“SPU merupakan solusi bagi universitas yang dipaksa harus mapan dan mandiri oleh negara, namun solusi ini malah menjadi beban untuk mahasiswa baru yang ingin merasakan pendidikan tinggi”
oleh Didit Handika*
. Dalam penyelenggaraan Penerimaan Mahasiswa Baru 2018 (PENMABA) birokrat kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menerapkan sebuah kebijakan baru yaitu penerapan biaya Sumbangan Pengembangan Universitas (SPU) yang berkisar dari 0-30 juta rupiah pada setiap peserta pendaftar ujian seleksi PENMABA UNJ 2018, yang wajib mereka isi sebelum melakukan ujian akademis secara tertulis.
Perlu kita ketahui, sejatinya kebijakan SPU tidak hanya dilakukan oleh UNJ seorang diri, beberapa universitas seperti UNNES, Udayana, UPI, UNILA bahkan Universitas Indonesia dapat menghasilkan pendapatan tertinggi dari penerimaan sumbangan pengembangan institusi dan biaya pendidikan yang dibebankan pada mahasiswa baru berdasarkan Badan Kelengkapan Majelis Amanat Unsur Mahasiwa Universitas Indonesia pada 2016. Berpijak pada Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 dalam pasal 9 yang menjelaskan bahwa Perguruan tinggi diperbolehkan melakukan pemungutan biaya Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) kepada mahasiswa yang diterima dalam perguruan tinggi melalui jalur mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa jalur kerjasama dan mahasiswa seleksi ujian mandiri.
Tak hanya itu, terdapat pula Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi yang mempertegas kebijakan adanya SPI dengan bertujuan untuk universitas atau perguruan tinggi dapat secara mandiri melakukan pengelolaan keuangan dan segala keperluaan universitas agar tidak lagi bergantung pada dana yang disediakan oleh pemerintah pusat maupun daerah sesuai kebutuhan perguruan tinggi. Kedua aturan tersebut merupakan sebuah perangkat dasar utama beberapa perguruan tinggi menjalankan kebijakan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI). Akan tetapi, kebijakan tersebut lebih banyak diterapkan pada Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) bukan seperti UNJ yang masih menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Layanan Umum (PTN-BLU).
Mungkin sekarang kita akan bertanya-bertanya, mengapa SPI/SPU dianggap menjadi sebuah bentuk komersialisasi pendidikan yang sangat menyimpang dan penuh dengan keganjilan dalam praktik aturan serta penerapannya dalam dunia pendidikan di Indonesia?. Perlu kita uraiakan bersama bahwa dalam kebijakan SPU terdapat tiga keganjilan dalam praktik pelaksanaannya. Keganjilan yang pertama mengenai SPU merupakan sebuah bentuk Neoliberalisme (aliran kebebasan baru) yang coba diterapkan oleh pemerintah Indonesia pada saat ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk menjamin pendanaan pendidikan pada setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan tinggi, menjadikan beban pemerintah tersebut dialihkan kepada setiap perguruan tinggi yang ada, pemerintah memaksa perguruan untuk mencari solusi yang konkret dan logis dalam menyelesaikan masalah tesebut. Menariknya, dalam hal ini pemerintah tidak lagi menjadikan pendidikan sebuah keperluan sosial, namun menjadikan pendidikan sebuah keperluan individu yang wajib ditanggung oleh setiap individu. Tentu hal ini sudah bertentangan dengan pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dengan jelas menyebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, tak berhenti pada peraturan tersebut.
Perguruan tinggi yang menerapkan SPU berlandaskan pada peraturan yang penuh dengan ketidakjelasan, seperti contoh dalam Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 dalam pasal 9 yang menjelaskan legalistas keberadaan SPU ini bertentangan dengan pasal 8 yang menyatakan setiap perguruan tinggi tidak diperbolehkan memungut biaya apapun saat penerimaan mahasiswa baru diluar Uang Kuliah Tunggal (UKT), pertentangan pula terjadi dalam UU No. 12 tahun 2012
Kedua, keganjilan ini terdapat pula pada pelaksanaan kebijakan SPU yang membebankan dengan biaya yang sangat mahal bagi mahasiswa baru. Meskipun tentu kita saat ini memperoleh fakta, pada kenyataannya SPU di UNJ saat ini tidaklah berpengaruh pada besar kecilnya sumbangan yang diberikan oleh mahasiswa baru yang diterima melalui jalur seleksi mandiri, akan tetapi keadaan berbeda diterima oleh mahasiswa-mahasiswa lainnya dibeberapa perguruan tinggi negeri, seperti di Universitas Sultan Ageng Tirtasya (UNTIRTA) yang memberikan kebijakan SPI/SPU dengan penetapan biaya sumbangan terendah sebesar 10 juta rupiah dan terkena UKT tertinggi pada setiap mahasiswa baru yang diterima melalui jalur seleksi mandiri 2018. Atau dapat kita lihat contoh lainnya yang terjadi di Universitas Negeri Semarang dan Universitas Pendidikan Indonesia yang menentukan besaran uang SPU berbeda-beda disetiap jurusan yang berkisar pada biaya 10 juta sampai puluhan juta rupiah.
Dengan adanya biaya SPU yang mahal menimbulkan keganjilan yang terakhir, yaitu lahirnya mekanisme pasar pendidikan. Mekanisme pasar pendidikan merupakan sebuah orientasi yang menjadikan pendidikan sebagai komodoti pasar yang dapat dibeli oleh konsumen (mahasiswa) yang membutuhkannya dan mampu membelinya dengan segala informasi yang mereka dapatkan tentang komoditi pendidikan di suatu universitas. Namun, sayangnya informasi soal komoditi pendidikan dalam universitas, baik kualitas dan fasilitasnya dapat dimonopoli oleh universitas sehingga konsumen hanya dapat membelinya dengan menggunkan prinsip peluang dalam ekonomi. Mereka rela membayar nominal yang besar karena dengan hal tersebut mereka akan berpeluang lebih besar untuk menerimaan pendidikan di suatu universtas.
Tentu ini fakta yang terjadi saat ini? Keputusan mahasiswa baru untuk membayar mahal biaya UKT di UNJ atau universitas lainnya, tidak seutuhnya karena kualitas yang ditawarkan, melainkan dapat pula karena “fiksi yang menjadi realistas terbayangkan” yang membuat meraka yakin bahwa universitas yang dipilih memiliki nilai prestise. Namun konskuensi terburuk, kita akan membayar mahal untuk kualitas yang pendidikan yang tidak sesuai dengan biaya yang kita keluarkan. Itu karenanya pengaturan pengelolaan keuangan di universitas harus dilakukan secara demokratis dan transparan sebagai bentuk pertanggungjawaban birokrasi universitas.
Carut-marut keganjilan yang ada dalam praktik SPU inilah yang menjadi dasar mengapa banyak mahasiwa yang bergerak untuk melakukan aksi penolakan terhadap keberadaan kebijakan SPU di universitas. Terkhusus bagi mahasiswa UNJ beranggapan bahwa kehadiran SPU memungkin terjadinya “Reinkarnasi Uang Pangkal” yang pernah diterapkan oleh birokrasi kampus pada 2016 silam. Dalam Aksi Massa yang dilakukan oleh mahasiswa jika kita kaitkan dengan studi ilmu hukum merupakan sebuah alat penggetar terhadap birokrasi agar tidak melakukan kebijakan yang sewenang-sewenang dan menyengsarakan rakyat, analogi tersebut berdasarkan pasal 5 ayat 1 UU No 48 tahun 2009 berbunyi “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Terlebih-lebih negara kita berkedaulatan rakyat dan aksi massa itu hak konstitusional yang dilindungi langsung oleh UUD Negara Republik Indonesia 1945.
SPU merupakan solusi bagi universitas yang dipaksa harus mapan dan mandiri oleh negara, namun solusi ini malah menjadi beban untuk mahasiswa baru yang ingin merasakan pendidikan tinggi. Tentu sistem pendidikan seperti ini jelas bukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat UU dan Pancasila. Selama UU No. 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi dan Permenristekdikti No. 39 tahun 2017 masih berlaku tentu praktik-praktik liberalisme dan komersialisasi pendidikan masih akan terus bermunculan.
Sumber :
https://medium.com/kbmp-bali/melihat-komersialisasi-pendidikan-secara-utuh-b35e36868709
http://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2016/06/10/pemerintah-pangkas-anggaran-boptn-2016-371405
http://mwaum.ui.ac.id/bk/ada-apa-dengan-boptn/
Permenristekdikti No. 39 tahun 2017
UU Perguruan Tinggi No. 12 tahun 2012
UUD 1945 Pasal 31 ayat 1
*mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah UNJ