Oleh: Tyo Prakoso
DALAM berbagai pemberitaan di media massa online bahwa diberitakan sejumlah dosen Universitas Negeri Jakarta melakukan demonstrasi dan mimbar bebar ilmiah (24/5) di arena Teater Terbuka Kampus A UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur, karena sejumlah rekannya dipolisikan oleh Rektor UNJ karena satu dan lain sebab. Berdasarkan gambar yang menjadi viral di media sosial itu, aksi demonstrasi dan mimbar tersebut diikuti ratusan mahasiwa sebagai wujud solidaritasnya. Bahwa menjadi satu hal yang perlu untuk ikut bersolidaritas kepada Bapak/Ibu dosennya yang dipolisikan. Bahkan, menurut kabar, ada sejumlah dosen yang mewajibkan mahasiswanya untuk ’Kuliah di Jalan’ (baca: demonstrasi). Tentu ini satu tabiat yang membanggakan. Bahwa aktivitas akademika kampus tidak hanya berkutat dengan diktat dan perkuliahan yang (membosankan) itu-itu saja.
Meski tidak semassif dan heroik pada 30 Mei tahun lalu, ketika ribuan mahasiswa UNJ menggeruduk gedung rektorat, ditinjau dari segi yang patut sudah sepantasnya kejadian tersebut menjadi palagan yang bersejarah. Bukankah itu menandakan masih adanya ruang-ruang demokrasi di Kampus Perjuangan Rawamangun, dan ada kecintaan mahasiswa terhadap dosennya yang dipolisikan oleh rektor, juga tanda setianya kepada marwah universitas yang menjadi (katanya) Miniatur Peradaban dan baris terakhir dimana ruang akademik dan demokrasi dapat diwujudkan, olehnya bangsa ini memiliki masa depan?
Aksi demonstrasi menggambarkan perasaan bangga, bahwa telah terjadi jalin-menjalin antara dosen dan mahasiwa dan karyawan yang mendukung demokratisasi di kampus UNJ—bahwa tindakan kritik adalah laku yang biasa dalam dunia akademis. Ini capaian yang tidak diperoleh pada aksi 30 Mei tahun lalu dimana dosen dan mahasiswa dan karyawa berbareng-bergerak.
Saya mudah menangkap rasa gembira yang keluar dari hati patriot mahasiswa dan dosen UNJ—yang dapat merayakan jubileum semacam itu. Karena saya juga ingin menjadi seorang patriot, dan seperti juga dengan orang dosen yang dipolisikan dan mahasiswa yang marah karena dosen yang dipolisikan itu yang benar-benar mencintai kampus UNJ—begitu pula saya cinta pada kampus perjuangan Rawamangun, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah senangnya, dapat menjadi saksi sejarah bila suatu hari yang begitu besar artinya bagi aktivitas akademika kampus UNJ—dimana kritik tidak diberangus oleh kekuasaan, dan anak petani dan buruh bisa kuliah di UNJ karena UKT sudah dicabut. Kiranya, saya ingin sebentar menjadi seorang dosen UNJ yang dipolisikan—seorang dosen yang dieluh-eluhkan mahasiswanya karena ia dipolisikan dan dizalimi rektor oleh sebab ia menyampaikan kebenaran, dan kebobrokan sekaligus yang terjadi di kampus UNJ Rawamangun.
Alangkah gembiranya saya, bila demonstrasi kemarin bermuara pada demokratisasi dan perubahan yang lebih baik bagi kampus UNJ Rawamangun. Dimana kritik adalah hal lumrah, tidak ada mahasiswa yang tak mampu bayar UKT, karyawan yang dipecat sewaktu-waktu, hingga kadar literasi kampus yang tidak berkutat di papan bawah yang dilakukan lembaga survei. Sebab, demonstrasi itu bukanlah hal yang semata-mata hanya persoalan dosen yang dipolisikan, melainkan delapan persoalan yang digodok bersama-sama oleh mahasiswa, dosen dan karyawan yang menjadi pokok-pokok persoalan yang mendera kampus UNJ Rawamangun. Dipolisikan dosen adalah satu hal, dari delapan persoalan lainnya.
Tentu hati saya akan gembira bila melihat dosen-mahasiswa-karyawan bergerak berbareng memperjuangkan delapan persoalan tersebut, dan aksi demonstrasi dan mimbar besar kemarin adalah awal untuk perjuangan yang berumur panjang.
Suara saya akan parau dan bergetar ikut serta menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Darah Juang, apabila nanti intruksi korlap untuk bernyanyi. Saya akan menjadi bangga karena segala pernyataan itu, saya akan memuji Allah SWT yang turut ridho atas perjuangan kami dan bagi segala kebaikan-Nya, saya akan meminta dan memohon ke langit yang tinggi supaya Kampus UNJ Rawamangun menjadi prototipe dimana berbareng bergerak antara dosen-mahasiswa-karyawan memperjuangkan delapan pokok persoalan digugu oleh sejumlah universitas di Indonesia.
Saya akan meminta bantuan kepada sejumlah pihak untuk mendukung dan bersolidaritas pada perjuangan tersebut, dalam wujud materil ataupun non-materil. Bukan saja untuk logistik aksi demontrasi tersebut melainkan juga biaya ratusan mahasiswa pada tahun 2012-2016 yang gagal masuk UNJ karena tidak mampu membayar UKT.
Seandainya saya dosen UNJ yang dipolisikan, saya akan… Ya, saya tidak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya—jika saya dosen UNJ yang dipolisikan, karena faktanya saya bukan dosen UNJ yang dipolisikan, dan saya terlanjur sebal dengan kelakuan ’oknum’ dosen UNJ yang dipolisikan yang tak tahu adat dalam sebuah aliansi perjuangan.
Bukankah membuat aliansi di dalam aliansi itu serupa tindakan menyodorkan pantat ketika diajak bergandengan tangan untuk berbareng bergerak? Bukankah membuat press realease yang tidak disepakati melalui forum aliansi dan, sialnya, dikutip media sehingga delapan persoalan yang diperjuangkan tidak terekspose dan dikampanyekan, adalah tindakan yang dipikirkan seorang aktivis senior yang berpikiran picik dan kriminil?
Bukankah…
Tetapi tidak, sungguh tidak! Apabila saya seorang dosen UNJ yang dipolisikan, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya. Memang saya berkehendak aksi demonstrasi dan mobilisasi mahasiswa tersebut yang akan diorganisasi seluas-seluasnya dan minimum memberi tekanan kepada rektor untuk mencabut tuntutannya terhadap saya dan sejumlah rekan yang dipolisikan, dan maksimum menggulingkan rektor dan mengganti dengan orang-orang yang kiranya mampu mengakomodir kepentingan dan golongan saya, tentu dengan argumen-argumen yang mengatasnamakan demokratisasi kampus UNJ sebagaimana yang dikutip media tersebut dan menjadi terbantun dengan perjuangan mahasiswa saya.
Meski begitu, saya tidak mau kalau mahasiswa kampus UNJ Rawamangun ikut serta mendapatkan keuntungan dari perjuangan tersebut, misalnya UKT yang dicabut atau ruang demokrasi yang bisa mengkritik dan me-re-call pejabat rektorat yang terbukti korup dan kembali mengaktifkan Senat Mahasiswa yang setara dengan Rektorat. Saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada kemenangan perjuangan itu, malahan saya ingin sekali memagari dan tetap menciptakan nuansa kampus yang meninabobokan mahasiswa dengan aktivitas yang gitu-gitu ajah—kuliah-pacaran-pulang-kuliah-pacaran-pulang selama 4 tahun, tidak boleh lebih, dan kemudian lulus dan bekerja. Mengapa, supaya tak ada seorang mahasiswa pun yang dapat mengendus kepentingan dan golongan saya di balik keikutsertaan kami di perjuangan itu dan akal licik saya yang meluap-luap pada aksi demonstrasi tersebut—dan menunggangi kebodohan mahasiswa atas gerakannya.
Di situlah terletak, menurut saya yang memang bukanlah dosen UNJ yang dipolisikan, suatu hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak senonoh, anti-intelektual. Apabila kita—saya masih seorang dosen UNJ yang dipolisikan, umpamanya—mahasiswa disuruh ikut berdemonstrasi untuk kepentingan saya dan golongan saya. Kita, pertama, akan melukai perasaan kehormatan mereka, perasaan sebagai kaum yang mendaku diri sebagai agent of change—karena kita di sini di atas perjuangan mereka yang kita kuasai untuk kepentingan saya dan golongan saya. Mungkin kita sekarang beriang-riang gembira, karena langkah awal perjuangan telah dimulai dan tekanan terhadap rektor semakin nyata; dan semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka yang masih berdiri dengan UKT yang mahal dan kesejahteraan karyawan yang madesu.
Bukankah itu suatu pikiran yang picik dan kriminil?
Apakah kita tidak harus memikirkan, bahwa mahasiswa-mahasiswa yang bodoh dan memang sengaja saya buat bodoh itu juga ingin delapan persoalan yang diperjuangkannya itu tercapai? Atau apakah kita menyangka, bahwa kita dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas semangat yang hidup dan perlawanan atas segala penindasan dan pembodohan yang dilakukan Kampus UNJ, termasuk saya selaku dosen UNJ yang dipolisikan?
Kalau begitu, andaikan saya sebagai dosen UNJ yang dipolisikan telah menipu diri sendiri, karena Anda tahu, bangsa-bangsa yang sebiadab-biadabnya pun menyumpahi tiap-tiap bentuk penindasan dan pembodohan.
Apabila saya seorang dosen UNJ yang dipolisikan, saya tidak akan punya pikiran dan tega untuk memanfaatkan perjuangan dan perlawanan dosen-mahasiswa-karyawan untuk delapan persoalan yang dituntut. Bahwa betul, dipolisikannya dosen dan rekan-rekannya adalah satu sub-persoalan dari delapan persoalan yang diperjuangkan. Sejalan dengan pendapat ini, bukan saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila mahasiswa seperti dijadikan kerbau-bodoh yang ditunggangi atas perjuangan dan perlawanannya hanya untuk kepentingan dosen-dosen yang berhati picik dan kriminil. Sudahlah mereka dihina dan dibodohkan dengan maksud dimanfaatkan demi kepentingan yang bukan kepentingan dirinya, sekarang kebodohan mereka dimanfaatkan oleh pihak (dosen) yang seharusnya membinasakan kebodohan itu.
Bukankah tugas dosen ialah membikin mahasiswanya menjadi pintar dan pintar, berani dan berani untuk melawan penindasan dan pembodohan? Apa jadinya bila pihak (dosen) yang seharusnya ditugasi untuk hal tersebut malah membikin mahasiswa menjadi semakin tolol dan takut untuk melawan penindasan?
Innalillahi wa Innilahi rojiun…
Apakah yang akan dicapai dengan aksi demonstrasi tersebut dan serangkaian perjuangan yang baru dimulai di kampus UNJ Rawamangun? Apabila itu maksudnya menyatakan bahwa mahasiswa harus terus bodoh dan tidak diperkenankan mengendus pikiran dan kepentingan picik dan kriminil dosen dan golongannya, maka hanya ada satu kalimat: singkirkan kepala batu dari front perjuangan!
Atau apakah dengan itu maksudnya mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik—bahwa pergantian rezim oligarki di Kampus UNJ hanyalah mengganti tikus dengan curut? Tentu ini bukan persoalan yang mudah. Olehnya aliansi harus terus bergerak berbareng.
Terutama dalam kondisi mukhtahir ini, dimana seolah-olah liberalisasi pendidikan merupakan jalan bebas hambatan yang mau-tidak-mau harus ditempuh oleh institusi pendidikan, sehingga akses pendidikan murah dan membebaskan yang bisa diakses Rakyat ialah mimpi basah di bulan puasa. Sebuah hal yang mustahil terjadi.
Tindakan dosen UNJ yang dipolisikan dengan kepentingan, yang sudah disebutkan anasirnya di atas, merupakan sikap kontra-revolusioner yang musti disingkirkan dari front perjuangan. Delapan persoalan di atas adalah tuntutan yang harus diperjuangkan bersama-sama dalam aliansi yang sudah disepakati secara demokratis. Bila dosen UNJ yang dipolisikan ingin urun-rembug keringat dalam perjuangan—dan hemat saya memang musti urun-rembug keringat—mustilah mematuhi aturan main aliansi yang sudah disepakati. Jika tidak, jangan harap berbareng bergerak bisa dimulai dan perjuangan bisa berumur panjang. Dosen-mahasiswa-karyawan sudah sepatutnya berbareng bergerak untuk delapan poin yang sudah disepakati bersama. Berikut delapan poin yang sudah disepakati dalam aliansi Forum Militan dan Independen UNJ (bukan aliansi Dosen UNJ Bersatu yang abal-abal itu):
- Mewujudkan Demokratisisasi kampus di UNJ
- Memperbaiki fasilitas-fasilitas perkuliahan sebagai penunjang pembelajaran di UNJ
- Rektorat merekomendasikan Kemenristekdikti untuk mencabut sistem UKT
- Mengusut kasus KKN yang terjadi di UNJ
- Memperhatikan kesejahteraan karyawan dan memenuhi hak-haknya.
- Kembalikan proses kegiatan MPA kepada mahasiswa
- Memudahkan akses transparasi dana di UNJ
- Menata kembali pengelolaan kampus UNJ agar lebih baik
Apabila delapan tuntutan (minimum) tersebut, misalnya, hanya 2 atau 3 saja yang terpenuhi, itu artinya perjuangan belum usai. Mesti diskusi lagi, mengkaji lagi, konsolidasi lagi, dan aksi lagi. Sebelum misal 2 atau 3 itu belum terlaksana, mari kita bersama-sama memanggul tugas sejarah yang mulia ini. Dosen-mahasiswa-karyawan harus menyadari dan memahami konsekuensi hal tersebut. Tidak ada lagi istilah tunggang-menunggangi dalam aliansi FMI. Dosen UNJ yang dipolisikan mesti juga mencatat hal tersebut. Tidak terkecuali. Bila mereka membuat suatu percobaan politik yang berbahaya dan merugikan front perjuanan, tentu resiko ada pada mereka dan saya (bukan sebagai dosen UNJ yang dipolisikan, tentu saja) tak mau memikul tanggung jawab itu. Oleh itu singkirkan kepala batu!
Andai saya seorang dosen UNJ yang dipolisikan, sekarang pada saat ini, saya akan berbareng-bergerak dengan mahasiswa dan karyawan memperjuangkan delapan poin di atas. Karena saya tahu, delapan poin itu sudah terjalin dengan persoalan yang saya alami. Misalnya, selain urun-rembug keringat untuk konsolidasi pergerakan, saya akan menulis dalam akun media sosial saya bahwa menunggangi perjuangan mahasiswa dan menyisipkan kepentingan golongan untuk mengganti oligarki dengan oligarki lainnya—itu salah dan bukan sikap seorang intelektual. Saya akan menasihati sesama dosen, bahwa urun-rembug keringat atas perjuangan mahasiswa-karyawan dan mengupayakan delapan tuntutan tersebut yang sudah disepakati aliansi, adalah sikap intelektual ksatria yang kerap dicontohkan dalam sejarah. Saya akan mendesak kepada pihak yang berada di dalam oligarki supaya jangan mencoreng namanya sendiri sebagai ’orang-orang pinter yang keblinger’ dan memiliki syahwat kekuasaan yang berlebih. Semua orang memang butuh makan, tapi gak gitu-gitu amat, Pak! Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada saya.
Tetapi, Anda tahu, saya ini bukan seorang dosen UNJ yang dipolisikan, saya hanya mahasiswa tingkat akhir, yang sedang berusaha merampungkan skripsinya, dan menggembala domba-domba kota—dus seorang murid yang diajar oleh dosen-dosen UNJ yang kini dipolisikan, dan saya nelangsa melihat ’oknum’ dosen itu berpikiran licik dan kriminil, dan karena itu saya menulis ini.
Bila Anda membaca tulisan ini sebagai wujud protes mahasiswa dan murid yang bodoh terhadap tindak-laku dosen-guru yang keblinger—itu sudah betul. Ironis, memang. Tapi terlepas dari ironi itu, saya kira tulisan ini ditujukan bukan sekedar kepada dosen yang picik dan kriminil pikirannya—sebab saya yakin, hati nurani dan pikirannya sudah dipenuh syahwat kekuasaan, melainkan kepada kawan-kawan yang masih setia di front perjuangan dan waras pikirannya.
Terakhir, kepada Kawan, Bung, Nona, atau Jeng yang membaca tulisan ini dan setia di front perjuangan, ingat kata Pram, ”Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan.” Jadi, sekalipun ia seorang dosen, misalnya, tapi tidak adil dalam pikiran apalagi perbuatan, tentu kita tahu apa yang harus kita perbuat kan. Betul, singkirkan Si Kepala Batu. Tapi jangan dulu, rangkul dulu, ajak ngopi dulu. Kalau masih kepala batu, nah, ulangi lagi, dua kali. Kalau yang ketiga kalinya masih kepala batu dan membahayakan front, sudah singkirkan dan hancurkan, bila perlu. Itu saja. []
Jatikramat, Mei 2017
*Tyo Prakoso—Mahasiswa Sejarah Tingkat Akhir UNJ.
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab Redaksi Didaktika.