Belum terjawab secara memuaskan prihal pemberhentian Anies Baswedan sebagai Menteri, wacana dari Menteri baru telah menyedot banyak perhatian. Gagasan Muhadjir Effendy yang bernama Full Day School menjadi topik yang hangat di kalangan masyarakat, khususnya di media sosial. Wacana ini menuai komentar pro kontra mulai dari pengamat pendidikan hingga wali murid.
Sistem Full Day School yang ditawarkan oleh orang nomor satu di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini salah satunya adalah menyamakan jam pulang sekolah dengan jam pulang kantor. Muhadjir yang ingin meningkatkan pengawasan terhadap anak didik menilai, apabila berada di lingkungan sekolah, anak didik dapat terkontrol. Entah spiritualitas atau karakternya. Hal ini beriringan dengan keinginan Presiden untuk menghadirkan pendidikan karakter di sekolah.
Sejumlah kebutuhan anak didik sudah seharusnya dipenuhi oleh sekolah. Muhadjir menyebut kebutuhan rohani sebagai salah satu contohnya. Pihak sekolah yang akan memanggil guru. Menurutnya, cara tersebut lebih efektif sekaligus aman dari kelompok-kelompok radikal di luar sekolah. Sehingga anak didik tidak menjadi ‘liar’, begitu katanya seperti yang dicatat dalam beberapa media.
Wacana Muhadjir ini mendapat komentar positif dari salah satu pengamat pendidikan Arief Rachman. Apabila disiapkan secara matang, mulai dari manajemen hingga indikator keberhasilan yang jelas, Full Day School dapat berdampak baik setidaknya dalam tiga hal. Pertama, anak didik menjadi betah di sekolah karena dapat lebih banyak berinteraksi dengan sebayanya. Kedua, dari sisi guru, guru bisa memiliki waktu lebih untuk melakukan observasi terhadap perilaku, spiritual, intelektual, emosi, jasmani, dan sosial anak didik. Terakhir, fasilitas yang disediakan oleh sekolah menjadi tidak mubazir.
Arief Rachman juga menambahkan, dengan kebijakan baru ini, dapat meminimalisir jumlah guru yang harus mencari sekolah lain guna memenuhi jam mengajarnya. Sehingga guru dapat fokus mengajar pada satu sekolah.
Meski namanya Full Day School, Muhadjir menjelaskan bahwa anak didik bukan berarti seharian berada di ruang kelas. Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang in menuturkan, anak didik dapat terlibat dengan kegiatan ekstrakulikuler yang mereka minati.
Alasan adanya Full Day School hanya memikirkan golongan tertentu
Dikatakan demikian, karena Muhadjir hanya bicara tentang orang tua yang bekerja dari pukul 8 pagi sampai 5 sore. Padahal seisi Indonesia ini, tidak semua memiliki pekerjaan yang sama. Sekalipun dalam lingkup keluarga saja, satu dan yang lain memiliki jenis profesi yang berbeda. Tentu juga jam kerja yang tak sama.
Lantas apabila yang Muhadjir maksudkan hanya pada orang tua dari golongan tertentu, akankah Muhadjir juga akan membuat gagasan teruntuk orang tua dengan jenis profesi yang berbeda? Atau Muhadjir menyamaratakan semuanya. Sehingga untuk kondisi yang berbeda, dimintanya untuk ikut saja.
Winarno Surakhmad, dalam buku Pendidikan Nasional – Strategi dan Tragedi, menyinggung bagaimana pola pemerintahan terpusat bicara mengenai persepsi persatuan. Pak Win, begitu sapaannya, menyebut lembaga pendidikan tak ubahnya sebagai lembaga penyeragaman. Sebab itu, pendidikan di desa haruslah sama dengan pendidikan di kota, terlepas di letak geografisnya, bagaimana kondisi sosial dan psikologis masyarakatnya. Intinya adalah menjadi sebuah kesatuan dengan penyeragaman. Bukankah keberagaman membahayakan persatuan? Begitu tulisnya.
Terlepas dari jam pulang dan profesi orang tua, Full Day School masih menuai banyak problematika. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk melakukan observasi hingga menghasilkan sesuai dengan target yang telah dibuat. Selain waktu, terutama untuk sekolah negeri, perlu disiapkan dana yang cukup besar. Kita bisa melihatnya secara kasat mata sekarang. Dari beberapa sekolah swasta yang menerapkan Full Day School. Sekolah ini termasuk dalam golongan sekolah elit dengan jumlah bayaran yang tidak sedikit.
Sebab itu, Muhadjir haruslah menyampaikan landasan yang jelas terhadap pemberlakuan Full Day School ini. Sebagaimana yang Pak Win bilang, filosofi pendidikan lahir sebagai bentuk kemampuan manusia untuk memahami tujuan hidup, hakikat manusia, dan untuk mencari tumpuan yang universal mengenai nilai dan tujuan pendidikan.
Ganti Menteri, Ganti Kebijakan, Anak Didik dan Guru Menjadi Kelinci Percobaan (Lagi)
Pak Win menyebutkan ada tiga faktor utama yang menyulitkan pemulihan pendidikan dari yang bermasalah menjadi yang berpotensi. Pertama, Kekurangmantapan Politik Pendidikan. Pak Win menyebutkan bahwa sejarah peralihan pemerintahan kita adalah sejarah pertentangan. Sebut saja dari Orde Lama ke Orde Baru. Kemudian dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Sehingga tidak ada keberlanjutan proses berbangsa yang wajar. Sebab itu Negara kita sarat akan pertentangan ideologi, politik, kekuasaan dan kepentingan.
Begitupun yang terjadi dengan dunia pendidikan yang penuh akan masalah internal. Sehingga politik pendidikan kita seolah tidak menemukan formulanya yang tepat. Semua tergantung dengan siapa pemilik kepentingan.
Kedua, Kekurangmampuan Birokrasi Pendidikan. Sebab pengelolaan kebijakan pemerintah lebih dominan dikuasai dengan pembagian kursi, kerap yang menjadi birokrat justru tenaga-tenaga yang tidak professional. Tidak sedikit birokrat yang hanya mampu berlindung di balik peraturan yang ditetapkan, tanpa mampu menilai relevansi peraturan dari sudut perkembangan dan kemajuan pendidikan. Hal ini dikarenakan sifat birokrat yang dominan ialah amaturistik, pragmatik, dan formalistik.
Ketiga, Kekurangpahaman Pelaksana Pendidikan. Pada lapisan bawah, konsep dan pengelolaan yang sudah menjadi tradisi dalam dunia pendidikan, hanya mendudukan mereka sebagai pelaksana teknis saja. Tanpa ada kesempatan melakukan pembaruan.
Latifah
Rujukan
Surakhmad, Winarno. 2009. Pendidikan nasional – Strategi dan Tragedi. Jakarta: KOMPAS.