Senyum dikenal sebagai respon atas kebahagiaan. Maka dari itu dia akan terus tersenyum dan menyebarkannya.
Sudah hampir 24 tahun Suhaeni mengajar di salah satu Sekolah Menengah Atas di Jakarta. Secara geografis, letak sekolah ini berada di pinggiran antara Jakarta dan Bekasi, yaitu di Jalan A. Sekolahnya bukanlah sekolah bagus, prestasinya standar dan di dalamnya orang-orang menengah ke bawah secara ekonomi. Namun, sejak 2015, di daerah sekolah tersebut sedang gencar-gencarnya dilakukan pembangunan. Mal mewah, pusat bermain anak, perumahan, satu persatu dibangun. Kos-kosan menjamur di daerah Jalan A.
Sejak pusat perbelanjaan lain berdiri, sekolah tempat dia mengajar didominasi oleh orang-orang menengah ke atas. Baginya perubahan itu bagus karena bisa meningkatkan gengsi sebagai guru yang mengajar di Sekolah A. Bagi dia, menjadi seorang guru adalah perihal eksis dan makmur.
Menjadi guru selama 24 tahun adalah membosankan. Setiap hari mengajar materi yang sama bahkan setiap tahun. Kurikulum berganti, tapi dia tidak merasakan perubahan apa pun. Dia hanya mengerti bahwa kurikulum terbaru menuntut anak untuk lebih banyak berbicara.
Senang rasanya Suhaeni bisa update status di WhatsApp-nya. “Anak-anak yang aktif,” tulisnya pada sebuah foto yang dia upload. Sementara, anak-anak muridnya mempresentasikan materi di depan.
“Wah Bu Guru…,” komentar salah satu teman SMA-nya dulu.
“Sibuk ngajar terus nih,” komentator ke 2.
“….” komentator ke 3 sampai 7.
Kebosanan selama 24 tahun menjadi guru pun dapat ia kurangi dengan update status dan chat di WhatsApp. Ada perasaan bersalah ia tidak menyampaikan materi pada setiap pertemuan. Namun, perasaan bersalah itu sedikit sirna ketika ia mendapatkan pujian dari teman-temannya di WhatsApp bahwa dia adalah guru yang rajin masuk ke kelas.
Prinsip Suhaeni adalah kurangi marah, perbanyak tersenyum. Sering kali ia merasa bersalah karena merasa tidak becus mengajar tapi dia selalu ingat prinsip itu. dia selalu bersikap baik pada murid-muridnya. Murid-muridnya pun enggan untuk membencinya meskipun mereka tak pernah mengerti materi pelajaran yang dia pegang.
Hampir tidak ada catatan negatif mengenai Suhaeni. Banyak Guru, bahkan Kepala Sekolah dan Staf Tata Usaha selalu menyukainya. Dia ramah dan rajin masuk kelas. Nilai murid yang diajari oleh dia selalu di atas KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Tak jarang dia punya inisiatif untuk menyuruh anak-anaknya ikut les agar semakin pintar -katanya.
Empat tahun pertama menjadi guru di sekolah A, dia diangkat sebagai guru tetap dengan gaji sudah di atas Upah Minimum Provinsi (UMP). Ada perasaan tidak enak, karena dua guru yang lebih lama mengabdi di sekolahnya harus ia dahului menyandang gelar ‘’guru tetap’’.
Tapi dia langsung membuang pemikiran itu dan menggantinya.
“Saya memang lebih layak. Kepala Sekolah, Staf Tata Usaha, dan murid menyukai saya semua,” ucapnya dalam hati sambil tersenyum.
Suhaeni sangat bersyukur atas semua yang ia dapatkan. Rasa syukurnya ia bangun dari buku. Setiap tahun ia langganan buku motivasi. Ia gemar membaca buku-buku motivasi tersebut melebihi buku yang menyangkut dengan materi pelajaran.
Dia selalu merasa damai dan tentram. Kuncinya adalah berpikir positif. Kurangi marah, dan perbanyak tersenyum. Tertanam seribu kali lebih kuat di otaknya daripada menyadari bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah keharusan.
Lima belas tahun kemudian dia diangkat sebagai guru PNS. Lagi-lagi perasaan bersalah selalu muncul. Setelah menjadi guru PNS, dia tahu dia akan menerima gaji 2-3 kali lipat dari hasil kerjanya yang dia pikir hanya duduk di kelas mendengarkan siswa bicara, chatting, dan menjelaskan sekadarnya.
Namun, seperti biasa ia langsung mengingat wejangan dari buku-buku motivasi yang ia baca.
Menurutnya tidak ada masalah selagi semua orang menyukainya dan membahagiakan orang di sekitarnya dengan senyuman.
Selama pengangkatan dia menjadi PNS, dia harus mengikuti pra jabatan di Puncak, Bogor selama dua minggu. Di sana ia dilatih dan disiapkan menjadi guru yang profesional.
Katanya, menjadi guru profesional itu harus disiplin, sehat jasmani maupun rohani. Maka dari itu setiap pagi ia dibangunkan untuk melaksanakan kegiatan rutin yaitu baris-berbaris, lalu senam, sarapan dan mengikuti serangkaian materi yang sudah dirancang.
Salah satu materi yang berkesan bagi Suhaeni adalah materi ‘olah pikiran’. Materi tersebut berlangsung selama 2 hari berturut-turut. Profesor dari salah satu perguruan tinggi negeri bergengsi dihadirkan di sana untuk memberikan materi tersebut.
Sebenarnya, materi tersebut tidak jauh berbeda dengan apa yang selama ini dia baca di buku-buku motivasinya. Namun, dia merasa senang saja. Seakan mendapat penguatan atas apa yang ia yakini dari seorang profesor. Ditambah lagi guyonan yang dilontarkan oleh profesor tersebut dapat diterima dengan mudah. Seperti guyonan, istri harus selalu tersenyum dan menawan agar suaminya tidak poligami. Ya, dia tertawa dengan lepas ketika guyonan-guyonan seperti itu dilontarkan sang profesor.
Intinya, Ia bersenang-senang di sana.
Ia merasa sudah sah menjadi guru profesional.
Tidak akan ada lagi perasaan bersalah yang aneh itu, pikirnya.
Acara berakhir. Ia kembali ke aktivitas biasanya di sekolah. Kali ini, Suhaeni lebih percaya diri dan merasa harus lebih banyak memberikan kebahagiaan. Ramah kepada siapa pun, termasuk orang yang ia tidak sukai dan tak lupa senyum dan tertawa seakan bahagia.
Terkadang beberapa guru yang iri (dalam sudut pandang Suhaeni) terhadapnya enggan untuk mengabaikannya. Meskipun rasa gondok di hati tak akan hilang, sesekali ingin muntah karena tingkah Suhaeni yang over. Tapi itu dirasakan oleh beberapa guru saja yang sedikit merasa waras.
Memasuki kelas, Suhaeni disambut gembira oleh murid-muridnya. Suhaeni membawakan beberapa makanan dan camilan untuk mereka. Tak lupa, Suhaeni juga menceritakan pengalamannya selama mengikuti kegiatan pra-jabatan Pegawai Negeri Sipil. Murid-muridnya tak ada yang peduli dengan ceritanya. Tapi mereka tetap melihat ke arah dia sebagai tanda terimakasih karena sudah dibawakan makanan.
Hari-harinya tak ada yang berbeda. Mungkin ada yang berbeda sedikit. Di kelas dia jadi senang memberikan ceramah motivasi kepada murid-muridnya.
Suatu hari, ia dipanggil oleh guru Bimbingan Konseling (BK) bersama muridnya yang bernama Parjo. Ia tidak tahu menahu untuk apa ia dan muridnya dipanggil ke ruang BK. Sesampainya di sana, ia duduk dan mendengarkan penjelasan guru BK
Parjo ternyata sudah tak masuk sekolah selama hampir 1 bulan. Parjo terus-terus dihujani pertanyaan dari guru BK dan wali kelasnya, Suhaeni. Parjo hanya diam dan menunduk. Guru BK terus membujuknya agar dia bersuara.
“Saya merasa percuma menjelaskannya kepada kalian, guru-guru,” lalu hening selama 1 menit.
“Kalian pasti hanya akan senyum santai sambil memberikan kata-kata motivasi-motivasi saja kepada saya,” lanjutnya lagi. Setelah berkata itu ia tak mengeluarkan alasan apa pun lagi.
Termasuk alasan ia absen selama 1 bulan karena harus bekerja ditambah malas masuk sekolah karena atmosfernya yang tak ramah dengannya, teman-teman yang bergeng karena rupawan dan kaya, dan mengikuti kelas yang tak kunjung membuatnya cerdas.
Parjo hanya menyimpannya dalam hati.
Tak lama setelah keheningan menguasai ruangan BK, Suhaeni merasa tersindir. Namun ia kemudian angkat bicara. “Seberapa besar pun masalah yang kamu hadapi pasti bisa diatasi jika kamu berpikir positif,” ucapnya sambil tersenyum.
Namun, Parjo sudah muak dengan kata-kata itu.
“TAIK!” teriaknya di depan muka Suhaeni yang masih tersenyum.//Yulia Adiningsih