Pagi masih remang, cahaya matahari baru sedikit mengintip. Jam dinding usang di pos ronda sederhana berwarna hijau itu baru menunjukan pukul 06:00. Wajar saja remang, dan mungkin akan sulit untuk terang. Sebab awan nampak perlahan menyelimuti langit Kampung Siluman. Amad dan Rudi dengan mata sedikit merah merendah masih bertahan dengan permainan catur yang semalam suntuk tak kunjung usai. Betul! Mereka berdua dapat jatah ronda malam ini, tapi apa daya Kampung Siluman nyatanya selama ini aman-aman saja. Jadilah papan catur membosankan tersebut sebagai pelarian mereka dari malam beranjak hingga kini pagi menjelang.

Namun…

Duarrrrrrr!!! Anton yang berasal dari Kampung Pelet datang termegap-megap setengah berlari di jalanan sempit khas kampung siluman, lalu berhenti dengan tiba-tiba di depan pos. Dengan gagahnya menghamparkan papan catur yang sedang dimainkan oleh Amad dan Rudi dengan kedua tangan besarnya. Kantuk yang sedari tadi mulai menyerang mendadak hilang, mereka terkejut bukan main.

“ASU!” Anton setengah berteriak dengan wajah yang memerah.

Amad dan Rudi yang baru selesai bertugas lantas kebingungan, menanggapi Anton yang tiba-tiba menyerang. Lantas mereka bangun bergeser ke depan pos jaga lalu hanya diam.

“Hey Rudi! Kemarin saya dengar kamu bilang saya anjing?” menunjuk Rudi dengan wajah yang semakin memerah, dari depan Anton dan Rudi.

Iklan

“Kurang ajar benar kamu!, sekarang kenapa malah diam?”

Amad dan Rudi masih berdiri dalam kebingungan, mereka saling bertatap seolah berkata-kata.

“Hey kenapa masih diam!” Anton kembali menimpali.

“Jawab ASU!” Anton semakin naik pitam

Akhirnya Amad mulai angkat bicara,

“Ehmm, em begini Ton, bukan maksud Rudi untuk mengatai kamu sebagaimana kamu dengar. Kemarin Rudi memang bilang seperti itu…”

“NAH! Benar kurang ajar kamu Rud!” menghampiri Rudi, memegang kerah bajunya seraya ingin memukulnya.

“Sabar, sabar, sabar dulu jangan seperti ini, saya bantu jelaskan nanti. Kamu jangan emosi dulu, Ton,” Amad memisahkan Anton dan Rudi. Rudi yang memang pendiam Nampak ketakutan, sementara Anton semakin memanas. Wajahnya semakin merah, matanya melotot serta nampak urat-urat lehernya yang mulai keluar.

Masih di depan pos ronda dan cuaca mulai mendung, pagi yang mereka sadari telah berlalu 15 menit setelah Anton menyerang sebelumnya mestinya sudah benderang saat ini. Namun awan gelap malahan menyelimuti seolah ingin menemani pertikaian mereka semua pagi ini.

“Jadi begini, Ton. Benar, Rudi kemarin berkata seperti itu…”

Iklan

Anton memotong.

“Apa maksudnya?!”

“Sabar dulu, saya baru mau jelaskan. Rudi tidak bermaksud menghina kamu.”

Anton kembali memotong.

“Lalu apa namanya kalo bukan menghina?, ASU!”

“Hey saya belum kelar bicara…”

“Apa iya dengan Rudi yang bertubuh kecil, pendiam dan tidak punya sejarah bertarung dengan hebat beraninya menghina kamu, Ton?”

“Nah, lalu apa maksudnya?!” Anton masih terlihat emosi.

Rudi menatap Amad dengan ketakutan, Amad belum menjawab Anton. Tatapan Rudi seolah menitip pesan bahwa, jangan katakan kenapa saya bicara seperti itu.

Suasana semakin beku, mereka bertiga saling bertatap dengan dingin diiringi awan mendung yang semakin memayungi pertikaian mereka. Jam di pos ronda menunjukan telah pukul 06:20, tapi hari masih gelap.

“Gini Ton…” Tiba-tiba Rudi angkat bicara.

Amad heran Rudi tiba-tiba berani bicara, setau Amad dia itu pendiam dan sangat penakut.

“Saya tidak berusaha menghina kamu, saya hanya berusaha jujur…”

“JUJUR APA!?” ucap Anton.

Anton yang memang sudah kesal, ketika mendengar penjelasan Rudi walau belum tuntas lantas ia maju dan memukul kepala Rudi. Rudi jatuh, lalu berlari. Meninggalkan Amad yang juga panik ketakutan akan diserang oleh Anton. Kemudian Amad ikut berlari. Bukan main, Anton yang badannya lebih setengah dibanding mereka berdua sedang berusaha menyerang. Mereka berlari menyusuri gang-gang di Kampung Siluman yang masih sepi karena cuaca mendung serta langit gelap di pagi hari.

“Lurus, belok kanan, kanan lagi, kiri, lurus!!!” Rudi seolah memberi komando pada Amad yang menguntitnya dari belakang. Selama adegan kejar-kejaran ini, hujan mulai turun dan semakin lama semakin deras. Rudi ada di urutan pertama, disusul oleh Amad dan Anton yang semakin lama semakin mendekat ke mereka berdua. Karena kelelahan mereka berdua menyerah, di tengah tanah lapang dengan hujan deras yang semakin mengguyur. Amad dan Rudi memberanikan diri untuk menghadapi Anton yang berbadan besar serta merta dengan nyalinya.

“Berhenti! Saya lelah,” ucap Rudi.

Mereka berhenti, dengan nafas yang masih terjeda, sedikit merunduk dan memegangi dadanya masing-masing. Rudi dan Amad memutar badan menghadapi Anton. Anton berjalan perlahan dengan gagah seolah akan siap menerkam mereka berdua.

Rambut mereka bertiga kuyup terjuntai ke wajah, tubuh dan pakaian mereka juga bernasib sama.

“Saya jujur, bukan menghina! Kamu memang Anjing,” Rudi berkata…

“Ya memang anjing, lalu mau diapakan lagi?”

“Saya berkata terhadap apa yang saya lihat, tidak dibuat-buat, tidak direkayasa. Apa adanya.”

Anton yang makin kesal karena Rudi terus berkata anjing semakin maju, Rudi dan Amad semakin mundur.

“ASU! Berani-beraninya!” Ucap Anton.

Hujan masih terus turun, namun mentari sedikit-sedikit mulai mengintip di antara celah awan yang tetap kelabu.

“Satu yang perlu diketahui, coba lihat ke genangan itu,” kata Rudi.

Anton menatap genangan dan terheran, kenapa di genangan wajahnya terlihat seperti anjing. Tapi ia tetap tidak mau mengerti, sebab ia tidak merasa seperti itu sebelumnya.

Ia makin tidak terima…

“ASU!” Anton semakin maju dan semakin mendekat.

Amad yang disamping Rudi hanya memperhatikan perdebatan mereka.

Anton nampaknya memang tidak mau mengerti.

“Iya kamu memang anjing, dan apa salahnya? Sudah lihat sendiri kan?” ucap Amad.

“ASU!” Anton kembali berkata dan terus menjawab segala pertanyaan dengan Asu.

“Sudahlah, Ton. Ini cuma salah paham. Rudi tidak bermaksud menghina kamu. Ia cuma jujur dengan apa yang ia lihat. Begitupun saya. Lagi pula kamu juga terus berkata asu, bukankah itu berarti sama? Lantas apa? Kita berdua ini jelas manusia tidak seperti kamu,” kata Amad.

“ASU! Coba kalian juga lihat genangan itu! Enak saja! Sejak lama kalian yang Asu. Bukan saya!”

“Saya hanya berusaha tidak bicara ketika kemarin-kemarin kita pernah bertemu. Dan jelas adanya bahwa semua warga Kampung Siluman adalah asu. Jadi hak apa kamu bilang bahwa saya adalah anjing? Padahal kamu dan kamu juga bagian dari mereka,” timpal Anton menjawab Amad dan Rudi

“Asu kok bilang anjing,” gumam Amad

Mereka berdua maju sedikit dan menunduk ke arah genangan tersebut. Pahitnya, mereka juga terkaget-kaget setelah melihat genangan lalu menyadari mereka berdua ternyata juga asu.

Mereka berdua diam, Anton menatap dingin. Di tengah hujan yang masih deras mengguyur.

“Rud apa kita asu?,” kata Amad.

Rudi menatap Amad, “tidak, Mad.”

“Bagaimana dengan saya? Apa saya anjing?” kata Rudi

Amad menatap Rudi, ”tidak, Rud. Kamu juga masih manusia. Berarti hanya Anton yang anjing, asu, dan apalah nama lainnya. Kita tidak.”

Amad dan Rudi masih bergumam pelan, karena sebenarnya malu. Dan bingung tentunya.

“Siapa yang punya kebenaran di antara kami bertiga?”

Anton yang lepas emosi, lelah karena bicara panjang lebar kemudian diam, seolah berpikir karena juga bingung. Ia merasa manusia tapi genangan menyebutnya anjing. Tapi Anton melihat sebenarnya mereka yang anjing, dirinya manusia!

Hanya genangan yang sepakat menilai mereka bertiga sama saja, mata mereka satu sama lain selalu memandang berbeda. Hujan masih mengguyur namun sedikit lebih reda dan mereka bertiga kini diam dalam kebingungan.

Saling bertanya, sebenarnya siapakah yang anjing?

Ataupun asu di antara mereka?

Guk, guk, guk….//Apis Jiung

 

Editor: Hendrik Y.