Oleh: Ridwan*
Kalau diingat-ingat sewaktu saya kuliah dulu di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di UNJ yang sekarang sudah berganti nama menjadi Program Studi Sastra Indonesia, menulis adalah kegemaran saya yang paling utama dan cita-cita saya waktu itu adalah bagaimana tulisan-tulisan saya dapat dicetak. Kemarin saya diberi kabar oleh teman spesial saya dari Didaktika bahwa majalah mereka terancam tidak bisa terbit karena ada pemotongan dana dari pihak rektorat dan dana tersebut dialihkan ke dana pembangunan. Dari bisik-bisik itu, saya mendapatkan info kalau Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berencana untuk mengubah statusnya menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) di tahun-tahun mendatang dan saya kira memang dari semenjak saya pertama masuk ke UNJ pun pembangunan pun gencar dilaksanakan. Mulai pembangunan fasilitas parkiran yang dulu masih di depan gedung-gedung kini telah dibagi menjadi dua tempat pertama di parkiran spiral dan yang kedua di dekat pintu keluar UNJ menuju halte Transjakarta UNJ. Di dekat situ juga sedang dibangun University Training Center yang dulunya merupakan wisma UNJ.
Agak disayangkan apa yang dilakukan pihak rektorat terhadap dana penerbitan majalah Didaktika. Terutama kata teman saya itu kalau kabar pemotongan dana tersebut diberikan ketika teman-teman dari Didaktika telah hampir menyelesaikan tulisan-tulisan di majalah. Setahu saya, bagi Didaktika penerbitan majalah hal yang krusial terutama mengenai perubahan kepengurusan. Mengingat hasil dari satu tahun kepengurusan dinilai melalui terbitan majalah tersebut. Selain itu sebagaimana cita-cita saya di atas, menurut saya teman-teman saya di Didaktika juga mempunyai hal yang sama. Alangkah bahagianya bagi teman-teman Didaktika yang telah bersusah payah menulis tulisan-tulisan untuk diterbitkan tiba-tiba saja terhenti begitu saja karena ambisi pihak rektorat yang ingin mengubah status UNJ.
Tak ada yang lebih membanggakan rasanya bagi mahasiswa jika karya mereka diterbitkan dan dapat dibaca oleh semua orang. Seperti yang kita tahu, meski zaman sekarang siapapun bisa saja menulis dan mengunggah tulisan mereka di media daring, hingga dibaca oleh khalayak umum. Tapi rasanya akan berbeda jika tulisan tersebut dapat dicetak. Ada esensi tertentu dalam bentuk cetak, terlebih jika kita pulang dengan membawa hasil tulisan kita yang telah dicetak dan memamerkannya di hadapan orang tua, itu merupakan sebuah prestasi tersendiri. Menulis di media daring semua orangpun bisa, tetapi menulis di media cetak tidak mungkin semua orang bisa.
Prestasi tidak hanya dapat dinilai dengan satu atau dua piala saja, apalagi uang. Kita tahu jikalau piala itu bisa saja kita buat dengan harga murah di emperan jalan Sunan Giri, dengan modal 80 ribu pun sudah jadi. Jika dinilai dengan uang pun saya kira itu hanyalah sebuah bonus, toh uang bisa didapatkan dengan cara apapun dan saya kira justru mendapatkan uang bukanlah sebuah prestasi, tapi keperluan.
Saya pernah menulis cerita pendek (cerpen) untuk majalah Didaktika, dan rasanya saya sangat senang ketika tulisan saya itu dimuat di sana. Terlebih teman-teman di Didaktika toh menulis bukan untuk menghasilkan uang, bagi mereka saya yakin menulis adalah sebuah kepuasan dan dapat menerbitkan satu atau dua majalah adalah sebuah prestasi yang sangat menggembirakan, terlebih lagi Didaktika adalah organisasi yang mampu mencetak jurnalis hebat di Indonesia.
Pikiran saya mengenai tidak diturunkan dana oleh pihak rektorat untuk biaya cetak majalah Didaktika, pihak rektorat terlalu takut akan isi dan muatan yang diberitakan oleh teman-teman Didaktika. Khususnya perihal kasus Djaali akhir tahun 2017 kemarin. Saya kira teman-teman Didaktika hanya menuliskan apa yang benar-benar terjadi dan itu sebuah fakta. Bukan sesuatu yang dikarang. Toh, menjatuhkan atau tidaknya nama UNJ dari pemberitaan di majalah Didaktika tidaklah menjadi masalah. Semua sudah tahu, sebab media nasional pun sudah gencar memberitakannya. Jadi kapanpun dan dimanapun orang-orang bisa membaca dan ketahui.
Jadi menurut saya, daripada harus menghambat dana penerbitan majalah Didaktika, lebih baik diberikan saja. Sebab apa yang dilakukan pihak rektorat saat ini hanya membuat keadaan panas kembali. Ya saya kira justru dengan melakukan hal ini pihak rektorat bisa dinilai tidak mendukung kemajuan akademik di UNJ, yang katanya sedang ditingkatkan.
Terlebih dana yang digunakan untuk menerbitkan majalah didaktika adalah dana yang harusnya digunakan untuk kemahasiswaan, dan bukan diperuntukan untuk pembangunan. Karena status UNJ masih Badan Layanan Umum (BLU) saya kira justru dengan pengalihan dana tersebut justru menyalahi peraturan mengenai alokasi dana yang diberikan pemerintah lewat Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sementara sistem BLU menuntut detail rincian per tarif setiap kegiatan kampus. Jadi bukankah rincian tersebut nantinya akan diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Perbankan (BPKP), dan Departemen Keuangan? Coba bayangkan apa yang akan terjadi ketika rincian tersebut diperiksa dan ada dana kemahasiswaan yang dialihkan ke dana pembangunan di pertengahan tahun? Bukankah itu artinya UNJ bisa dinilai tidak mampu untuk mengatur soal urusan dananya sendiri? Jadi jangan bayangkan cita-cita untuk menjadi PTN-BH, jika BLU saja masih tidak jelas? Toh bukankah PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) juga dananya tidak hanya berasal dari APBN, tapi dana dari non-APBN, hibah baik lembaga maupun perseorangan pun bisa masuk.
Dan dari kabar yang terakhir yang saya dapat, pihak rektorat bersedia memberikan dana tetapi pihak rektorat yang mencetaknya. Tentu saja beberapa tulisan diminta untuk diedit dan bahkan ada yang tidak bisa naik cetak. Saya kira pihak rektorat benar-benar tidak lagi bisa menghargai hasil karya mahasiswanya dan hanya berpaku pada prestasi dengan piala seharga 80 ribuan yang siapapun bisa buat di tukang pembuat piala. Bagi rektorat mahasiswa hanya lumbung uang yang uangnya dapat dimanfaatkan seenaknya tanpa adanya timbal balik ke mahasiswa.
Apa yang teman-teman Didaktika cita-citakan supaya tulisan-tulisan mereka dapat dicetakan, seakan dibuang begitu saja oleh pihak rektorat tanpa menyadari bahwa betapa pentingnya untuk menghargai buah karya dari teman-teman di Didaktika yang bermimpi melalui tulisan-tulisan mereka.
Jadi sebaiknya UNJ saya sarankan mulailah untuk melupakan apa itu “Building Future Leader”. Sebab tanpa mimpi seorang pemimpin tidak akan pernah tercipta.
*: Penulis merupakan alumni dari Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta.