Komisi Pemilihan Umum minim sosialisasi terhadap difabel intelektual dan netra pada Pemilu 2024. Banyak difabel tercatat sebagai pemilih umum, padahal mereka perlu sosialisasi cara pemungutan suara yang inklusif di tempat pemungutan suara.
“Bingung, banyak nama yang tidak aku kenal di surat suara,” kata Faiza Yustiandari,” seorang difabel intelektual dalam wawancara virtual melalui zoom pada Senin, 11 Maret 2024.
Faiza kebingungan memilih calon anggota legislatif hingga Dewan Perwakilan Daerah karena minimnya sosialisasi pada Pemilihan Umum Tanggal 14 Februari 2024. Ditemani ibundanya, Leli Sulastri, perempuan berumur 26 tahun menceritakan pengalamannya mencoblos di tempat pemungutan suara atau TPS di dekat rumahnya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan.
Menurut Leli, anaknya sangat antusias mengikuti pemilu. Faiza menggunakan hak pilihnya untuk kedua kali. Lima tahun lalu, dia juga bersemangat memilih. Saat di TPS, Leli menemani Faiza yang kebingungan dengan tiga surat suara selain surat suara presiden dan wakil presiden. “Selain surat suara presiden, dia bingung,” ucap Leli.
Di tengah keterbatasannya, Faiza, kata Leli punya keinginan memahami politik. Ia kerap mendengarkan pidato dari calon presiden tertentu yang dia anggap pandai. Tapi, untuk calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah, Faiza kebingungan karena tak pernah mendapatkan sosialisasi tentang rekam jejak mereka. Sejak masa kampanye pada 28 November 2023, Faiza mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi.
Pengalaman serupa juga dirasakan Afra Nada Adistia, difabel intelektual. Atlet senam ritmik yang mewakili Indonesia pada Special Olympics Berlin 2023 kebingungan saat membuka kertas suara DPRD, DPR, dan DPD. Perempuan berumur 26 tahun tersebut tidak ingat memilih siapa. “Dia bingung, kalau presiden dia tahu milih siapa,” ujar Endang, ibunda Afra.
Menurut Endang, Afra bersemangat memilih calon presiden karena pernah berpapasan dengan calon tersebut saat berlangsung Pekan Special Olympic Nasional di Semarang dua tahun yang lalu. “Dia nggak asal milih, yang benar-benar dia kenal,” kata Endang.
Meski begitu, Endang mengeluhkan minimnya sosialisasi KPU bagi difabel intelektual. Endang berjibaku dan aktif konfirmasi ke petugas KPPS untuk memastikan anaknya terdata sebagai pemilih.
Baca juga: Geliat Disabilitas dalam Pemilu 2024
Selain difabel intelektual, difabel netra juga mengeluhkan tidak adanya template huruf braille untuk surat suara anggota DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, dan DPR. KPU hanya menyediakan template dengan huruf braille untuk kertas suara pemilihan presiden dan DPD. KPU beralasan sistem pemilu Indonesia yang multipartai menjadikan surat suara besar sehingga pembuatan template menjadi tidak mudah.
Karena tidak ada template huruf braille DPRD kabupaten.kota, DPRD provinsi, dan DPD, difabel netra menggunakan bantuan pendamping untuk membimbing secara verbal supaya tidak salah coblos.
Mahasiswa difabel netra Universitas Negeri Jakarta, Refli Zurkarnain mengatakan template huruf braille yang belum tersedia tersebut menunjukkan pemilu yang belum inklusif. “Kalau DPR gak ada braillenya nggak bisa baca (meraba) dan butuh pendamping yang memang dipercaya,” kata dia.
Selain itu, difabel netra yang belum bisa baca tulis braille juga kesulitan memilih. Situasi itu terjadi pada difabel netra lanjut usia. Refli berharap KPU ke depan mengevaluasi dan lebih inklusif.
Komisioner KPU Idham Holiq menyebut KPU terus mengupayakan peningkatan partisipasi disabilitas dalam penyelenggaraan pemilu. Ia mengatakan prinsip adil dan aksesibel menjadi patokan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga kebijakan pemilu maupun pilkada harus memastikan prinsip tersebut terwujud.
Ke depan, peserta pilkada atau pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, kata dia selain menawarkan rancangan program-program pembangunan inklusif atau aksesibel juga dapat menyampaikan dalam bahasa disabilitas. “Misalnya menyediakan penerjemah bahasa isyarat dalam kampanye dan komunikasi publik peserta pilkada,” katanya.
KPU sedang meningkatkan pemutakhiran data sehingga Pilkada diharapkan dapat lebih baik. KPU daerah dalam penyelenggaraan Pilkada berkomitmen untuk mewujudkan Pilkada yang aksesibel dan inklusif,” kata dia.
Hak politik disabilitas diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Mereka punya hak memilih dan dipilih, hak pendidikan politik, hak aksesibilitas sarana dan prasarana pemilu, dan hak berperan aktif dalam pemilu. Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), Formasi Disabilitas, dan Yakkum mendata akses kelompok difabel pada Pemilu 2014.
Pendataan berlangsung sejak hari tenang hingga pemungutan suara. Temuan organisasi tersebut menunjukan sebanyak 44,9 persen pemilih difabel masih dikategorikan sebagai pemilih biasa. Hanya 35,7 persen yang terdaftar sebagai pemilih difabel, sisanya yakni 14,4 persen menjawab tidak tahu. Sebanyak 3,5 persen tidak terdaftar sebagai pemilih.
Ketua Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Nur Syarif Ramadhan mengatakan pendataan difabel pada Pemilu 2024 bermasalah. Data yang tidak sinkron menyulitkan pemilih maupun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau KPPS.
Survei terhadap 479 responden yang tersebar pada 20 provinsi tersebut menunjukkan lebih dari 25 persen difabel kesulitan mendapatkan akses informasi kepemiluan. Persentase terbesar menimpa difabel tuli, netra, dan intelektual.
Syarif menyebutkan situasi itu menghambat proses identifikasi alat bantu difabel ketika mencoblos. “Bagaimana petugas KPPS tahu ada pemilih difabel beserta alat bantu yang perlu disediakan kalau seperti itu,” kata dia.
Dia mencontohkan pendataan yang kacau menimpa dirinya. Syarif yang seorang difabel netra tidak terdaftar sebagai pemilih disabilitas di TPS tempatnya memilih di Gowa, Sulawesi Selatan. “Saya terdata sebagai pemilih biasa,” kata dia.
Nur Syarif Ramadhan
Temuan itu serupa dengan pemantauan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Pemantauan berlangsung di Jakarta Utara, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara. Ketua KND, Dante Rigmalia mengungkapkan sampling dilakukan di tiga wilayah tersebut untuk mewakili kota yang padat, perbatasan negara, dan wilayah kepulauan.
Kesimpulannya adalah difabel di wilayah padat penduduk punya masalah dalam pendataan dan akses. Di wilayah perbatasan dan kepulauan, difabel kesulitan mengakses TPS. Selain itu, Badan Pengawas Pemilu tidak memperoleh data difabel sehingga sulit untuk memantau dan mengawasi. “KPU bermasalah dalam komunikasi pencocokan data, yaitu tidak memfasilitasi alat bantu dan sosialisasi disabilitas,” ucap Rigma.
Rigma menyoroti internal KPU yang bermasalah ketika memperbaharui data pemilih yang menyebabkan banyak kalangan disabilitas tidak terdata sebagai pemilih difabel. Selain itu, kalangan disabilitas minim mendapatkan informasi yang aksesibel.
Ia bersama KND mengajukan enam rekomendasi untuk penyelenggara pemilu. Di antaranya mendorong persebaran informasi dan pemahaman; meningkatkan pelayanan akses sarana dan prasarana; mendorong kolaborasi penyelenggara dengan komunitas difabel; memperbaharui data pemilu; peningkatan kolaborasi aktif; dan perubahan kebijakan afirmasi bagi kalangan disabilitas untuk berpartisipasi aktif sebagai perwakilan DPRD, DPR, dan DPD. “Kami harap ini bisa jadi bahan pertimbangan penyelenggara pemilu untuk pemilihan kepala daerah,” kata dia.
Direktur Eksekutif SIGAB, Joni Yulianto menilai setiap tahun kelompok difabel mengeluhkan minimnya sosialisasi KPU. Menurut dia, hak politik difabel bukan hanya untuk kepentingan elektoral saja, melainkan politik prosedural. Kelompok difabel banyak menyuarakan hak mereka, namun mereka masih terhambat oleh penyelenggaraan pemilu yang belum inklusif. KPU tidak serius menyiapkan penyelenggaraan pemilu yang ramah difabel.
Dia mengkritik KPU yang mengetahui persoalan itu. Tapi, KPU tidak punya inovasi untuk menjangkau difabel sehingga semua kalangan bisa menggunakan hak politiknya dengan baik. KPU, kata Joni, tidak sosialisasi untuk menjawab kebutuhan difabel perihal substansi pemilu maupun media informasi yang sesuai.
Joni berharap, KPU punya perhatian serius terhadap hal-hal yang bersifat teknis seperti pembentukan Peraturan KPU. SIGAB bersama sejumlah organisasi difabel telah melayangkan rekomendasi kepada KPU untuk penyelenggaraan pemilu. Rekomendasi itu menyangkut perluasan sosialisasi, peningkatan pendidikan politik, serta panduan pelaksanaan kampanye yang melibatkan kelompok disabilitas. “Kami berharap rekomendasi kami dijalankan saat pilkada,” ujar Joni.
Penulis/reporter: Izam Komaruzaman
***
Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.