Judul Buku: Sentimentalisme Calon Mayat
Penulis: Sonny Karsono
Penerbit: Penerbit Anagram
Tahun Terbit: 2023
Hal: 147
ISBN: 978-623-99244-2-3
Seiring pergantian zaman, sastra akan mengalami perubahan atau melahirkan hal-hal baru bak bayi-bayi yang lahir dari rahim para ibu. Berkelindan dengan itu, kebebasan sastrawan dalam mengarang berbagai karya sebagai interpretasi hasil pemikiran dan imajinasinya akan realita kehidupan.
Syahdan, sastra memiliki peran penting dalam perkembangan zaman, ia menjelma bak cermin dalam merefleksikan kompleksitas kondisi zaman. Tak semanis kenyataannya, pada masa Orde Baru, dunia kesusastraan mengalami penekanan yang hebat
Pasalnya, ketika Orde Baru berkuasa, sastra mengalami banyak represi berujung pembungkaman terhadap karya-karya para sastrawan. Sebagai gambaran, Orde Baru melarang peredaran buku Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Juga buku-buku yang dianggap mengkritik dan mengganggu pemerintah saat itu.
Selain Pram, pada medio 1972, seorang sastrawan Indonesia, Remy Sylado berhasil mencetuskan sebuah gerakan bernama gerakan puisi mbeling. Gerakan tersebut ditujukan sebagai bentuk respons terhadap kuasa Orde Baru yang ia anggap bersifat feodal dan munafik.
Gerakan mbeling juga hadir sebagai kritik dari puisi-puisi yang mementingkan gaya bahasa baku dan berbunga-bunga sehingga menghilangkan makna akan realitas kehidupan. Karena tindakannya itu -Remy berulang kali ditangkap polisi.
Tak hanya para sastrawan, penerbit yang mengedarkan buku-buku terlarang akan dikenakan sanksi. Dari penggeledahan, penyitaan, sampai hukuman penjara. Parahnya lagi, Orde Baru juga tak segan menangkap orang-orang yang diketahui memiliki buku-buku terlarang. Walaupun banyak menerima represifitas, masih banyak orang-orang yang, dengan semangat, berhasil menjaga eksistensi buku agar tak dihilangkan paksa oleh Orde Baru. Meskipun dilakukan secara diam-diam.
Segala bentuk penekanan berujung penangkapan, penculikan, dan semacamnya menciptakan ketakutan kolektif dalam masyarakat. Seperti hilangnya Wiji Thukul karena kerap memprotes pemerintah Soeharto lewat karya-karyanya. Itu semua dilakukan Orde Baru bertujuan untuk membatasi pikiran masyarakat. Pun, upaya itu berhasil dilakukan, dan membuat jamak masyarakat patuh pada setiap kebijakan Soeharto.
Lewat penjelasan di atas, sastra dianggap sebagai alat untuk mengganggu status quo penguasa. Tak ayal, kesusastraan Indonesia mendapatkan kontrol dan penekanan oleh Rezim Orde Baru karena dianggap dapat membangkitkan kesadaran masyarakat akan realitas kehidupannya.
Selasar dengan buku berjudul Sentimentalisme Calon Mayat, karya Sony Karsono. Buku tersebut menampilkan 8 cerita pendek yang dibuat atas respon terhadap kondisi zaman saat itu. Rezim Orde Baru yang bersifat represif mengakibatkan masyarakat terbelenggu selama 32 tahun. Buah dari kekejaman Orde Baru, memaksa masyarakat bersikap patuh pada pemerintah. Meskipun, kebijakan-kebijakannya seringkali menyengsarakan.
Baca juga: Tak Ada Sekolah Bagi Anak Miskin
Penyair Gila dan Penyempitan Kebebasan
Salah satu cerita pendek (cerpen) dalam buku itu, yang berjudul Surabaya Johnny, mengisahkan ihwal seorang pujangga yang berkelakuan nyeleneh. Mukadimah cerpen dibuka dengan kabar kematian sang pujangga pada usia remaja.
Surabaya Johnny – nama panggung sang pujangga – meninggal sebatang kara di sebuah panti jompo. Kisah masa muda sang pujangga itu dihabiskan untuk menciptakan syair-syair aneh, brutal, gila, dan seksi. Dengan alasan, karya-karya yang digubahnya sebagai jalan keluar dari kehidupan yang sangat membosankan.
Sebagai upaya memecah kebosanannya -sebagian karena pembelajaran sekolah- ia pun pergi ke berbagai perpustakaan dan mulai membaca banyak buku. Salah satu buku yang membuat Johnny takjub yaitu buku berjudul Max Havelaar, karya Multatuli. Karena giat membaca buku, wawasan serta imajinasinya menjadi semakin luas.
Menurut Johnny, menulis adalah suatu tindakan penyingkapan diri. Maka dari itu, di usia 15 tahun, barulah ia merasakan menulis dengan benar ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis di sekolahnya. Ada banyak hal yang menjadi alasan mengapa Johnny menulis. Namun, bicara kesusastraan, ia mulai menekuni sastra saat menjadi mahasiwa antropologi.
Kiprah sastranya bermula pada tahun 1995, saat buku puisi pertamanya lahir, berjudul Kembang Jepun. Melalui bantuan dana sohibnya, buku puisi Jhonny berhasil mencetak sebanyak 300 eksemplar. Namun, kemandekan kerja-kerja menulis sempat dialaminya lantaran krisis moneter pada medio 1997 – 1998, sehingga memaksanya untuk mencari mata pencaharian lain.
Barulah di awal medio 1998, ia dapat melanjutkan kerja-kerja menulisnya. Selama menjadi penyair, sebanyak 20 buku sastra berhasil ia torehkan.
Jhonny juga pernah mengkritik fenomena puisi-puisi liris yang penuh estetika romantik dan menitikberatkan perasaan ataupun ekspresi penyair ke dalam puisi. Menurutnya, metafora semacam itu menihilkan makna dan dialog dengan pembaca.
Melalui wawancara dengan jurnalis bernama Pieter Jansma, Johnny membagikan kisahnya sebagai sastrawan di masa Orde Baru. Ia terkadang merasa memori mengenai rezim Soeharto kerap terbayang di kepalanya. Johnny menganggap masyarakat saat itu bagaikan berada dalam sebuah akuarium. Sesak, terpenjara, dan nihil makna.
Masyarakat laiknya ikan yang tidak mengenali dunia luarnya. Ikan hanya akan keluar jika dipancing atau terlempar ke darat dan membuatnya sekarat. Realitas palsu yang dibuat Orde Baru, menjadi landasan mengapa Jhonny sangat merasa gelisah dan ingin segera keluar dari kehidupan akuarium itu.
Meskipun bayang-bayang Soeharto kerap muncul, ia tak ambil pusing. Ia tetap menjalani kehidupannya sebagai sastrawan nyentrik, gila, liar, dan bebas. Terlihat dari penggambarannya mengenai masa kecilnya sampai ia dewasa, Johnny menceritakan dengan bahasa yang aneh, kiasan gila dan liar.
Akhir kisah dari cerpen ini, ditutup dengan berita kematian Johnny di media sosial Facebook milik temannya, Darwis. Surabaya Johnny -seorang penyair yang kerap mengkritik puisi-puisi liris itu tutup usia setelah 73 tahun menjadi entitas berbeda dalam akuarium kebenaran tunggal ala Orde baru.
Sebagai penutup, buku ini memberikan suatu pengalaman membaca yang menyenangkan. Plot dari tiap cerita sulit ditebak sehingga membuat rasa penasaran pembaca menyeruak. Selanjutnya, karakter tiap tokoh menawarkan kesan aneh dan bertolak belakang dengan norma masyarakat.
Buku ini menarik untuk dijadikan referensi baru dalam dunia kesusastraan. Selain itu, melalui buku ini kita dapat menjelajahi bentuk sastra obskur. Namun, terdapat beberapa kalimat yang cukup vulgar dan sulit dipahami sehingga harus membacanya secara berulang.
Penulis: Machika Salsabilla
Editor: L. Adam Farhan. A