Setiap anak suka jalan-jalan. Seandainya ada yang tidak suka, mungkin karena trauma atau dia adalah Kersen. Kersen adalah nama orang, masyarakat menyebutnya bocah. Sebab, ia baru kelas lima Sekolah Dasar.  Ia tidak polos, meskipun masih bocah. Kersen  selalu menolak pulang kampung ke rumah Nenek karena alasan yang idealis. Entahlah. Mungkin doktrin “rumahku istanaku” begitu kuat mempengaruhinya. Atau bisa jadi ia lahir di tahun keong, ya sebagaimana keong tidak pernah meninggalkan rumahnya. Siapa yang tahu?

Kersen tidak suka pulang kampung, maka dia tinggal di kota. Alasan Kersen menyukai kota, karena ia senang bermain di minimarket atau mall dekat rumahnya untuk merasakan angin yang keluar dari mesin penyejuk. Ia juga suka dengan keramaian kota yang berbanding terbalik dengan kehidupan desa. Desa itu hening, dan sepi.

Dulu ia hanya menangis, untuk menolak pulang kampung. Tapi sekarang dia sudah berani megungkapkan alasan. Meskipun alasanya tidak cukup rasional bagi kedua orang tuanya. Seperti alasan mengantuk. Kersen selalu mengantuk diperjalanan. Dia memberikan penjelasan bahayanya jika tidur di motor. Alasan itu mungkin baru terpikirkan, karena dua tahun lalu, setiap pulang kampung Kersen  dan keluarga naik kendaraan umum. Kadang bus atau kereta tergantung situasi. Pastinya, Kersen tidak punya otoritas untuk memilih naik apa. Namun, tetap saja penjelasan Kersen tentang bahayanya tidur di sepeda motor tidak berterima oleh kedua orang tuanya. Ayah, punya cara yang lebih cerdik dari Kersen. Dengan mengikat Kersen ke tubuh Ayah menggunakan tali.

Alasan mengantuk memang kurang kuat. Banyak cara untuk mematahkan rasionalisasi bahaya mengantuk di motor. Tapi Kersen tidak mau menyerah dan terus memaksa.

“Tidak mau bu. Tahun ini saja tidak usah kesana,” pinta Kersen untuk kesekian kalinya dengan alis yang menukik ke bawah mengekspresikan kekesalanya.

“ Iya. Lihat nanti saja bagaimana,” jawab ibu lembut didorong oleh rasa ngantuk dan lelah

Iklan

Sesekali ibunya menguap, entah karena bosan mendengar rengekan Kersen yang tidak berhenti memakasa tidak mau pulang kampung. Atau akibat lelah seharian berjualan jajanan di pinggir stasiun dari pagi sampai menjelang tengah malam bersama ayah. Ayah sudah tidur beberapa menit lalu di bangku lusuh yang ada di ruang tamu. Kemudian terbangun mendengar perdebatan kecil antara ibu dan Kersen. Saat ayah menghampiri, Kersen hanya diam kemudian tidur masih dengan alis yang menukik tajam kebawah karena kesal.

Sebenarnya tidak masalah bagi Kersen ditinggal sendirian di rumah. Tapi orang tuanya yang khawatir. Khawatir pada keadaan rumah tentunya. Sebab, kejadian dua tahun silam saat Kersen sendirian di rumah, terjadi kemalingan di beberapa rumah warga setempat termasuk rumah yang ada Kersenya.

Jika kalian pikir kejadian selanjutnya seperti yang ada dalam adegan film anak-anak mengelabui maling atau perampok, kalian salah besar. Kersen justru memberikan kunci lemari tempat paling rahasia emas ibu.  Mungkin kali ini dia benar-benar polos ataupun panik dengan todongan senjata berapi. Sekalipun  itu mainan. Semua orang tahu itu senjata mainan. Karena beberapa hari setelah kejadian itu, si maling tertangkap beserta senjata mainanya yang biasa ia gunakan untuk beraksi. Karena faktanya seperti itu, Kersen batal trauma.

***

Malam ini ia manfaatkan sebaik mungkin untuk beristirahat. “Supaya besok dapat menemukan alasan yang paling rasional agar tidak ikut pulang kampung” harap Kersen.

Dini hari, Kersen terbangun dari tidurnya. Bangun yang tidak wajar. Tenggorokannya kering tapi tidak berani bangkit untuk melumaskanya dengan segelas ataupun seteguk air. Keringat dingin mulai membasahi badannya. Matanya masih kosong menatap kearah langit-langit rumah yang bolong menembus genting. Pasti ia mimpi buruk. Tidak lama setelah itu, ibu masuk kamar kemudian membangunkan Kersen yang sedang tidak tidur.

Di bulan ini memang orang-orang dengan agama yang sama rajin bangun saat dini hari untuk makan, setelah matahari terbit, mereka tidak boleh lagi makan sampai mataharu terbenam. Seusai makan dini hari, bebeberapa orang ada yang berdoa atau lanjut tidur lagi sperti yang dilakukan bocah seperti Kersen dan beberapa orang tua.

Sekitar pukul enam pagi kersen harus bangun lagi. Apa yang dikerjakanya setiap pagi merupakan pengulangan, tanpa gairah. Sepertinya, sesuatu yang dikerjakan berulang-ulang akan terekam dialam bawah sadar. Ia melakukanya secara bertahap mulai dari mandi, pakai seragam sampai mencium tangan ayah dan ibu kemudian berangkat. Mungkin tahapanya akan berbeda ketika libur.

Hanya ada dua bocah yang begitu lemah di bawah atap kelas yang bocor ketika hujan dan tidak ada sejuk-sejuknya saat musim panas. Yang pertama sudah pasti kersen, yang kedua adalah seorang anak yang saat itu juga menjadi kawan Kersen. Sebab, murungnya membawa keceriaan untuk Kersen. Bocah sekecil itu, kelas lima SD sudah memikirkan banyak tugas, mengeluhkan tidak bisa bermain, membawa tas yang begitu banyak buku tulis sesuai jadwal pelajaran hari ini.

Memang makin lama pelajaran kersen semakin banyak, tapi dia tidak peduli. Pekerjaan Rumah baginya adalah tugas yang nanti dijawab bersama-sama di kelas. Jadwal pelajaran bertambah. “Lantas apa?” Pikir Kersen dan mungkin teman-teman kelasnya kebanyakan. “Kita bisa menulis materi yang berbeda di buku yang sama.”

Iklan

Pulang sekolah, Ia tidak melewati gang biasa menuju rumah. Hari ini Ia berbelok melewati jalan pinggir sungai tempat biasa ayah dan ibu pergi ke lapak yang ada dekat stasiun. Jalan pinggir sungai sangat kacau. Bergelombang, naik turun, becek dan Kersen harus hati-hati sebab, banyak tanah di sana rawan longsor, dan semakin menyempit mungkin, akibat bertahun-tahun tanah terserang erosi.

Setibanya di lapak, Kersen membanting tas. Semua buku-bukunya berceceran. Jumlahnya sesuai mata pelajaran hari itu. Bahkan, lebih dua buku. Kersen melakukan hal yang sama, bahkan persis seperti yang dilakukan kawannya tadi di kelas. Mengeluhkan  banyak tugas, tidak bisa bermain, juga mata pelajaran yang semakin banyak. Orang tuanya yang tidak selesai mengenyam bangku sekolah dasar bingung. Sama bingungnya seperti Kersen, ketika temanya yang murung itu mengeluh. Kersen membaca itu sebagai kekalahan yang lain. Ia tidak berani berkata lagi setelah membaca ekspresi kedua orang tuanya.

***

Di desa, sudah banyak orang berkumpul di rumah neneknya Kersen. Adik dan kakak dari Ibunya Kersen sudah ramai di ruang tengah rumah Nenek yang tidak begitu luas. Sementara, Nenek sudah pergi belanja tiga puluh menit yang lalu.

“Nenek mana bu?” tanya salah satu cucunya. Tentunya saudara Kersen.

“Tunggu, dia sedang keluar sebentar. Belanja di minimarket, sama bapak. Kejebak macet sepertinya,” jawab Ibu dari anak itu.

Mini market itu sudah di fungsikan enam bulan lalu dan jaraknya tidak lebih tiga kilometer dari rumah Nenek. Dan benar kata Ibu, sekarang Ayah dan Nenek sedang terjebak kemacetan. Akibat pembangunan mall yang mungkin satu bulan lagi rampung.

 

Penulis: Muhammad Muhtar