Emak-Emak Indonesia Bersuara dan mahasiswa mengadakan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan oleh aparat dalam Aksi Reformasi Dikorupsi September lalu.
Aksi solidaritas yang dilaksanakan pada Minggu (13/10) di depan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, Jakarta Selatan, berlangsung pukul 11:00 hingga 12:30 siang. Aksi ini dimulai dengan orasi dari beberapa massa yang hadir. Tabur bunga yang diikuti pembacaan puisi, menjadi peringatan simbolis bahwa rakyat berdukacita terhadap korban kekerasan aparat. Selanjutnya, aksi ditutup dengan pembacaan tuntutan aksi.
Tuntutan itu ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) untuk:
- Bebaskan anak-anak kami (mahasiswa dan pelajar) yang masih ditahan oleh pihak kepolisian.
- Menuntut Polda Metro Jaya untuk membuka akses secara terbuka dan transparan data-data tentang mahasiswa dan pelajar yang masih ditahan, berikan kemudahan akses bagi orang tua dan keluarga untuk mengetahui keadaan anak-anaknya dan berikan jaminan bagi mahasiswa dan pelajar untuk mendapatkan pendampingan hukum.
- Hentikan segala bentuk kekerasan terhadap aksi mahasiswa, pelajar dan seluruh rakyat yang menyuarakan hak-hak demokratisnya.
- Menuntut agar Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Dinas Pendidikan untuk menghentikan segala pelarangan mahasiswa/pelajar menyuarakan pendapatnya dan pengancaman drop out (DO).
- Hentikan kriminalisasi terhadap pejuang demokrasi, usir polisi dan tentara dari jabatan sipil.
Menurut data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), terdapat 390 aduan soal kekerasan aparat dalam rangkaian aksi Reformasi Dikorupsi tanggal 24, 25, dan 30 September lalu (tirto.id). Selain itu, 30 Mahasiswa masih ditahan Polda Metro Jaya. 18 siswa SMPN 122 Penjaringan Jakarta Utara, terancam dicabut Kartu Jakarta Pintar (KJP). 2 siswa lain dipaksa mengundurkan diri dan menandatangani surat perjanjian bahwa tidak akan mengulangi perbuatan yg sama. Menristekdikti juga mengancam akan mencopot rektor yg mengizinkan mahasiswa ikut aksi.
Selain itu, ketika aksi Reformasi Dikorupsi lalu, lima orang bahkan telah meninggal dunia akibat kekerasan aparat. Mereka adalah Immawan Randi (21 tahun), Muhammad Yusuf Kardawi (19 tahun), Bagus Putra Mahendra (15 tahun), Maulana Suryadi (23 tahun). Kamis (11/10) lalu, Akbar Alamsyah (19 tahun) menjadi korban kelima yang gugur. Akbar hilang pada aksi 24 September lalu dan baru ditemukan 3 hari kemudian. Nahas, Akbar ditemukan dengan tempurung kepala pecah dan dalam kondisi koma.
Aksi ini merupakan bentuk kepedulian dan rasa simpati rakyat terhadap keluarga korban kekerasan yang dilakukan oleh aparat pada Aksi Reformasi Dikorupsi september lalu. Hal ini disampaikan oleh Kokom Komala, salah satu koordinator aksi. Ia melanjutkan, aksi ini juga diadakan sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan mahasiswa, pelajar, dan rakyat tertindas lainnya.
Aksi solidaritas ini awalnya dibentuk sebagai gerakan perempuan. Kokom mengatakan, Emak-Emak Indonesia Bersuara, sebagai inisiator aksi juga melakukan ajakan melalui media sosial seperti facebook, twitter, dan instagram. Hal ini menimbulkan respon dari kalangan lain yang ingin bersolidaritas, seperti mahasiswa. “Karena respon yang baik dari beberapa elemen rakyat, aksi ini bukan lagi menjadi gerakan perempuan, tetapi gerakan bersama,” tutur Kokom.
Melalui aksi ini, Kokom menyampaikan kepada seluruh masyarakat bahwa keadaan Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bahwa, lanjut Kokom, saat ini ada mahasiswa dan pelajar yang terancam masa depannya karena mereka ditahan dan dikriminalisasi oleh kepolisian. “Bahkan, lima orang telah direnggut nyawanya hanya karena menyuarakan keresahannya,” tutup Kokom.
Reporter/Penulis: Hastomo D.P.
Editor: M. Muhtar