Aku akan pergi sekolah besok pagi. Kemarin adalah hari di sekolah yang paling berkesan. Dalam ruang penuh sesak kawan-kawanku tertawa riang. Begitupun aku. Padahal matahari saat itu sudah condong ke barat. Biasanya aku sudah berada di hutan. Atau pelataran tempat aku dan kawan-kawan bermain. Bermain dengan batu, ranting pohon, atau bunga-bunga.

Tapi saat itu Ibu guru melarang kami pulang. Suasana tiba-tiba menjadi kelabu ketika aku melihat dari balik kacamata minusnya. Embun menyamarkan bola mata coklatnya. Alisnya berkerut dan bibirnya bergetar. Keringatnya mulai turun, beberapa tetes bergulir dari dahi menuju pipi.

Aku masih ingat betul kata-kata yang paling berkesan yang aku dapati darinya. “Sekolahlah, kelak kamu akan meraih cita-citamu ketika dewasa.” Sebenarnya aku menangkap ada pesan lain yang ingin disampaikan. Entahlah, aku tidak paham. Aku hanya seorang yang berseragam putih merah.

Malam ini, aku ikut ibuku pergi ke rumah seseorang, bersama warga lain. Meskipun sebelumnya ibu melarang. Tapi aku memaksa. Ini menyangkut mentalku. Perasaanku. Rasa takut yang hanya menyerang seorang anak kecil ketika sendirian di rumah. Mungkin ibu juga berpikir seperti itu, dia pernah kecil.

Setelah dipikir kembali, pantas saja sejak sore ibu memaksaku tidur. Biasanya, kalau perintah itu datang, aku langsung beraksi. Tidur. Tapi kali ini tidak, mungkin karena biasanya aku bermain, seharian suntuk. Bermain hingga lelah dan mengantuk . Sedangkan hari ini, aku hanya berada di kelas seharian. Duduk dan diam.

Orang-orang kampungku, Karangsego, sudah ramai di pelataran rumah itu. Rumah Kakek Wiryo, orang yang katanya bersahaja. Aku tidak mengerti apa itu sahaja. Bagiku dia terlihat seperti orang tua biasa, dengan kumis dan jenggot tipis yang menghiasi wajahnya. Hal yang ku suka darinya hanya kerutnya yang khas. Kerut yang muncul ketika bibirnya melebar akibat senyum.

Iklan

Kata ibu, dan orang-orang yang kadang membicarakannya, kakek tua itu terbilang orang yang awet muda. Bagiku tetap saja, seorang pria renta yang hanya bisa hidup berkat simpati warga kampung. Mungkin. Sebab, keseharianya berada di surau. Aku pun tidak pernah melihatnya bekerja. Kecuali, setiap hari orang di kampung bergiliran memberikannya makanan. Saat malam, barulah dia pulang. Pulang ke gubuk yang sudah tua dan hampir koyak terkena badai cempaka beberapa hari lalu.

Ramai sekali. Pelataran itu memang sering dijadikan tempat pagelaran. Entah wayang ataupun seni daerah lainya. Tapi tidak pernah seramai ini. Aku bingung memang kegiatan orang tua semuanya membosankan. Seperti sekolah. Mungkin sekolah jadi membosankan karena gurunya orang tua juga. Andaikan ada teman sebaya yang sudah pintar dan menjadi seorang guru, pasti ceritanya akan berbeda.

Keramaian ini diselubungi warna kelabu. Kelabu yang tercipta dari tidak adanya cahaya yang cukup. Satu-satunya cahaya yang mendominasi di sini adalah cahaya bulan yang kebetulan purnama. Lebih terang dari bulan-bulan biasanya. Semua orang yang datang terlihat marah. Atau mungkin semangat. Mereka menyebut-nyebut kata-kata bandara.

***

Enam tahun silam, orang-orang kampung Karangsego diramaikan dengan pemetaan tanah. Katanya tanah itu akan dibangun bandara. Sawah dan rumah-rumah warga masuk dalam peta wilayah yang akan dibangun bandara. Pemerintah punya pilihan tiga Kabupaten yang potensial untuk dijadikan bandara. Pemerintah memang punya tangan besi. Mereka bisa melakukan apapun untuk melancarkan proyeknya. Mengatasnamakan kepentingan bersama. Kepentingan siapa? Mengesampingkan sisi kemanusiaan.

Semua orang tahu ini kepentingan pemerintah. Kebijaksanaan adalah kuncinya. Kunci untuk dapat memutuskan apakaah harus menjual atau mempertahankan tanah. Tanah dihargai lima juta per meter. Bagi orang-orang kampung Karangsego merupakan harga yang menggiurkan. Warga terpecah menjadi dua kubu. Pro pembangunan bandara dan kontra pembangunan bandara. Mudah saja sebenarnya untuk mengelabui warga setempat. Cukup berikan setengah harga kepada warga yang pro pembangunan bandara, dan janjikan setengahnya lagi ketika warga yang kontra melepas tanahnya.

Seperti terkena hujaman meteor. Dalam waktu  kurang dari enam tahun, hampir satu kecamatan rata dengan tanah baik itu bangunan ataupun pertanian. Sawah dan ladang. Kecuali beberapa kampung termasuk kampung Karangsego. Bagi masyarakat kampung Karangsego tanah dan sawah bukan sekadar  untuk mencari makan dan penghidupan. Tapi, merupakan tanggung jawab dari leluhur secara turun-temurun. Tidak jarang beberapa aparat yang tidak sabar atas keras kepala warga Karangsego Melakukan tindakan represi bahkan kekerasan terhadap warga setempat.

***

Pagi itu, terasa kebisingan alat-alat berat yang lalu lalang. Anak-anak terkesima melihatnya. Sifat dasar anak-anak memiliki rasa penasaran. Bagi anak seumuran Sifa, pemandangan itu merupakan momentum untuk menemukan hal baru. Ia dan kawan-kawan sebayanya bahkan yang lebih tua sekalipun, asyik memandangi lalu lalang alat berat yang beriringan tepat di sepanjang perjalananya menuju sekolah yang cukup jauh.

Hampir saja Sifa batal pergi ke sekolah, karena saat itu perjalanan terhenti akibat tertutupnya jalan. Dan Sifa duduk diam di rerumputan. Rumput liar pinggir jalan. Sebelum duduk, Sifa menginjak rumput yang tumbuh tinggi akibat beberapa tahun terakhir tidak ada yang memotongnya. Andaikan tidak ada sinar matahari yang menyengat dan menyadarkan lamunannya, pasti dia sudah terlambat datang ke sekolah dan memilih kembali ke rumah. Bangun dari duduknya dan kembali berangkat ke sekolah. Sebelum melanjutkan perjalanan, Sifa merasakan sesak pada dadanya. Karena, asap yang diciptakan alat berat terhisap oleh Sifa. Sifa benci itu.

Iklan

Pohon kelapa berdiri tegak, daunnya melambai-lambai sangat kencang seolah memanggil seorang di seberang pulau. Pohon itu tumbang. Terdengar suara keras yang mengagetkan Sifa di kelas yang sedang ujian akhir semester. Pohon kelapa yang tumbang itu adalah pohon yang tumbuh berderet di dekat sekolah dan merupakan pohon yang paling terahir ditumbangkan.

Ujian dihentikan. Rencananya, penghancuran bangunan sekolah baru akan dimulai sore hari. Ternyata siang hari kelas sudah bebas siswa. Ujian memang tidak bisa beriringan dengan penggusuran. Kelas menjadi tidak kondusif dan ujian hari ini benar-benar terganggu. Akhirnya penghancuran bangunan sekolah dimulai sejak siang hari. Sekolah bisa kapan saja digusur, konon tanah sekolah merupakan tanah milik pemerintah.

Sifa baru menyadari kenapa kemarin Ibu guru terlihat kelabu. Ia semakin yakin embun di balik kacamatanya itu adalah air mata.  Terasa ada yang kabur. Ada yang mengganggu pikiran Sifa. Ia punya cita-cita. Tapi kenapa sekolah digusur. Tidak ada yang bisa dilakukan seorang anak kelas lima Sekolah Dasar. Di balik keriangan teman-temanya yang mendapatkan libur  tambahan, Sifa hanya berusaha memahami kontradiksi yang terjadi dalam kehidupanya.

Menjelang malam, ramai orang-orang yang datang ke beberapa rumah yang belum digusur. Menemani mereka yang masih berjuang untuk mempertahankan rumahnya. Mempertahankan alamnya. Mempertahankan ideologi leluhur. Para aktivis itu datang dari berbagai lini. Beberapa yang datang  diantaranya atas nama aktivis HAM, aktivis lingkungan, dan kalangan mahasiswa. Bahkan ada dua orang yang sejak malam itu dekat dengan Sifa. Keduanya berasal dari Jakarta. Berasal dari pusat, begitulah kebanyakan warga menyebut Jakarta.

“Kak, apa di Pusat banyak kendaraan?” tanya Sifa.

“Oh iya,  banyak sekali. Bahkan, kami sering terjebak macet akibat banyak kendaraan,” balas seorang yang berasal dari Jakarta.

“Oh kalau begitu banyak polusi dong. Sifa gak suka Jakarta, maunya tinggal di sini aja.”

Sekolah yang sudah digusur hanya dapat beroperasi dengan menumpang di rumah-rumah warga yang masih berdiri tegak. Meski begitu, Sifa masih semangat melanjutkan ujian. Meskipun bangunan sekolahnya sudah rata dengan tanah. Tapi semangatnya untuk sekolah tidak berubah. Dan warga Karangsego masih berjuang untuk mempertahankan tanahnya. Tanah leluhur. Tanah Istimewa.