Akhir-akhir ini, saban malam ia tak bisa tidur nyenyak. Ia bisa terbangun hingga belasan kali. Pikirannya selalu melayang ke mana-mana. Ia gelisah melulu setelah dituduh korupsi. Apalagi semenjak banyak media nasional memberitakan kasus korupsinya.
Ia terus mengelak meski berita tersebut memang benar. Oleh karenanya, Ia takut dipenjara. Di sisi lain, ia takut dosa korupsinya ini menggiringnya ke neraka.
Ketakutan yang pertama biasanya dirasakan oleh mereka yang memiliki surga di dunia. Mereka tak rela kenikmatan di dunia direnggut. Ia takut tak bisa lagi menikmati hasil korupsi. Mungkin itu yang dipikirkannya.
Sedangkan, ketakutan yang kedua ini agak aneh bagi Ia yang telanjur cinta dunia. Mungkin saja rasa takut itu tak akan muncul apabila tak ada teknologi bernama telepon pintar.
Ia pernah membaca-baca artikel soal keagamaan melalui facebook. Itu pun tak sengaja mengklik tautan di beranda dari kawannya yang agamis. Demi mengisi kegabutan di saat sulit tidur dan bosan dengan film porno yang begitu-begitu saja, akhirnya artikel itu dibaca juga. Kebetulan pula kata “korupsi” disisipkan di judul. Ia lupa judul tulisannya. Pokoknya, sejak saat itu, akhirat dan neraka menjadi sering menggaung di benaknya. Ketakutan ini yang justru kuat sekali menghantui setiap malamnya hingga sulit tidur.
Hampir empat tahun ia menjabat sebagai rektor di suatu universitas. Selama menjabat, ia terlalu asyik berkorupsi. Kabarnya begitu. Buktinya, pembangunan mangkrak. Kemudian banyak unit yang dana anggarannya dipotong. Katanya, untuk pembangunan. Entah uang yang sudah dianggarkan digunakan untuk apa. Penghuni kampus menuntut transparansi, namun ia selalu saja bungkam.
*
Malam itu bukan seperti malam biasanya. Ia benar-benar sulit memejamkan mata setelah membaca press rilis dari mahasiswa secara online di telepon pintarnya. Di situ tertulis bahwa besok para mahasiswa akan melakukan aksi protes di depan gedung rektorat.
Ia bingung harus berbuat apa besok. Sampai-sampai tak bisa tidur hingga subuh. Ia akhirnya memutuskan untuk pura-pura sakit saja demi menghindari hal yang tak diinginkan. Dituntut transparansi dana, misalnya. Data keuangan belum siap. Lebih-lebih mentalnya.
Ketika fajar, sebelum tidur, ia membangunkan istrinya dan berpesan agar jangan dibangunkan kerja. Ia mengaku tak enak badan akibat begadang tadi. Dalam keadaan masih mengantuk istrinya mengiyakan. Rupanya, sang istri sudah paham duduk persoalannya. Apa pun permohonan sang suami, ia turuti saja. Ia yakin segala keputusan suaminya selalu tepat. Yang penting kita aman, pikirnya.
Esoknya, di kampus, mahasiswa tetap menjalankan aksinya. Ribuan mahasiswa bergumul di depan gedung rektorat. Mereka tak lantas bubar setelah tahu rektornya absen. Sang rektor dianggap cuci tangan. Orasi terus bergulir. Mereka menuntut demokratisasi dan transparansi. Beberapa media bahkan turut meliput kejadian ini.
Di rumah, Ia masih tidur. Sendirian. Ia tak mau ambil pusing soal aksi hari ini. Teleponnya berdering berkali-kali. Ada laporan dari staf rektorat, sepertinya. Ia sama sekali tak hiraukan.
Waktu menunjukan pukul sebelas. Demi mengisi waktu luang dan tak ingin dicap sebagai kafir, Ia bersiap untuk Jumatan. Aksi di kampus pun turut dihentikan sesaat demi Jumatan.
*
Ia yang biasa berjalan kaki ketika Jumatan, hari ini pergi dengan motor. Ia juga memilih untuk Jumatan di masjid lain yang agak jauh; bukan di masjid daerah perumahannya–tentu saja bukan masjid kampus. Menurutnya, dengan begitu, ia bisa dengan mudah menghindar dari segala obrolan atau pertanyaan dari orang yang ia kenal di jalan.
Masjid lumayan lengang setibanya ia di sana. Jemaat masih sepi. Setelah berwudhu, ia memilih duduk dekat mimbar dan berpura-pura berdzikir agar tak diajak bicara oleh yang lain. Ia lakukan itu untuk berjaga-jaga siapa tahu ada yang kenal dan ingin ngobrol dengannya.
Saat khotbah, ia yang biasanya tidur pulas, hari ini tidak demikian. Di penghujung khotbah ia seratus persen sadar. Ada hal yang menariknya sehingga membuatnya seketika segar seperti habis mandi.
Setelah khotbah hari ini, pandangan hidupnya tak lagi sama.
*
Sepulang Jumatan, Ia tak lagi memikirkan panasnya neraka di akhirat. Ia merasa tenang. Ia yakin segala perbuatannya di dunia tak cukup untuk menggiringnya ke neraka. Kini, mulai malam ini, ia rasa ia bisa tidur nyenyak meski banyak orang berusaha menyudutkannya. Menyudutkan, begitulah menurut Ia.
Ia ingat khotbah khotib tadi siang. Entah sang khotib mengutip ayat apa atau hadist mana. Ia lupa, sebab ia sibuk menahan kantuk. Satu hal yang ia ingat. Kurang lebih begini: seseorang akan dihilangkan dosanya, apabila ia digunjingkan oleh orang lain.
Sama seperti kebanyakan orang. Ia hanya mendengar sesuatu yang ingin ia dengar. Semua ceramah lain, ia justru kebanyakan lupa. Ia tak perlu mendengarkan hal yang tak penting baginya. Tak ada untungnya juga, menurutnya.
Sejak siang ini, ucapan khotib tadi menjadi populer di benaknya. Ucapan itu pula yang kemudian dijadikan pembenaran atas segala perbuatannya. Perbuatannya selama menjabat sebagai rektor yang korup.
Tak ada hal yang perlu dikhawatirkan lagi, pikirnya.
Banyak media yang memberitakan keburukannya. Para tetangga menggunjingkannya. Mahasiswa, dosen, dan penjuru kampus mengkritiknya. Namun, rektor yang baru Jumatan tadi siang tak peduli.
Terlebih lagi soal akhirat. Ia yakin dosanya senantiasa terhapus apabila ia sering-sering dibicarakan. Ia tak khawatir lagi soal akhirat dan neraka. Justru ia berpikir, semakin ia korup atau bobrok, maka semakin banyak yang membicarakannya. Dengan begitu, segala dosanya akan hilang bersama dengan berita yang beredar tentangnya. Dan ia dijauhkan dari neraka. Korupsi, menurutnya, bisa terus berlanjut.
Ya, malam itu Ia tidur nyenyak.
Namun, Ia lupa urusannya dengan “dunia” belum selesai. Entah kapan kasus korupsi ini bisa benar-benar terkuak. Bisa saja ia dipenjara.
Oh, ya! Ada lagi ucapan khotib yang ia ingat. Hidup di dunia itu hanya sementara dan akhirat itu kekal. Begitu, katanya.
Begitulah tafsirannya atas khotbah tadi. Segala dosa seseorang bisa hilang, bila ia digunjingkan. Maka dari itu, ia mempertahankan posisinya agar selalu digunjingkan. Biarlah korupsi tetap ada, pikirnya.
Di pihak lain, para mahasiswa berencana untuk mengadakan aksi protes selanjutnya. Mereka merasa urusan dengan rektor korup itu belum selesai. Mereka masih memperjuangkan demokratisasi kampus. Mereka ingin adanya transparansi di segala kebijakan, seperti soal keuangan.
Lutfia Harizuandini