“Suara selalu begitu lekat dengan kehidupan, entah manusia atau hewan pasti memilikinya. Itu selalu menjadi tanda. Ada yang lantang, adapula yang samar berbisik dan susah didengar.”
Lengking suara klakson kendaraan, celetukan kesal pengendara, dan bisik gosip ibu-ibu berangkat ke pasar, menjadi alarmku bangun dari tidur. Sebab diemperan toko-toko ibukota, buat apa kita memiliki alat khusus sebagai penanda waktu. Aku sudah hafal semuanya dari pagi sampai malam suara-suara apa saja sebagai penanda pergantian waktunya.
Pagi hari tak jauh dari ketiga suara barusan. Beranjak siang, suara peluit tukang-tukang parkir dan obrolan-obrolan pekerja kantoran. Menjelang malam, suara mulai hening. Hanya sedikit mereka yang berkegiatan. Paling banter suara-suara godaan perempuan, kicauan bapak-bapak mabuk, sisanya auman ngorok dari rumah-rumah.
Tidak terlalu aneh aku mengenal dunia hanya berbekal suara saja. Sudah kukatakan, aku buta. Tak ada warna, bahkan imaji-imaji visual yang pernah terekam barang sedikitpun.
Kini aku teduduk lesu sambil mengumpulkan kesadaran bahwa hari sudah memasuki waktu aktifnya. Kupegang tangan temanku yang masih meringkuk pulas di atas kardus bermaksud membangunkannya.
“Kris mari bangun, mungkin sebentar lagi pemilik tokonya datang,” ucapku merayunya untuk bangkit.
Dirinya berdiri sesonggokan, sembari menarik tanganku. “Keliling kemana kita hari ini? Blok M, Sudirman, atau Kebayoran?,” tanya kris.
Aku sendiri tak mau terlalu pusing menetukan rute mengamen. Bagiku, dimana ada keramaian, disana sudah cukup. “Tapi sebelum itu makan dulu, sudah dua hari puasa nasi nih,” keluhnya.
Ya, sehari-hari kami berdua jarang bersentuhan dengan makanan. Dengan profesi pengamen jalanan, uang yang didapat tak bisa diharapkan. Belum lagi ancaman tertangkap razia di jalanan. Namun apa hendak dikata, aku dan Kris tak memiliki kemampuan lain selain menyanyi dengan maksud menghibur orang lalu lalang.
“Sudah kita beli nasi putih polos saja, kau masih memegang garam dan kecap waktu itu kan?”
“Tenang, masih ada yang penting. Ada rasa lah ketimbang hambar,” Kris tertawa getir mengakhiri perkataanya.
Kris berasal dari Sumatera, tepatnya tidak ada yang tahu. Seingatnya ketika bercerita, tempat dia lahir adalah lembah perbukitan di tengah sebuah danau. Namun itu dulu, sejak masuknya orang-orang kota dia terusir dari sana. “Usia tujuh tahun aku sudah menggelandang, orangtuaku pergi entah kemana. Maka, jalanan bagiku adalah rumah dan semua orang yang kutemui adalah saudara,” cerita Kris kala itu.
Aku tak bisa seperti Kris, menganggap jalanan adalah rumah. Dua tahun menggelandang di ibukota, tak membuatku terbiasa. Berlebih hantu-hantu masa lalu yang datang bergentayangan silih berganti. Apalagi setiap kudengar suara sirine mengaung lantang di udara. Teringat hari dimana aku dan dia berpisah untuk selamanya.
Sialan memori itu selalu berputar, hari dimana kobaran api membabat habis sebarisan pemukiman kumuh pinggir kali tempatku dan dia tinggal. Aku sedang pergi tak disampingnya, saat tiba hanya terdengar suara lantang sirine pemadam api. Bersama dengan teriak dan isak tangis orang-orang yang tak kukenali.
Semua rumah hancur demikian penghuninya kebanyakan tinggal nama. Awalnya kukira semua terjadi begitu saja, murni karena bencana. Namun setelah sekian waktu, tanah tersebut dibangun gedung-gedung elit. Kata Kris, kebakaran tadi disengaja dibuat untuk mengusir orang-orang disana. “Sekejam itukah kota?” pikirku.
“Arjuna mari jangan melamun terus matahari sudah mulai panas,” ajak kris sembari menuntunku berjalan.
Kuikuti saja langkahnya, menyusuri pelataran pertokoan yang kini mulai ramai dengan aktifitas jual-beli.
“Nyalakan speakernya, Jun, di depan sana ramai ibu-ibu sedang beli sayur.” Terang dirinya.
Aku menyalakan sebuah pengeras, suaru buluk yang mengalungi badanku. Sambil memegang mikrofon, diriku bernyanyi tembang artis-artis terkenal.
Kudengar Kris mengatakan sepatah dua kata, meminta belas kasihan dari orang-orang. “Seribu dua ribu dari kantong bapak ibu sangat berharga bagi kami. Daripada kami maling dan melakukan kejahatan mending kami ngamen disini.”
Sejak bertemu Kris, aku sudah sedikit bisa mengontrol ingatan soal masa lalu. Berteman dengannya yang periang dan penuh canda. Membuatku sedikit lupa, meski jika suara tadi terdengar tetap saja mereka kembali bak peluru memburu sasaran.
Sirine, aku tak mau lagi mendengarnya. Suara itu membuatku bertemu kehidupan dan berpisah dengan banyak hal. Hidup memang gelap dan buta, wajah-wajah manusia lebih baik tidak dipercaya. Bisa jadi senyuman-senyuman dan tangisan palsu sedang dipentaskan. Lebih baik tak melihat daripada terjebak akan topeng-topeng borok menari lenggak-lenggok.
Kudengar suara sirine lantang mengaung diujung jalan. Aku jatuh terduduk lesu, hidup memang sialan……
Penulis : Mukhtar Abdullah
Editor : Sonia Renata