Setelah cukup lama dirumuskan, Draft baru Statuta UNJ berhasil diselesaikan. Perubahan zaman, serta kebutuhan tenaga profesional membuat UNJ perlu merumuskan Statuta sebagai landasan dasar sebuah institusi pendidikan. Dengan adanya Statuta, perguruan tinggi mampu menjalankan fungsi dan tujuannya sesuai dengan visi dan misi yang tertuang dalam statuta.

Selain itu, Statuta juga memiliki aturan untuk mengatur kode etik civitas akademik, seperti kode etik mahasiswa maupun dosen. Khusus etika mahasiswa, ada sebuah pasal yang menarik perhatian saya, yakni Mahasiswa diwajibkan untuk bersifat netral dan nonpartisipan dalam kaitannya dengan keberadaan dan kegiatan berbagai kelompok golongan atau kekuatan sosial, ekonomi, dan politik dalam masyarakat.

Kalimat itu dengan tegas menjelaskan, UNJ tidak mengiginkan mahasiswanya untuk ikut serta dalam kegiatan politik di luar kampus. Misalkan, menjadi kader organisasi ekstra yang berhubungan dengan partai tertentu, serta melaksanakan kegiatan mereka. Kegiatan sejenis pun, akhirnya harus ditinggalkan. Mahasiswa cukup untuk mengembangkan kebebasan akademik sesuai disiplin ilmu masing-masing. Serta memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh penguasa kampus. Mahasiswa harus menerima pemberian itu.

Terlepas dari niat itu, penguasa kampus tetap saja naif. Mereka melupakan bahwa manusia selalu berkembang. Pengetahuan manusia tidak diperoleh dari kampus saja, tapi dapat diperoleh dari kehidupan nyata di lingungan keluarga dan masyarakat. Melalui media elektronik, media online, pertemuan dengan orang lain manusia mendapatkan pengetahuan. Jadi, keterlibatan mahasiswa dengan politik tak dapat dihindarkan.

Belum lagi, kampus memfasilitasi mahasiswa untuk belajar politik melalui organisasi eksekutif dan legislatif. Organisasi itu, memberikan kekuatan mahasiswa untuk berjejaring dengan organisasi ekstra berhaluan politik praktis. Pertemuan itu, membuat mahasiswa menerima dan mengikuti kerja-kerja organisasi ekstra tersebut.

Kondisi di kampus membuktikan hal itu. Mahasiswa menyebarkan pengetahuan politik mereka melalui organisasi kampus yang diikuti. Menerapkan sistem kaderisasi, melaksanakan program kerja, serta memanfaatkan alumni mereka yang sudah bekerja. Belum lagi, banyak alumni mereka yang menjadi anggota partai tertentu. Politik praktis pun tak dapat dihindarkan.

Iklan

Tak dapat dipungkiri pula, HMI, KAMMI, dan PMMI juga ada di UNJ. Ketiga organisasi ekstra itu ialah badan otonom yang memiliki kedekatan emosional dengan partai tertentu. Sebagian kader mereka, yang berasal dari mahasiswa akan melakukan tindakan sesuai dengan perintah dan tujuan organisasi. Mereka memiliki agenda terselubung menyebarluaskan gagasan untuk mendapatkan anggota.

Cara paling mudah untuk mencapai tujuan itu, ialah menjadi pengurus inti BEM. Mereka memanfaatkan organisasi itu, dengan merubah program kerja yang ada. Contoh terbaik ialah pelatihan kepemimpinan mahasiswa. Mahasiswa yang tidak dididik untuk mempertanyakan suatu hal, akan merima begitu saja pelatihan yang diberikan.

Tidak hanya mahasiswa, dosen pun memiliki tujuan politik. Kuasa dosen untuk mengajar mempermudah mereka untuk menyebarluaskan opini-opini politik mereka. Lagi-lagi, mahasiswa dijadikan objek kepentingan pribadi dosen. Tindakan tersebut terjadi di program studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Dosen prodi itu menggunakan kekuasaannya untuk mencari kader HMI. Ia mengajarkan materi dengan menyelipkan unsur politik kepada mahasiswa di ruang kelas. Ia juga giat menyebarluaskan informasi pelatihan HMI kepada pada mahasiswa.

Para birokrat pun sama, kegiatan politik jelas terlihat ketika pemilihan rektor. Pemilihan rektor di UNJ dipilih oleh kementrian Riset dan Pendidikan Tingga dan para senat. Tiap calon rektor, membentuk tim sukses agar dirinya berhasil menjadi rektor. Tim sukses meyakinkan para senat untuk memilih calon rektor pilihan mereka. Jika  tim sukses berhasil memenangkan tuanya, maka ia mendapatkan jabatan sesuai keinginan mereka.

Tindakan tersebut juga dilakukan di tataran kementrian. Bahkan, menurut wakil rektor 1 UNJ, saingan dirinya wakil rektor 2, sudah melakukan safari politik ke PB NU. Tujuanya untuk mendapatkan dukungan dari kementrian. Sebab, Moh. Natsir, berlatar belakang NU.

Keadaan tersebut terjadi di UNJ. Semua civitas akademik, mahasiswa, dosen, bahkan birokrat kampus tidak dapat menjauhkan dirinya dari kegiatan politik. Kampus menjadi arena politik. Demi kekuasaan, hakikat perguruan tinggi untuk mencari kebenaran serta membantu kesejahteraan masyarakat, menghilang. Tridharma perguruan tinggi hanya menjadi slogan belaka.

Akhirnya mahasiswa lagi yang menjadi korban. Peran birokrat kampus untuk menentukan kebijakan administrasi yang mendukung kegiatan akademik tidak akan terjadi. Sebab, pengaruh politik memaksa mereka untuk membuat kebijakan sesuai kepentingan politis.

Salah satunya, ialah dalam ranah kegiatan akademik dan non akademik. Idealnya kampus wajib memfasilitasi terlaksananya perguruan tinggi dengan menciptakan suasana untuk mendukung kegiatan akademik maahasiswa. Seperti, penyediaan perpustakaan lengkap, memberikan fasilitas pertemuan dosen dan mahasiswa, dan memfasilitasi diskusi mahasiswa di luar pembelajaran. Tujuanya agar mahasiswa dapat merangkai pola berpikir ilmiah dan meningkatkan ilmu pengetahuan.

NonPartisipan untuk Membungkan Kebabasan Mahasiswa

Mahasiswa memilik hak kebebasan akademik. Tanpa ada kebebasan itu, mahasiswa tidak dapat mengembangkan pengetahuannya. Melakukan kritik, menyampaikan aspirasi, serta mengkaji sebuah permasalahan menjadi beberapa contoh. Nyatanya, kebebasan akademik dibatasi oleh kampus. Mahasiswa hanya diberikan kebebasan untuk memperdalam bidang studinya masing-masing. Mahasiswa tidak didukung untuk mengkaji kenyataan yang ada di masyarakat, misalkan kemiskinan, akses pendidikan, dan kesenjangan sosial. Tidak adanya dukungan tersebut, akan membuat mahasiswa jauh dari masyarakat.

Iklan

Keadaan tersebut terjadi karena kebebasan mahasiswa direduksi oleh wacana birokrat kampus. Mahasiswa dianjurkan untuk segera lulus cepat agar dapat mencari kerja. Tidak perlu sibuk dengan keadaan di luar. Mahasiswa hanya cukup belajar dan mendapatkan nila tertinggi. Bila, mahasiswa tidak di jalur tersebut, ia dianggap pemberontak, mencederai nama baik kampus dan semacamnya.

Tindakan pencegahan itu yang tertuang jelas dalam kode etik di Statuta UNJ. Perintah kepada mahasiswa agar bersifat netral dan nonpartisipan akan memudahkan rektor untuk membungkam kritik tajam tiap kebijakan kampus. Berbagai kritik untuk kampus, akan dipandang pesanan dari partai politik. Serta dianggap menganggu kestabilan kampus. Penyampaan aspirasi melalui demontrasi dipandang melulu soal merebut kekuasaan. Penyampaian aspirasi melalui media sosial maupun media cetak akan dipandang mencemarkan nama baik kampus.

Semua hal yang menyentuh kebijakan kampus akan dianggap menganggu keamanan dan ketertiban. Di UNJ, Rektor sewenang-wenang melakukan D. O kepada mahasiswanya. Di Unnes, rektor menskorsing beberapa mahasiswa karena mengkritik kebijakan uang pangkal. Di Unhas, beberapa mahasiswa di skorsing karena memintra transparansi anggaran.

Contoh nyata itu, ialah sifat kampus yang tidak demokrasi. Mahasiswa dianggap objek didik. Dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Statuta UNJ mencerminkan hal itu. Hak dan kewajiban mahasiswa sudah diatur dalam statuta.

Sekali lagi, mahasiswa hanya dijadikan alat penguasa kampus untuk mencapai tujuanya. Kampus akan menghindari pendidikan yang memanusiakan manusia. Yaitu, mengembangkan potensi manusia yang bertujuan menolong sesama manusia. Tentu saja, tanpa ada batasan dan tindakan represif penguasa kampus. Kampus akan menolak pendidikan seperti itu. Sebab, semakin paham mahasiswa dengan realitas masyarakat, semakin diganggu kekuasaan kampus yang sudah mapan.

Penulis: Hendrik Yaputra