Sumbangan Pembangunan Universitas (SPU) di Universitas Negeri Jakarta diterapkan pertama kali pada penerimaan mahasiswa baru jalur madiri tahun 2018. Sumbangan ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan (Permenristekdikti) Tinggi No. 39 tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan UKT, pada pasal 8 ayat 1 yaitu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dapat memungut uang pangkal dari mahasiswa baru yang melalui seleksi jalur mandiri.

Namun, pasal tersebut berbenturan dengan Pasal 6 yang mengatakan PTN dilarang memungut uang pangkal atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru.  Selain itu, sifat sukarela dalam SPU, pada prakteknya tidak berlaku. Saat mahasiswa baru (maba) melakukan sanggah biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Beberapa maba dibujuk untuk membayar SPU, saat masa sanggah UKT.

Nazwa Fahira, salah satu mahasiswi tahun 2018 terpaksa membayar SPU, ketika melakukan sanggah UKT. Sebelumnya, ia mendapatkan UKT sebesar Rp.6.200.000, dan ia tidak mengisi SPU. Lantaran, Nazwa merasa biaya UKTnya terlalu besar. Ayahnya hanya bekerja sebagai pegawai pos. Gaji ayahnya Rp.5.600.000, namun karena memiliki hutang, total gaji yang bisa digunakan hanya sebesar Rp.2.400.000.

Nazwa juga mengatakan tanggungan ayahnya sangat banyak. Ayahnya harus membiayai tiga orang anak, istri dan adik yang disabilitas, beserta istrinya.Setelah ia dan ayahnya memparkan kondisi keluarganya, pihak verifikator tidak peduli. “Yang penting gaji bapak saya Rp.5.600.000, ga peduli bapak saya punya hutang dan banyak tanggungan,” tuturnya.

Setelah berdialog panjang dengan pihak verifikator, UKT Nazwa turun menjadi Rp.4.600.000. Namun, pihak  verifikator menyodorkannya form untuk membayar SPU. Nazwa memaparkan bahwa pihak verifikator mengatakan, karena UKTnya sudah turun cukup besar, maka ia harus membayar SPU. Pihak verifikator juga mengatakan Nazwa dan Ayahnya sudah memakai fasilitas yang ada di UNJ. Akhirnya, Nazwa dan ayahnya membayar SPU sebesar Rp.1.000.000. 

Iklan

Menurut Asrul mantan ketua divisi advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial (FIS) tahun 2018, mengatakan ada sekitar 39 maba FIS yang menyanggah UKT. Empat mahasiswa baru yang UKTnya turun disuruh untuk membayar SPU. Tiga orang mengisi Rp. 1.000.000 dan satu orang mengisi Rp.50.000.

Meskipun ada banyak penyimpangan yang terjadi dalam penerapan SPU, sistem tersebut masih diberlakukan pada tahun 2019. Bahkan ada perubahan dari tahun sebelumnya besaran sumbangan tidak ditetapkan. Calon peserta diperbolehkan untuk menyumbang dari nol rupiah sampai puluhan juta rupiah. Namun, pada 2019 minimal sumbangan calon peserta sebesar Rp.750.000, atau tidak menyumbang sama sekali.

Menurut Komarudin Wakil Rektor II bidang administrasi dan keuangan, alasan berlakunya SPU dengan skema baru disebabkan karena,  tahun sebelumnya ada beberapa calon peserta yang menyumbang 1 rupiah. “Kan kalau nyumbang segitu terkesan kayak menyepelekan SPU itu sendiri,” tuturnya. Selain itu, minimal sumbangan Rp.750.000 menurutnya tidak terlalu besar dan cenderung kecil untuk satu kali pembayaran. ” Rp.750.000 kita ambil gambaran dari data SPU kemarin,” tambahnya.

Komarudin juga memaparkan alasan mempertahankan SPU karena UNJ masih membutuhkan biaya untuk mengembangkan infrastruktur fisik dan fasilitas akademik. Menurutnya dana UKT dan dana BOPTN tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan UNJ.

Ia melanjutkan, bahwasannya UNJ hanya mendapatkan dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) sebesar 28 Milyar. Hal tersebut disebabkan banyaknya data mahasiswa UNJ yang tidak terdaftar dalam Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti). “Padahal salah satu faktor untuk mendapatkan dana BOPTN yang besar ialah jumlah mahasiswa di Perguruan Tinggi. Nah, jumlahnya itu yang harus terlapor dalam PD Dikti, ”ujar Komarudin.

Akhirnya UNJ bertumpu pada dana PNBP (UKT dan SPU). UKT menurut Komarudin di UNJ lumayan besar, menyentuh angka 400 Milyar. Ditambah dana SPU tahun sebelumnya yaitu 2 Milyar.

Menanggapi hal tersebut Ramly mahasiswa Pendidikan Sejarah angkatan 2017, yang juga merupakan anggota Solidaritas Pemuda Rawamangun (SPORA) mengatakan UNJ menitikberatkan pendanaan UNJ dari dana mahasiswa. Bagi Ramly, jika karena masalah administratif UNJ tidak mendapatkan dana dari pemerintah yang harus bertanggung jawab ialah birokrasi UNJ. “Yang salah kan pihak birokrat, tapi mahasiswa yang jadi korban,” tandasnya.

Ramly juga menyayangkan, kebijakan tahun ini yang mensyaratkan minimal sumbangan sejumlah Rp.750.000, menurutnya itu yang harus disadari bahwasannya SPU ialah uang pangkal.

Dengan begitu, ia menolak adanya SPU karena menurutnya, SPU sama saja dengan uang pangkal. “Cuma bahasanya aja diperhalus,” tuturnya.

Selain Ramly, Muhammad Muslim Ridho mahasiswa Sosiologi Pembangunan angkatan 2015, juga mengkritik penerapan SPU. Menurutnya SPU masih terus diterapkan karena, sumber penghasilan UNJ mengalami disfungsi. Mengutip data dari majalah didaktika edisi 48 tahun 2018, Komarudin selaku WR 2 mengatakan sumber dana lain UNJ seperti dari penelitian masih sangat sedikit. Hasil pendapatan penelitian UNJ hanya sebesar 1-2 Milyar. “Jelas saja, beban pendapatan UNJ akhirnya ditekankan kepada mahasiswa UNJ,” ujarnya.

Iklan

Penulis: Uly Mega

Editor: M. Muhtar