggalkan istri dan tiga anak. Menurut keterangan istrinya, berdagang di kantin spiral ini lah yang menjadi tumpuan hidup selama ini.
Berangkat dari itu, Anto yang merupakan koordinator pedagang di kantin spiral ini memaparkan bahwa keputusan dari pihak Rektorat diambil secara sepihak. Mereka tidak pernah dilibatkan sama sekali dalam pengambilan keputusan. Pedagang yang ada di kantin spiral saat ini berjumlah enam belas. Sebelumnya para pedagang ini berjualan di sepanjang jalan Rawamangun Muka. Namun pada 21 Juli 2014 atas mandat dari pihak Rektorat, mereka dipindahkan ke bawah parkiran spiral. Hal ini disebabkan jalur masuk dan keluar UNJ harus bersih dari para pedagang.
Setelah insiden tersebut para pedagang berinisiatif mengajak Rektorat untuk membicarakan mengenai legalitas pedagang kantin spiral. “Beberapa tahun lalu kami pernah menemui staf Wakil Rektorat II, akan tetapi mereka tidak mau diajak berdiskusi,” ujar Anto. Alasannya saat itu Rektorat merasa belum memiliki tempat yang layak untuk membangun kantin. Sehingga Rektorat menolak uang iuran dari pedagang.
Kini, setelah surat penggusuran dilayangkan, empat hari kemudian Anto memberikan surat balasan kepada Rektorat. Dalam surat itu para pedagang meminta Rektorat untuk memberikan tempat berjualan sementara di kawasan jalan Daksinapati. Pihak pedagang juga bersedia membayarkan iuran kepada pihak UNJ. Akan tetapi hingga hari ini belum ada balasan atas surat tersebut, “Saya mengajukannya kepada Komarudin selaku Wakil Rektorat II,” tutur Anto.
Rachmat Darmawan mahasiswa Prodi Sastra Indonesia 2014, sangat menyayangkan apabila kantin spiral akan digusur. Mahasiswa akan sangat keberatan karena menurutnya, UNJ masih kurang menyediakan kantin. “Sekarang saja kantin blok m (di dalam kampus) sudah padat kayak gitu apalagi nanti kalo kantin ini ditiadakan,” ujar Rachmat di sela-sela menyantap ketoprak pesanannya.
Senada dengan Rahmat, Sarah juga berpendapat bahwa mahasiswa masih membutuhkan fasilitas kantin. Menurutnya seharusnya Rektorat harus menyiapkan tempat lain untuk menggantikan kantin spiral, “kalau ingin direnovasi jangan langsung ditiadakan kantin ini,” ujar mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Tari ini.
Uly Mega