23 April 2024 menjadi hari memilukan bagi Khariq Anhar. Surat pemanggilan dari kepolisian mendarat di kediamannya. Mahasiswa Universitas Riau (UNRI) itu dilaporkan dengan UU ITE oleh rektornya sendiri.
Semua bermula saat Khariq menyadari adanya lonjakan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan penerapan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) di kampusnya. Resah akan hal tersebut, Khariq bersama teman-temanya di Aliansi Mahasiswa Penggugat berinisiatif mengadakan diskusi publik yang turut mengundang Rektor UNRI, Sri Indarti, bertajuk “Uang Pangkal dan PTN-BH dalam Perspektif Rektorat UNRI” pada Senin (4/3).
Diskusi berlangsung tanpa dihadiri Rektor UNRI. Merasa tak digubris, Khariq dan teman-temannya menyusun rencana untuk melakukan kampanye lewat akun Instagram @aliansimahasiswapenggugat. Mereka memutuskan membuat video pendek berdurasi 35 detik. Khariq berperan sebagai pengisi suara sekaligus pengambil gambar. Isi video itu menyentil tingginya biaya kuliah di beberapa jurusan, mulai dari Ilmu Pemerintahan di angka Rp 10 juta hingga Pendidikan Dokter dengan nominal mencapai Rp 115 juta. Bagian akhirnya berisi kritik khusus kepada Rektor UNRI, Sri Indarti, sebagai broker pendidikan.
Video pendek itu resmi diunggah ke Instagram pada Rabu (6/3). Respon bermunculan, termasuk dari sang rektor yang melaporkan Khariq ke kepolisian atas dugaan pencemaran nama baik. “Tanggal 15 laporan masuk dari Sri Indarti secara pribadi ke Polda Riau atas pencemaran nama baik,” ungkap Khariq pada Minggu, (5/5).
Dua hari setelah laporan masuk, Khariq menjumpai salah teman sejurusan dari prodi Agroteknologi yang menanyai alamat kediamannya. Ia tidak menaruh curiga kala itu, pikirnya mungkin sebatas pemanggilan biasa dari pejabat kampus.
Tepatnya, enam hari setelah pertemuan itu sebuah surat pemanggilan dari Ditreskrimsus Polda Riau datang kepadanya. Khariq diminta hadir ke kantor Polda Riau keesokan haeinya pada Kamis (25/4), guna dimintai keterangan. “Tujuh orang polisi langsung mengantar suratnya ke saya,” ungkapnya.
Surat itu berisi pemanggilan Khariq sebagai saksi atas kasus dugaan penyerangan atau pencemaran nama baik orang lain. Kemungkinan besar ia dijerat dengan Pasal 45 Ayat 4 UU ITE dengan pidana paling lama 2 tahun penjara dan/atau denda 400 juta.
Pukul 10.00 WIB, Khariq memenuhi panggilan Ditreskrimsus Polda Riau. Selama beberapa jam ia dicecar dengan beragam pertanyaan perihal akun @aliansimahasiswapenggugat, serta motifnya membuat video tersebut. “Tidak ada yang aneh, hanya saja pada hari Jumat tanggal 26 itu ada pemanggilan lagi untuk datang di hari Senin tanggal 29,” ungkapnya.
“Katanya itu ada revisi, mereka gak jawab apa yang harus direvisi,” sambung Khariq.
Khariq kembali menyambangi Polda Riau untuk memenuhi panggilan selanjutnya. Ia kembali dicecar sejumlah pertanyaan yang menjurus pada tekanan untuk mengakui kesalahan, karena telah mencemarkan nama baik rektor.
Khariq menolak mengakui hal itu. Bukan hanya dari kepolisian, tekanan juga muncul dari beberapa dosen dan pejabat kampus. Kedua pihak itu menyarankan Khariq untuk melakukan permintaan maaf kepada rektor. Keluarganya pun secara khusus memintanya menempuh jalur mediasi, guna menyelesaikan masalah tersebut.
Berlebih dalam kasus Khariq, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tak berkutik sedikit pun terhadap kriminalisasi yang ia alami. Ia pun belum mendapatkan dukungan dari sesama mahasiswa. “Teman-teman saya pun ragu untuk bersuara karena kasus ini,” ucap Khariq.
Meskipun begitu, Khariq tetap kukuh dengan pendiriannya, sebab tidak ada yang salah dari apa yang sedang diperjuangkannya. “Kenyataannya kampus memang mahal, makin lama orang miskin seperti saya tidak bisa kuliah,” pungkasnya.
Sementara itu, pendamping hukum Sri Indarti, Muhammad Rauf menyatakan langkah mediasi dapat diupayakan setelah pihak terlapor mengakui kesalahan dalam perbuatannya. Ia juga masih menunggu penyelidikan dari pihak kepolisian untuk kemungkinan restorative justice.
“Prinsipnya jika pihak Terlapor sudah mau berkomunikasi dengan Ibu sebagai Pelapor dan mengakui bahwa perbuatannya salah mungkin akan diupayakan langkah mediasi,” ungkapnya.
Ia pun menyangkal tuduhan anti kritik yang dilayangkan ke Rektor Sri Indarti. Baginya penerapan IPI dan UKT sudah dipikirkan matang oleh jajaran petinggi Unri. Landasan yuridisnya pun jelas pada Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024.
Rauf menganggap kasus ini sudah menyerang ranah personal. Sehingga, baginya wajar jika diambil langkah hukum. “Supaya yang bersangkutan mempertanggungjawabkan perbuatannya,” tutupnya.
Upaya Pembungkaman Gerakan Mahasiswa
Seiringan dengan terbitnya dua aturan baru dari Kemendikbudristekdikti, yaitu Permendikbudristek No. 2 tahun 2024 dan Kepmendikbudristek No. 54/P tahun 2024 memicu gelombang kenaikan UKT di sejumlah kampus negeri di Indonesia. Hal ini memantik protes dan penolakan dari mahasiswa, seperti di Unsoed, UNRI, UNM, UNNES, dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia, Beni Agung menganggap aksi penolakan kenaikan UKT wajar saja terjadi dalam iklim universitas. Tapi bagi Beni, kriminalisasi terhadap Khariq malahan mengindikasikan sikap anti demokrasi dari pihak kampus. “Ini merupakan tindakan vulgar dari praktik anti demokrasi.”
“Kalau begini pihak kampus tidak berpikir berarti, alih-alih ajak dialog malah memakai UU ITE untuk kriminalisasi mahasiswanya,” lanjutnya.
Beni menyebut kriminalisasi Khariq merupakan tindakan politis untuk menyebarkan rasa takut kepada mahasiswa. Menurut Beni, kriminalisasi semacam ini nantinya akan berdampak ke gerakan mahasiswa, sebab memunculkan rasa takut yang menjangkiti sifat kritis mahasiswa terhadap kampus.
Baca juga: https://lpmdidaktika.com/pendidikan-itu-hak-bukan-barang-dagangan/
Beni juga melihat upaya kriminalisasi, seperti yang dialami Khariq justru menghilangkan informasi penting terkait UKT dan IPI. Menurutnya, pejabat kampus lebih baik menggelar diskusi secara terbuka terkait dua hal itu. “Bisa dikonfirmasi, apakah benar demikian sesuai yang dikritik oleh mahasiswa? Apa rasionalisasi IPI, besaran UKT, kenapa harus naik?”
“Tinggal disampaikan secara transparan, harusnya kan clear kalau gitu,” tutup Beni.
Sementara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru mengecam tindakan Sri Indarti. Kuasa hukum Khariq, Wilton Amos bersama tim menyatakan kritik Khariq merupakan wujud kebebasan berekspresi yang dilindungi undang-undang.
LBH Pekanbaru juga mendesak pihak Kemendikbudristek untuk mengambil sikap atas hal ini. Mereka pun mendesak rektor UNRI untuk mencabut laporannya.
“Kritik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang oleh Konstitusi dijamin pengakuannya, sehingga terhadap Laporan Pengaduan yang ditujukan berbahaya bagi kebebasan berpendapat dan berpikir,” tulisnya.
Penulis/ reporter: Izam Komaruzaman
Editor: Abdul