Pengemudi ojek online perempuan karap kali menerima stigma berbasis gender. Selain mendapatkan stigma, ia juga mengalami kerugian-kerugian materi. Celakanya perusahaan abai terhadap permasalahan tersebut.
Sudah hampir dua tahun, Rossa Elvira (21) menggeluti pekerjaan sebagai ojek online. Tentu bukan kali pertama masyarakat perkotaan mendengar istilah ojek online atau yang biasa disebut ‘ojol’. Ya, ojol memang marak beberapa tahun belakangan. Pada umumnya, ojol digeluti oleh laki-laki. Sehingga menjadi hal yang menarik, jika mengulas pengalaman perempuan yang pada umumnya jarang mengisi posisi pengemudi ojol.
Sebelumnya Rossa hanya menjadikan ojol sebagai kerjaan sampingan sejak 2019 pertengahan. Kala itu, orderan ramai. Perusahaan pun memberikan bonus kepada para pengemudi ojol. Namun semua berubah, tentunya bukan negara api menyerang, melainkan pandemi menyerang. Di saat pengemudi sulit mendapatkan orderan, perusahaan malah memotong bonus pengemudi ojol. Sehingga, pengemudi hanya bergantung pada orderan semata. Konsekuensinya, hal ini membuat pendapatan Rossa menurun. ‘’Ya, meskipun begitu namanya kerjaan ya bawa enjoy ajalah,’’ ucapnya.
Ia juga tetap bersyukur meskipun lelah. Menurutnya, pendapatan harian dirinya sebagai pengemudi ojol sekitar Rp50.000- Rp70.000 di masa pandemi.
Dengan aura yang bersahabat, Rossa juga menceritakan dirinya kerap diberikan tip lebih dari penumpang. Hal itu membuatnya senang dan semangat. Biasanya, tip lebih ini diberikan oleh pelanggan lewat pembayaran online di aplikasi. “Kadang juga dapet tambahan makanan, kan lumayan,” kelakarnya.
Di samping itu, ia juga bersyukur tidak pernah mendapat pelecehan seksual saat ngojek. Tetapi ia mengakui adanya stigma-stigma terhadap ojol perempuan (termasuk dirinya). Salah satunya yaitu banyak pelanggan laki-laki yang membatalkan pesanan ojolnya dengan alasan ‘enggak enak kalau pelanggan cowok dapat ojol cewek’. “Padahal, saya mah biasa aja. Nggak mandang gender pelanggan,” tuturnya.
Hal ini kerap membuatnya sedih karena peluangnya mendapat uang jadi berkurang. Meski begitu, ia tidak mau membatalkan orderan pelanggan. Karena, akan mempengaruhi dirinya sebagai pengemudi ojol yang mana akan sulit mendapatkan orderan.
Ia juga menceritakan tentang banyaknya pelanggan laki-laki yang tidak mau diboncengi oleh dirinya, karena ia perempuan. Sehingga ia kerap bertukar posisi dengan pelanggan laki-laki dalam mengendarai motor. “Mungkin malu kali, diboncengi perempuan gitu” ucap Rossa. “Atau mungkin pada buru-buru,” tambahnya.
Beranjak dari stigma yang diterima Rossa karena gendernya itu, ada pula hal lain yang merugikan dirinya dalam menjalani pekerjaan sebagai ojol. Yaitu perihal penipuan yang dialaminya.
Rossa mengaku sering mendapat order fiktif. Contohnya saat pelanggan meminta diisikan LinkAja. Ketika Rossa sudah mengisi LinkAja untuk pelanggannya, sang pelanggan malah membatalkan begitu saja. Sehingga ia tak mendapatkan bayaran dari pelanggan. Selain itu, pernah juga, saat ia sudah membeli makanan untuk pelanggannya yang mengorder makanan tertentu, ia kembali dicancel begitu saja.
Pernah juga ketika ia sudah sampai depan rumah pelanggan untuk mengantar makanan, sama sekali tidak ada respon. Meski sudah menunggu 15 menit dan melakukan 5x panggilan ke pelanggan.
Menanggapi hal ini, Rossa hanya bisa membuat pelaporan kepada perusahaan dengan catatan ‘order fiktif’. Namun selama ini, tidak pernah ada pengembalian kerugian materil dari perusahaan, yang artinya perusahaan belum menjamin hak pekerjanya untuk mendapat rasa aman dari penipuan. Kerugian pun berakhir pada tanggungan pekerja itu sendiri yang mana harusnya dibebankan pada perusahaan. Rossa mengungkapkan hanya berusaha ikhlas terkait kerugian materilnya dan berharap tidak mendapatkan order fiktif lagi.
Penulis: Annisa Nurul H.S.
Editor: Uly Mega