“Aku nge-stuck hampir dua puluh menit di Jalan Tambak doang. Jadinya, aku harus estimasi waktu berangkat ke kampus sekitar dua  jam dari rumah. Itu pun masih mepet lima menit sebelum kelas dimulai”.

Fikha, seorang mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) acapkali kesal dengan keadaan jalan Jakarta yang selalu saja dilanda kemacetan. Karena keadaan tersebut, dirinya mesti menyisihkan waktu lebih agar tidak terlambat kuliah.

Perempuan yang tinggal di Depok itu menuturkan, untuk berangkat ke kampus selalu mengandalkan transportasi umum. Salah satunya, Transjakarta. Sebelum menaiki bus, ia harus menggunakan moda transportasi yakni kereta rel listrik (KRL). 

Fikha mengawali perjalanannya melalui Stasiun Depok dengan tujuan akhir Stasiun Manggarai. Sesampainya di Stasiun Manggarai, Fikha segera bergegas menuju halte untuk naik bus Transjakarta menuju ke kampus.

Dengan raut wajah lesu, Fikha mengungkapkan keluh-kesahnya terhadap kemacetan di sepanjang jalan Manggarai hingga ke arah Matraman. Sepanjang jalan itu, kemacetan paling parah ia rasakan ketika bus Transjakarta mulai memasuki Jalan Tambak.  “Aku nge-stuck hampir 20 menit di Jalan Tambak doang,” ucapnya saat diwawancarai Tim Didaktika, pada Selasa (07/05).

“Jadinya, aku harus estimasi waktu berangkat ke kampus sekitar dua jam dari rumah. Itu pun masih mepet lima menit sebelum kelas dimulai,” ungkap perempuan itu.

Iklan

Ketika Fikha menggunakan KRL sebagai salah satu transportasi menuju kampus, dirinya merasa nyaman. Sebab, jalannya KRL tidaklah tersendat di karenakan memiliki jalur khusus yang tidak terhalang oleh transportasi ataupun kendaraan pribadi lainnya. 

Perihal kemacetan di Jalan Tambak, bukan hanya disebabkan oleh masifnya penggunaan kendaraan pribadi. Namun, kata ia, disebabkan juga oleh adanya proyek pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Jalan Tambak. 

Lebih lanjut, Fikha mengatakan, Jalan Tambak merupakan jalan penghubung antara Matraman, Salemba, Menteng dan Manggarai. Berbagai jalan yang disebutkannya itu berada di wilayah administrasi yang berbeda, seperti Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.

Sebagai jalan yang strategis, Jalan Tambak dilewati bus Transjakarta dengan rute 4, 4C dan 4D. Menurutnya, karena Transjakarta adalah bus dengan rute yang terkoordinir tidak ada jalan alternatif yang tersedia untuk menghindari kemacetan di Jalan Tambak.

Sebelum adanya pembangunan LRT, bagi Fikha Jalan Tambak merupakan jalan yang terbilang kecil. Luasnya diperkirakan hanya cukup untuk satu lajur Transjakarta dan satu lajur untuk kendaraan mobil pribadi. Tetapi lanjutnya, saat pembangunan LRT dimulai, Jalan Tambak menjadi semakin sempit dan hanya dapat dilalui oleh satu bus Transjakarta dan satu kendaraan bermotor. 

“Ini baru selesai tahun 2026 kan? Ya ampun, ini aja belum ada setahun tapi udah macet begini. Pasti capek tiga tahun kedepan kejebak macet kaya gini terus-terusan,” ucapnya sembari menghela napas.

Ihwal pembangunan yang Fikha maksud adalah pembangunan LRT Fase 1B dengan rute Velodrome – Manggarai yang diperkirakan memakan waktu selama tiga puluh enam bulan atau sekitar tiga tahun lamanya. Fase pembangunan LRT  tersebut, merupakan kelanjutan dari adanya LRT Fase 1A dengan rute Pegangsaan Dua  – Velodrome.

Melansir rilis pers tanggal 1 April 2024, milik PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) – sebuah badan usaha daerah milik pemerintahan Jakarta – menjelaskan perihal urgensi hingga teknis pembangunan LRT Fase 1B. LRT dikatakan sebagai ikon sekaligus momentum Jakarta yang bakal bertransformasi menjadi kota global. Selain itu, sebagai upaya mengintegrasikan antar moda, dengan Stasiun Manggarai sebagai sentralnya dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota.

Dalam rilis pers yang sama, LRT Fase 1B akan menempuh perjalan sepanjang 6,4 kilometer dari stasiun Velodrome ke stasiun akhir Manggarai. Pada LRT tersebut, direncanakan akan dibangun empat stasiun tambahan. Yaitu Stasiun Rawamangun, Stasiun Pramuka BPKP, Stasiun Pasar Pramuka, dan Stasiun Matraman. LRT tersebut juga dicanangkan dapat menampung sekitar 80 ribu hingga 100 ribu penumpang setiap harinya.

Baca juga: Mitos Uang Kuliah Tunggal: Langgengnya Penarikan Biaya untuk Penunjang Akademik Mahasiswa

Iklan

Dalam laporan Jakpro tanggal 15 Februari 2024, perihal dampak ekonomi, pembangunan LRT tersebut diklaim akan menghemat biaya dalam berbagai hal. Dengan rincian, dapat memangkas biaya operasional kendaraan sebesar Rp11,35 triliun, penghematan waktu penumpang sebesar Rp132,2 triliun. 

Tak hanya itu, untuk menghindari biaya emisi sebesar Rp4,1 triliun, biaya kecelakaan lalu lintas Rp25,6 triliun. Hingga diklaim dapat meningkatkan harga properti di sekitar rute LRT dan lain sebagainya.

Menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta tanggal 31 Mei 2023, proyek pembangunan LRT Fase 1B menelan anggaran sebesar Rp5,5 triliun yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jakarta. Dengan rincian, Rp4,4 triliun untuk pembangunan infrastruktur, dan sisanya untuk biaya tambahan lainnya. 

Per 3 April 2024, proyek pembangunan LRT tersebut telah mencapai 10%. Ditandai dengan pengangkatan balok girder di Jalan Pemuda. Selanjutnya, moda transportasi umum yang menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) tersebut, ditargetkan akan memulai uji coba pertamanya pada September 2024. Ketika pembangunan tahap awal dari Stasiun Velodrome ke Stasiun Pramuka BPKP telah selesai.

Nihil Jalan Alternatif bagi Transportasi Umum

Lewat pengamatan langsung Tim Didaktika, pada Rabu (22/05), apa yang diucapkan Fikha benar adanya. Setelah adanya pembangunan LRT Fase 1B, Jalan Tambak mengalami penyempitan dan hanya cukup untuk dilalui satu bus Transjakarta dan satu sepeda motor. Tak ayal, kemacetan parah sering terjadi ketika jam sibuk. Yakni, pukul 06.00 – 09.00 pagi dan pukul 16.00 – 18.00 sore.

Pada tanggal yang sama, Tim Didaktika mencoba merasakan langsung kondisi kemacetan di Jalan Tambak dengan menaiki bus Transjakarta pada jam pulang kerja. Tepatnya pada pukul 18.10 WIB. Dengan mengandaikan sebagai pekerja yang bermukim di Rawamangun dan bekerja di wilayah sekitar Manggarai. 

Adapun, Tim Didaktika mengawali perjalan dari halte Transjakarta Manggarai. Menempuh jarak kurang lebih sepanjang 4,6 kilometer, Tim Didaktika  membutuhkan waktu tempuh sekitar 35 menit untuk mencapai halte UNJ – sekarang bernama halte Rawamangun.

Sepanjang perjalanan, di dalam bus Transjakarta, Tim Didaktika merasakan langsung suasana kelelahan yang tergambar pada raut wajah para pengguna bus Transjakarta. Beberapa pengguna terlihat menangkupkan kepala, bermain ponsel sembari mendengarkan musik untuk memecah kebosanan, dan tak sedikit pengguna bus Transjakarta yang tertidur.

Bus Transjakarta yang Tim Didaktika tumpangi mulai memasuki Jalan Tambak. Sejauh mata memandang, tampak kemacetan parah. Berjibun kendaraan memenuhi sepanjang jalan ini. Suara klakson kendaraan pribadi tak henti-hentinya terdengar. Pengguna sepeda motor, mobil pribadi, hingga bajaj kadang menyerobot satu sama lain. 

Parahnya, Tim Didaktika melihat, banyak pengguna sepeda motor yang memakai trotoar sebagai jalan pintas. Selain itu, jamak pengguna mobil pribadi yang hanya berisikan satu hingga dua penumpang saja.

Kemacetan parah di Jalan Tambak, membuat bus Transjakarta yang Tim Didaktika tumpangi hanya bergerak tiga sampai lima menit sekali. Jarak geraknya pun hanya beberapa meter dari tempat sebelumnya. Kendati, setelah melewati Jalan Tambak, kemacetan tak kunjung terurai. 

Barulah, sesampainya di underpass Pramuka, bus Transjakarta melaju cukup lancar. Setelah berjibaku menghadapi kemacetan jalan, Tim Didaktika akhirnya sampai di tujuan akhir halte Rawamangun saat sayup-sayup azan Isya mulai berkumandang.

Sebagai perbandingan, melalui aplikasi Google Maps, waktu tempuh dari halte Manggarai menuju halte Rawamangun hanya membutuhkan waktu sekitar 12 menit hingga 20 menit saja, dengan menggunakan kendaraan pribadi, seperti sepeda motor ataupun mobil. Bila diambil median waktunya, ada gap sekitar 15 menit dari waktu tempuh yang Tim Didaktika rasakan.

Kemacetan jalan Jakarta seringkali membuat para pekerja merasa geram. Sebagaimana yang dirasakan Agnes, seorang pekerja yang biasa menghadapi macetnya jalan Jakarta, khususnya di Jalan Tambak. 

Ia kerap diselimuti rasa kesal lantaran parahnya kondisi kemacetan di Jalan Tambak, terlebih ketika adanya pembangunan LRT. “Sebenarnya aku bingung, kenapa juga LRT harus ngelewatin jalan ini, ya? Jalan ini kan udah sempit, ditambah adanya pembangunan LRT. Yang ada makin sempit,”  ucapnya dengan lirih saat diwawancarai Tim Didaktika, pada Senin (13/05).

Bagi Agnes, moda transportasi umum sudah banyak yang melewati Jalan Tambak, seperti Transjakarta, KRL, ataupun Mikrotrans (Jak Lingko). Sehingga, katanya, pembangunan LRT tidak terlalu mendesak untuk dilaksanakan pada saat ini. 

“Aku gak tau ya, karena belum selesai dibangun, ini bakalan berguna atau enggak. Cuma kalo lihat sekarang, aku kasihan sama masyarakat yang bener-bener gak punya alternatif selain jalan itu,” tuturnya.

Selaras dengan pernyataan Fikha, Agnes juga mengaku kerap dirundung stres lantaran kemacetan jalan Jakarta, khususnya ketika berada di Jalan Tambak. Padatnya kendaraan yang melintas di jalanan. Ditambah dengan masifnya pembangunan yang terjadi di mantan ibukota negara itu, membuat perempuan berumur dua puluh tiga tahun tersebut, merasa sangat kelelahan.

Baca juga: Biaya Kuliah Tinggi, Aliansi Pendidikan Gratis Melayangkan Somasi

Agnes biasa menggunakan transportasi KRL dan bus Transjakarta untuk berangkat ataupun pulang dari tempatnya bekerja. Namun, Agnes kerap menggunakan jasa ojek online (Ojol) sebagai solusi menghindari kemacetan di Jalan Tambak. Langkah ini ia ambil untuk menghemat waktu perjalanan. Sebab, Ojol – berupa sepeda motor –  dapat menyusuri jalan alternatif yang tidak terlalu terdampak kemacetan.  

“Aku nggak menyarankan Ojol sebagai alternatif. Tapi capek juga kalau lama-lama berada di kemacetan. Kalo naik Ojol, biasanya supirnya tau jalan, bisa motong jalan lewat jalan-jalan kecil gitu,” tutupnya.

Tim Didaktika mencoba meminta keterangan ihwal pembangunan LRT dan solusi alternatif untuk mengurai kemacetan akibat proses pembangunan LRT kepada pihak Jakpro selaku penanggungjawab. Permohonan wawancara telah dikirimkan melalui alamat email Jakpro tertanggal 22 Mei. Juga, mencoba menghubungi Staf Humas Jakpro lewat pesan dan panggilan Whatsapp tertanggal 15 hingga 27 Mei. Namun, hingga berita ini diterbitkan, permohonan wawancara tidak kunjung mendapat jawaban.

Dukungan untuk Transportasi Umum

Pakar Transportasi Perkotaan, Darmaningtyas, saat diwawancarai Tim Didaktika pada, Senin (20/05), sangat menyayangkan perihal kemacetan di Jakarta yang selalu menjadi fenomena klasik. Ia menuturkan pengguna kendaraan pribadi terlalu dimanjakan oleh pemerintah, sehingga tidak ada dukungan konkret bagi pengguna transportasi umum.

Misalnya, kebijakan pemerintah pusat yang menyubsidi pembelian kendaraan listrik dengan anggaran mencapai triliunan rupiah. Bagi Darmaningtyas, kebijakan tersebut sangat disayangkan karena dapat dialokasikan untuk penyediaan bus listrik sebagai transportasi publik. “Katanya mau alternatif, tapi uangnya digunakan buat beli mobil listrik pribadi,” ucapnya dengan nada kesal. 

“Bagaimana masyarakat mau terbiasa menggunakan transportasi umum, bila pemerintahnya saja terus mendorong penggunaan kendaraan pribadi,” jelas Darmaningtyas.  

Di Jakarta sendiri, kata Darmaningtyas, pengguna kendaraan pribadi mencapai 98%. Hal ini berbanding terbalik dengan pengguna transportasi umum yang hanya sebesar 4% saja. Oleh karena itu, baginya, kemacetan di Jakarta disebabkan oleh masifnya penggunaan kendaraan pribadi.

Tak hanya itu, ia juga mengkritik sikap masyarakat yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding menggunakan transportasi umum. Sampai kini, masih banyak masyarakat yang enggan untuk beralih menggunakan transportasi umum ketika beraktivitas. Padahal, kata ia, beralih ke transportasi umum adalah salah satu solusi untuk mengurai kemacetan.

Layanan transportasi umum sangat penting untuk ditingkatkan. Apalagi, sambungnya, penggunaan transportasi umum tidak hanya berpengaruh bagi masyarakat yang tinggal di Jakarta saja. Tetapi, juga sangat berpengaruh bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bogor (Bodetabek).

Maka dari itu, ia menjelaskan, maraknya penggunaan kendaraan pribadi oleh para pekerja lantaran minimnya akses transportasi umum yang dapat menghubungkan Jakarta dengan kota-kota sekitarnya. “Tidak ada penyediaan transportasi umum yang layak untuk masyarakat luar jakarta,” ucapnya. 

Lanjutnya, walaupun saat ini sudah ada beberapa wilayah Bodetabek yang terhubung dengan Jakarta melalui transportasi umum, seperti KRL ataupun bus Transjakarta. Hal itu belumlah cukup. Lantaran, tidak semua wilayah Bodetabek terhubung dengan transportasi umum yang langsung menghubungkan dengan wilayah Jakarta. 

“Tidak adanya kerjasama lebih lanjut antara Pemerintah Jakarta dengan pemerintah di wilayah Bodetabek untuk mengembangkan akses transportasi umum. Selain itu, peran pemerintah pusat juga penting untuk pemerataan akses transportasi umum di seluruh wilayah,” katanya. 

Sebagai penutup wawancara, Darmaningtyas mengingatkan bahwa menggunakan transportasi umum membawa dampak positif. Salah satunya, adalah faktor kesehatan. Sebab, pengguna transportasi umum minim terkena paparan polusi udara, tidak terkena teriknya matahari,  dan cukup mendapatkan istirahat.

“Ini mengenai investasi kesehatan. Bila terlalu banyak menggunakan kendaraan pribadi, yang tidak kalian hitung itu kerugian kesehatannya. Entah saat usia tiga puluh atau empat puluh tahun ke atas, kesehatan kita akan menurun,” ungkapnya, seraya menggelengkan kepala.

Penulis/reporter: Hanum Alkhansa

Editor: Lalu Adam