oleh Yulia Adiningsih
Transportasi umum seperti Commuterline (KRL) sudah menjadi urban mass transportation di Jakarta. Kemudahan yang ditawarkan oleh transportasi ini membuat masyarakat tidak ragu untuk menggunakannya sebagai transportasi sehari-hari. Terlebih transportasi ini mengocek tarif yang tak besar. Cukup dengan 3500 – 7000 rupiah saja kita bisa berhenti ditempat yang kita tuju.
Namun, dengan kemudahan tersebut, KRL sebagai urban mass transportation banyak memperlihatkan raport negatif mengenai keamanan. Banyak berita mengenai pelecehan seksual yang terjadi di KRL. Tak sedikit juga korban/saksi pelecehan seksual itu bicara di publik lewat akun sosial media untuk memberi tahu dan berhati-hati di dalam KRL. Misalnya, 25 Juni lalu pada akun Instagram @drama.krl.id memberitakan kesaksisan penumpang KRL (komuter) yang melihat seorang kakek-kakek menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke tubuh perempuan yang ada di depannya.
Menanggapi maraknya kasus pelecehan seksual, sebagaimana dikutip dari kai.id, sebelumnya PT Kereta Api Indonesia (Persero) Commuter Jabodetabek pernah meluncurkan kereta khusus perempuan pada 1 Oktober 2012. Setiap kereta tersebut hanya boleh digunakan perempuan dan laki-laki tidak boleh masuk kereta tersebut. Pada 2013 kereta khusus wanita dihapus karena ada peningkatan penumpang yang cukup pesat. Namun, gerbong khusus perempuan tetap ada di berbagai KRL.[1]
Dari adanya kebijakan tersebut, KRL menjadi terbagi 2 kategori yaitu gerbong khusus perempuan dan umum. Secara penamaan, gerbong khusus perempuan ini memperlihatkan bahwa perempuan itu beda dari yang umum atau sebagai ‘liyan’. Selain itu, anggapan pendek penulis pemakaian kata ‘khusus’ ini cenderung menyamakan perempuan dengan ‘difabel’ yang harus mendapatkan peralakuan dan fasilitas khusus.
Namun, itu hanyalah anggapan pendek penulis saja. Ada yang lebih dari itu, secara tersirat adanya gerbong perempuan ini melanggengkan stereotip dan anggapan bahwa perempuan itu lemah dan harus dilindungin. Ini terlihat juga dari penempatan petugas keamanan di gerbong perempuan adalah laki-laki, jarang sekali (jika tidak bisa dikatakan tak seorang pun) petugas keamanan di gerbong perempuan itu adalah perempuan.
Kebijakan tersebut menjadi solusi yang kurang tepat. Pertama, pembuatan gerbong khusus wanita tidak lebih dari sebuah bentuk segregasi perempuan dalam transportasi umum. Tidak ada solusi yang mendidik sebagai upaya yang serius untuk menangani kasus ini. Segregasi sendiri merupakan upaya untuk saling memisahkan diri dan saling menghindar diantara pihak-pihak yang bertikah dalam rangka mengurangi ketegangan dan menghilangkan konflik ; masing- masing pihak memisahkan diri dan saling menghindar dalam rangka mengurangi ketegangan.[2]
Segregasi perempuan dalam transportasi publik memang dibuat oleh pemerintah dengan alasan keamaan dan upaya menyelesaikan kasus-kasus pelecehan seksual. Namun, segregasi ini justru merupakan bentuk ketidakpedulian yang dilakukan oleh pemerintah dan PT KAI sendiri terhadap korban pelecehan seksual. Jess Phillips, seorang aktivis pendamping korban pelecehan seksual asal Inggris sebaimana dikutip oleh Trinzi menungkapkan bahwa segregasi tersebut sebenarnya solusi yang melimpahkan tanggungjawab kepada korban saja (dalam hal ini perempuan).
Dengan kata lain, jika terjadi kekerasan seksual terhadap perempuan yang naik di gerbong campuran (umum), korban rentan disalahkan atau dianggap juga sebagai pelaku yang mendukung pelecehan seksual. Lalu, akan muncul sebuah saran untuk korban perempuan naik gerbong perempuan saja jika tidak mau mendapatkan pelecehan di KRL. Padahal, jumlah perempuan yang naik KRL itu sama banyaknya dengan laki-laki. Sedangkan gerbong perempuan itu hanya disediakan 2 dari 8 atau 11 gerbong yang ada. Permasalahan lain dari segregasi ini yaitu pelaku pelecehan seksual tidak akan membuat takut atau berhenti melecehkan seseorang. Justru semakin dikuatkan dengan adanya segregasi dalam transportasi umum ini.
Kedua, segregasi ini bukan langkah efektif yaitu bisa dilihat dari strategi penempatan gerbong khusus perempuan itu sendiri. Jika pelaku kebijakan memang serius terhadap kasus ini dan peduli, maka usaha kecil ini diperhitungkan secara matang. Kenapa gerbong khusus perempuan diletakan di depan dan belakang ? bagaimana jika seseorang hendak naik gerbong perempuan yang paling depan dan sudah penuh, apakah dia harus lari ke gerbong belakang dulu untuk memastikan agar ia mendapatkan rempat di gerbong khusus perempuan ?
Tentu saja ini menyulitkan perempuan untuk mobilisasi. kembali lagi, perempuan terpaksa harus masuk ke gerbong campuran dengan merasakan ketakutan akan bayang-bayang dilecehkan sekaligus disalahkan. Segregasi tidak menjadikan solusi justru malah membuat permasalahan baru. Terbukti, pada 2017 pelecehan seksual terhadap perempuan dalam KRL masih banyak terjadi. PT. KAI mencatat ada 12 perempuan yang melapor bahwa dia mendapat pelecehan seksual. Itu data dari PT KAI yang hanya melapor, belum lagi mereka yang mendapatkan pelecehan seksual tidak berani melapor karena takut ‘malu’ dan malah disalahkan seperti karena berpaikain yang terbuka atau bahkan karena yang telah dijelaskan di atas : masuk ke gerbong campuran. Sehingga pelecehan seksual itu dimaklumi terjadi. Kemudian, pembuatan gerbong khusus perempuan untuk menciptakan kemanan bagi perempuan adalah sebuah mitos.
[1] http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/05/130513_kereta_wanita diakses pada 4 Juli 2018
[2] http://glosarium.org/arti/?k=segregasi diakses pada 4 Juli 2018